•☺• Selamat Datang di Rumah Cerita 'Blognya mahasiswa TI yang lebih suka menulis cerita' <<<<<•☺•ECHY FACTS•☺•>>>>> Gue suka FC Barcelona •☺• Golongan darah gue A •☺• Lebih suka film genre Thriler daripada Horror •☺• Jangan lupa follow twitter Echy @cieEchy •☺• Echy itu Mandiri dalam arti sebenarnya dan juga dalam arti mandi sendiri •☺• Pengin punya Apartemen, moga kesampean #AMIN •☺• Penampilan Kampungan Wawasan Internasional •☺• Lebih suka ngelamun daripada ngelantur •☺•

Senin, 19 September 2011

Jodoh Buatan [Part 4 ]


Olivia terbangun, lalu mengambil air wudhu dan menunaikan sholat sunnah tahajud. Disisi lain Adit kembali memperhatikannya. Memperhatikan sosok Oliv yang sangat berbeda dengan apa yang dia kenal selama ini. Dia benar-benar dibuat keheranan, diluar sana dia mengenal sosok Olivia yang pendiam, penyendiri, dan nggak suka bergaul dengan teman-teman sekelasnya.
Kembali dibuka laptopnya, kali ini Olivia bukan belajar tapi video chat-an sama Oxel dan juga Ayahnya. Sudah beberapa hari ini mereka nggak menjalin komunikasi. Sangkin kangennya Olivia nggak bisa membendung air mata kerinduannya pada orang-orang yang sangat ia cintai itu. Di waktu yang sama Adit terbangun dari tidurnya dan melihat kearah Olivia yang sedang menangis sambil terus memandangi laptop.
Terdengar suara Ayah sedikit samar, “Mana Adit? Gimana kabar dia?”, tanya Ayah bersemangat.
Oliv menyeka air matanya lalu mengalihkan pandangan ke tempat tidur, terlihat Adit yang masih tertidur tapi aslinya sih pura-pura tidur. Kembali dipandanginya laptop, “Masih tidur, pasti kecapekan jadi tidurnya pules”.
Mendengar kalimat tersebut Adit kembali dibuat keheranan, kenapa Olivia begitu.
Keduanya ada kuliah pagi, jadi keduanya berangkat bersama-sama kekampus. Keadaan di mobil itu sangat sunyi, nggak ada percakapan sama sekali. Sampai akhirnya Adit menepi tepat disamping Disti yang terlihat menunggu kedatangan seseorang.
“Loe turun sekarang! Cepet!”, perintah Adit pada Olivia.
Senyuman sinis dari bibir Oliv mengembang, dia keluar dari mobil dan membiarkan Disti masuk kedalamnya. Sedetik kemudian keduanya pergi meninggalkan Olivia sendirian, untungnya matahari belum begitu terik tapi masalahnya langit sekarang mendung, lebih parah kalau turun hujan.
Ada beberapa angkot yang lewat dan menawarkan jasa tapi Oliv selalu menolak, dia memang nggak ngerti masalah angkot, dia nggak ngerti harus naik angkot yang kayak apa. Lagi pula dia lebih suka naik taksi, tapi masalahnya belum ada taksi yang lewat dari tadi.
Akhirnya yang jadi masalah dari tadi ketemu jawabannya, hujan. Olivia berusaha menepi di sebuah bangunan dipinggir jalan untuk melindungi tubuhnya dari guyuran hujan. Lima menit menunggu, taksi tak kunjung datang, hujan makin deras, tubuhnya mulai kebasahan. Tiba-tiba ada sebuah mobil Range Rover Sport warna hitam legam menepi disisi Olivia seperti yang tadi Adit lakukan. Olivia sedikit terkejut melihat mobil ini dan tentu saja lebih dikejutkan lagi oleh sosok cowok yang keluar sambil membawakan payung.
“Ngapain kamu disini? Ayo masuk”, ajak cowok itu sambil memayungi Oliv dan membiarkan tubuhnya sedikit kehujanan.
Diam seribu bahasa, Olivia nyaris bisu, dia tidak bisa berucap apa-apa dan dia juga nggak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali karena terkejut atas kedatangan cowok itu. Karena melihat Olivia yang terkejut, cowok itu menarik tangan kanan Olivia dan menyuruhnya masuk kedalam mobil.
Sekarang keduanya berada di mobil dengan masih berada ditepi jalan. Cowok itu langsung memberikan tissue pada Oliv agar dapat mengeringkan tubuh. “Kamu pasti kedinginan”, dia melepas jaketnya dan memberikannya pada Olivia, “Pakai jaketnya biar badan kamu hangat, hujan pagi-pagi gini emang menyiksa”, ucap cowok itu sambil mengeringkan sebagian pundaknya yang basah.
Olivia memakai jaket itu karena memang dia merasakan kedinginan, “Makasih”. Ucapnya singkat.
Senyum manis menukik dari bibir cowok itu, “Sekarang aku anterin kamu pulang ya? Rumah kamu masih sama kayak yang dulu kan?”, sambil menstarter mobil dengan masih memandang kearah Olivia.
Sekarang Olivia mulai membuka bibirnya, “Aku ada kuliah, anterin aku kekampus”.
Tanpa berkata apa-apa lagi cowok itu membalas dengan senyuman dan mulai melajukan mobilnya lagi menuju kampusnya Olivia.
Tentu saja Oliv kenal dengan cowok ini, cowok ini merupakan cinta pertamanya dan cowok itu juga merasakan hal yang sama. Keduanya tumbuh bersama dan keduanya sangat akrab, cowok itu tahu semua tentang Oliv dan tentu Oliv tahu semua tentang cowok itu. Sampai akhirnya mereka terpisah karena Rama harus pindah ke Australia setelah kedua orang tuanya bercerai.
Mobil sudah terparkir, Rama keluar dari mobil dengan berpayung lalu membukakan pintu untuk Olivia. Keduanya berjalan beriringan menuju bangunan kampus, disisi lain Adit dan beberapa temannya melihat peristiwa itu.
Olivia hendak melepaskan jaket kepunyaan Rama tapi langsung terhenti karena Rama meletakkan kedua tangannya di kedua pundak Oliv, “Pakai aja, aku nggak mau kamu kedinginan”, nggak lupadengan senyuman yang menawan Rama melepaskan Olivia dan melihat Olivia pergi dari hadapannya.
“Wah wah wah! Siapa itu Dit?”, tanya Hengki pada Adit yang masih melihat kearah Rama.
Mendengar perkataan Hengki itu Adit langsung berhenti memandangi Rama dan langsung berjalan pergi, “Mana gue tahu!”.
Rama nggak gitu aja pergi, dia malah asyik jalan-jalan di kampus. Beberapa cewek yang berpapasan dengannya terlihat tertarik tapi perlu diingat, di hati Rama cuman ada Olivia seorang.
Selesai kuliah. Kelas sudah sepi tinggal ada Disti, Shelly, dan Oliv yang sedang merapikan buku-bukunya dan beranjak pergi, tapi dengan sekejap pintu sudah tertutup oleh Shelly. Disti melancarkan aksinya, dia mendorong tubuh Olivia hingga terjatuh kelantai. Belum sempat Oliv bangun, Disti kembali mendorong tubuh Oliv hingga tersungkur untuk yang kedua kalinya.
“Gue lagi nggak mau cari masalah sama loe!”, ucap tegas Olivia sambil merapikan bukunya yang berserakan.
Disti menjambak rambut Oliv, “Tapi gue lagi pengin cari masalah sama loe”, Disti menyiram kepala Olivia dengan sebotol air mineral.
Shelly bertugas untuk mengawasi takutnya ada orang yang datang tapi dia sekarang malah asyik menonton. Sekarang Olivia bener-bener marah, dia marah dengan bully yang terus Disti lakukan padanya. Dia berusaha melepaskan tangan Disti yang dari tadi menjambak rambut Oliv dan berhasil, Oliv berhasil bangkit dan memojokkan tubuh Disti hingga nggak bisa mundur lagi karena terhalang meja.
Rama masih asyik jalan-jalan. Shelly yang tadi menjaga pintu sekarang ikut membantu Disti, dia berdiri disamping Disti lalu mendorong tubuh Olivia agar mundur. Setelah mendapatkan cukup ruang Disti kembali mendorong Olivia hingga terpojok ke tembok, sampai-sampai Oliv merasakan sakit dipunggungnya. Dari luar jendela Rama melihat itu semua lalu bergegas masuk ruangan itu dan mencengkram erat tangan kanan Disti yang hendak menampar pipi kanan Olivia.
Dengan masih mencengkram tangan Disti, “Loe gila!”. Terdengar suara Rama yang marah.
Tiba-tiba Adit datang, membuat Disti kembali berakting sebagai korban. “Lepasin tangan cewek gue!”, Adit menepis tangan Rama.
Rama terseringai, “Loe lebih mentingin cewek loe yang gila ini, daripada Oliv yang sekarang ini udah jadi istri loe? Loe sama aja gilanya!”.
Olivia terkejut, dari mana Rama tahu tentang itu semua dia memandangi Rama lekat-lekat.
Disti merasakan sedikit sakit di pergelangan tangan kanannya itu.
Adit meraih tangan kanan Disti dan menggenggamnya erat, “Asal loe tahu, gue cuma cinta sama Disti. Dan buat gue Olivia itu nggak ada!”
Senyuman sinis dari bibir Rama kembali mengembang, dia merangkul tubuh Olivia yang gemetaran, “Asal loe tahu juga, cuman Oliv yang gue cintai dan gue nggak akan biarin seorangpun nyakitik dia!”, perkataan Rama lebih meyakinkan.
Masih merangkul Olivia, keduanya pergi meninggalkan Shelly, Disti, dan Adit.
Keduanya masuk kedalam mobil, sekarang sudah nggak hujan lagi, Rama mencari handuk dari dalam tasnya dan memberikan handuknya itu pada Olivia. Olivia masih sibuk mengeringkan sebagian tubuhnya.
“Sekarang aku anterin kamu pulang ya? Atau kita makan dulu, dari tadi siang kan kamu belum makan”, ajak Rama lagi.
Olivia menggelengkan kepalanya, “Aku sudah nggak tinggal dirumahku yang dulu, aku sekarang tinggal sama Adit dirumah keluarganya, aku nggak mungkin pulang bareng sama kamu”.
Rama memahami posisi Olivia sekarang, “Ok aku ngerti itu, kamu tunggu disini sebentar aku mau beli kopi dulu buat kamu”.
Olivia mengangguk, dia memang butuh sesuatu yang bisa menghangatkan tubuhnya yang sedari tadi pagi kedinginan di tambah guyuran dari Disti tadi. Dari dalam mobil Olivia melihat Adit yang menggandeng mesra Disti memasuki mobil dan keduany pergi entah kemana. Terdengar berisik pintu mobil dibuka, ternyata Rama sudah datang dengan membawa 2 cup regular kopi faforit mereka. Rama memberikan salah satunya pada Olivia.
Dibukanya tutup cup itu, “Waw, Americano. Masih inget aja”, ucap Olivia senang lalu menikmati kopi itu.
Rama juga terlihat senang melihat Olivia tersenyum begitu ceria, “Tadi aku udah telfon taksi. Mungkin sebentar lagi taksinya dateng.”
Dan benar kata Rama, nggak sampai lima menit taksi yang ditelfonnya itu datang dan menuju ke tempat parkir. Rama mengantar Olivia mendekat ke taksi, “Hati-hati ya”, ucap Rama sambil mengelus kepala Oliv.
Olivia masuk dalam taksi, Rama menutupkan pintunya. Sebelum pergi Olivia membuka kaca, “Makasih atas hari ini”, ucapnya sambil tersenyum.
Rama juga tersenyum dan Olivia pergi dari hadapannya.
Dirumah Adit lagi dimarahi oleh Mamahnya karena nggak pulang bareng Olivia, ngertinya Adit itu Olivia sudah pulang duluan sama cowok yang tadi bersamanya tapi ternyata Olivia belum pulang kerumah, “Tadi Olivia pulang bareng temennya, jadi Adit nggak tahu apa-apa”, ucapnya membela diri.
Tapi kemarahan Mamahnya itu nggak berlanjut setelah kedatangan Olivia, “Maaf Mah, Oliv pulangnya telat”, ucap Oliv sedikit nggak bersemangat.
“Kenapa baru sampai? Bukannya tadi loe sudah pulang duluan sama cowok itu?”, tanya Adit dengan nada keras.
Mendengar ucapan Adit itu Mamah langsung memukul lengan anaknya itu, “Nggak ada kata loe gue disini!”
“Maaf Mah, tapi Olivia capek banget, Olivia istirahat dulu ya mah”, ucapnya sambil meninggalkan Adit dan Mamah.
Mamah kembali memukul lengan anaknya itu, “Itu gara-gara kamu! Harusnya kamu selalu jagain Oliv”.
Males mendengar kalimat-kalimat Mamahnya, Adit ikut-ikutan masuk kamar. Dibukanya pintu kamar dan menutupnya keras-keras, “Loe bener-bener bikin hancur hidup gue...”, ucapnya keras tapi langsung lenyap seketika setelah melihat Olivia yang sedang sholat maghrib.
Kemarahan Adit sedikit mereda, dia masuk ke kamar mandi, dia mandi lagi untuk lebih meredakan amarahnya. Selesai sholat, Oliv bener-bener ngerasa nggak enak badan jadi dia langsung tidur setelah merapikan mukena dan sajadahnya. Dia masih tidur di karpet karena Adit dan juga dirinya sendiri enggan untuk tidur di satu ranjang yang sama.  Olivia tidur tanpa selimut dia hanya memakai setelah baju tidur panjang.
Adit sudah selesai mandi, dia melihat Olivia yang sudah tertidur di lantai tanpa berselimut. Tapi dia cuek aja, dia keluar menuju ruang makana.
“Oliv mana?”, tanya Papah sesaat setelah Adit duduk.
“Lagi tidur pah”, jawab Adit males.
Mamah mengambil piring Oliv dan menaruh makanan diatasnya, “Pah, Mamah nganterin makanan ini buat Oliv dulu ya”, pamit Mamah.
Adit yang lagi asyik makan langsung melarang Mamahnya karena dia teringat kalau sekarang ini Oliv lagi tidur tapi Oliv tidurnya itu bukan di ranjang, “Mah, tunggu Mah, biar Adit aja nanti yang nganterin.”
Tapi Mamah menolak, “Dia harus makan sekarang”.
Adit meraih nampan yang Mamahnya itu bawa, “Biar Adit aja nanti yang nganterin mah”, bujuk Adit lagi.
“Biarin aja Mah, dia kan suaminya jadi serahin aja sama dia”, ucap Papah.
Akhirnya mereka bertiga melanjutkan makan malam mereka.
Di kamar tubuh Oliv menggigil kedinginan, “Bunda, dingin, dingin”, ucap Olivia dalam tidurnya.
Setelah makan Adit langsung kekamarnya dengan membawa nampan yang berisi makanan dan minuman untuk Oliv, dia membuka pintu pelan-pelan dan langsung meletakkan nampan yang dibawanya itu di meja.
“Dingin. Bunda, disini dingin”, rintih Oliv dalam tidurnya(lagi).
Adit mendengar suara Oliv tersebut, lalu dia mendekati tubuh Oliv yang sedikit gemetaran. Dengan ragu-ragu, perlahan Adit meletakkan tangan kanannya ke dahi Olivia, “Astagfirulloh”, ucapnya terkejut karena mendapati panas tubuh Oliv yang begitu tinggi. “Gimana ini? Gue harus gimana? Apa gue bilang aja ya sama Mamah?”, Adit bertanya pada dirinya sendiri sambil berjalan bolak balik karena kebingungan.
“Jangan! Kalau gue ngadu sama Mamah pasti Mamah bakalan marahin gue karena nggak bisa ngejagain dia. Gue harus ngurus ini semua sendiri”, Adit melanjutkan kalimatnya.
Dia mencoba menggendong tubuh Olivia naik ke ranjang, tapi tubuh Olivia menolak mungkin Oliv masih sedikit tersadar. Adit menunggu beberapa saat lalu mencoba lagi dan berhasil, Olivia tidur diranjang. Tubuhnya yang dingin langsung diselimuti dengan selimut oleh Adit, sekarang tinggal mengompres agar panas tubuh bagian atas Oliv cepat turun.
Adit keluar dari kamarnya untuk mengambil baskom untuk tempat kompresan, dia turun diam-diam agar tidak diketahui oleh orang rumah. Sekali lagi dia berhasil, dia kembali lagi ke kamarnya dan langsung memberikan pertolongan pertama pada Oliv.
“Loe emang bener-bener masalah buat gue!”, ucapnya sedikit geram.
Olivia yang sebenarnya masih tersadar itu langsung menepis tangan Adit, “Gue nggak butuh bantuan loe”, timpalnya dengan lemah.
Mendengar itu semua Adit kesal dan nggak jadi mengompres, dia masuk kekamar mandi untuk cuci muka. Sambil cuci tangan Adit berbicara dengan pantulan dirinya di cermin, “Sudah mending gue mau nolong, coba kalau gue biarin aja loe di lantai, loe bisa mati!”, ucapnya sambil menunjuk-nunjuk bayangannya sendiri.
Dia melanjutkan cuci tangannya, “Mati?”, dia mengkhawatirkan Oliv lagi dan dia buru-buru keluar dari kamar mandi.
Pelan-pelan dia naik ke ranjang dan mulai mengompres, kali ini Oliv nggak bisa menolak karena nggap punya tenaga. Dengan penuh hati-hati Adit merawat Oliv malam itu.
Berulang-ulang kali Adit keluar masuk kamar mandi untuk mengganti air kompresan, di bolak baliknya kain kompresan, di lapnya wajah dan leher Oliv agar suhu tubuhnya segera menurun. Malam itu Adit benar-benar dibuat khawatir oleh keadaan Olivia.
Terus dan terus-terusan Adit melakukan hal yang sama sampai akhirnya dia kelelahan dan terkantuk di samping Oliv, tapi dia kembali tersadar dan mengecek suhu tubuh Olivia lagi. “Alhamdulillah, sudah mendingan”, keadaan Olivia membaik.
Sekarang giliran Adit bingung mau tidur dimana, penginnya sih tidur di ranjang tapi ngerasa nggak nyaman karena ada Olivia disana. Akhirnya Adit memilih bertukar posisi, sekarang dia mengambil bantal dan meletakkannya di karpet dimana Olivia biasa tidur. Tapi nggak lama kemudian ada suara Olivia, dia mencoba bangkit, “Loe disini aja, biar gue tidur disitu lagi”, ucap Olivia lirih.
Adit yang mendengarnya langsung mendekat, “Nggak, malam ini loe tidur disitu. Biar gue dibawah”, ucapnya seraya duduk disamping Oliv.
Oliv kembali mencoba untuk bangun tapi tetap nggak bisa.
Adit kembali mengulangi kata-katanya, “Malam ini loe tidur disini aja.”
“Kalau gitu, loe juga harus tidur disini. Biar bantal guling ini yang jadi pembatasnya”, ucap Oliv lirih sambil meraih guling yang ada disampingnya. “Tidur dibawah bisa bikin punggung loe sakit”, lanjutnya.
Entah karena takut punggungnya sakit atau nggak mau tidur dibawah, intinya Adit maunya memang tidur di kasur yang empuk jadinya mengiyakan tawaran dari Olivia. Olivia sudah tertidur pulas tapi nggak dengan Adit yang malah jadi nggak ngantuk, posisi tidurnya terus berubah-ubah. Kadang menghadap ke Olivia, kadang membelakangi Olivia, pokoknya Adit bisa dibilang salah tingkah. Kalau penyanyi pada demam panggung, beda dengan Adit yang jadinya demam ranjang.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...