Part11#Masih
Bisa Tersenyum#
Disebuah kamar perawatan di rumah
sakit tempat Papah dan Mamah Jo dan Jovan bekerja. Kamar itu nggak terlalu
banyak cahaya karena memang sudah waktunya untuk tidur jadi nggak menggunakan
lampu utama kamar itu.
Jo terbaring lemah, sebuah alat
bantu pernafasan masih terpasang menutupi hidung dan mulutnya. Dibalik bajunya
terpasang beberapa pin berkabel kecil menempel disekitar jantungnya. Dan Jovan
terlihat terkantuk di samping tubuh Jo yang tengah tertidur. Dari awal masuk ke
rumah sakit sampai hari ini Jovan masih setia buat menjaga adiknya.
---
Cahaya matahari pagi menembus
celah-celah korden kamar rawat Jo. Nggak lama kemudian ada Jovan yang
menyingkap korden agar cahaya matahari bisa masuk ke kamar. Ada yang mengetuk
pintu, ternyata Papah dan seorang perawat yang akan memeriksa kondisi Jo.
Jo di beberapa suntikan obat agar
kondisinya segera pulih.
“Jo baik-baik aja. Mendingan kamu
istirahat dulu, tidur dulu, makan dulu. Jo sudah bisa di tinggal sendirian”,
ucap Papah sambil menepuk-nepuk pundak Jovan.
Tapi Jovan nggak mau, lebih
penting dia menjaga Jo. Papah membiarkan pendirian anaknya yang teguh. Setelah
perawat menyuntikkan obat, Papah dan perawat itu keluar untuk mengontrol pasien
yang lainnya.
Alat bantu pernafasan sudah di
gantikan dengan yang lebih simple lagi, sedangkan pin-pin yang mengontrol
jantung Jo belum dilepas.
“Bang”, ucap lemah Jo.
Mendengar ada yang memanggilnya
Jovan segera menghampiri Jo yang sudah sadarkan diri. Itu membuat Jovan nggak
kuat menahan air matanya, untuk kali ini dia menangis dihadapan Jo yang malah
tersenyum kepadanya.
Jo menghapus air mata Jovan
dengan lembut, “Nggak perlu nangis bang, lagian gue yang ngerasain bukan bang
Jovan”, celetuk Jo ringan.
Jovan membelai lembut rambut Jo, “Loe
pasti kuat”, ucap Jovan memberikan semangat.
Jo mengangguk dan tersenyum, lalu
dia mencoba untuk bangkit dan duduk tapi itu rasanya susah sekali. Jadi Jovan
memutar tuas ranjang agar bisa lebih naik, membuat Jo bisa duduk. Nggak lama
kemudian ada berisik suara orang mengetuk pintu.
Ada Desty dan Ferdinand, mereka
berdua datang untuk melihat keadaan Jo. Dengan cepat Desty berlari dan memeluk
sahabatnya itu, dia juga nggak kuasa menahan tangis. Desty nggak bisa berkata
apa-apa, dia cuman menangis dan menangis. Jo terus menepuk-nepuk punggung
sahabatnya itu.
“Sudahlah nggak usah nangis! Loe
tuh jelek kalo nangis”, ucap Jovan ketus.
Desty melepas pelukannya, “Terserah
gue!”, timpalnya nggak kalah ketus.
“Sudahlah, sudah”, Jo menghapus
air mata Desty.
Desty beranjak duduk di sofa dan
membiarkan Ferdinand mendekati Jo. Ferdinand terlihat menahan air matanya, dia
berusaha bersikap seolah-olah dirinya baik-baik saja mengetahui tentang ini
semua. Jo memberikan senyuman untuk Ferdinand yang sekarang duduk di
sampingnya. Ferdinand menghadiahkan pelukan hangat untuk Jo.
“Loe jahat Jo”, ucap Ferdinand
lirih sambil melepas pelukannya.
Jo malah tertawa, “Sekarang loe
jadi tahu ya kondisi gue itu sebenarnya gimana”, keluh Jo, “Tapi janji ya,
jangan pernah kasihani gue”, Jo menunjukkan jari kelingkingnya.
Ferdinand mengaitkan jari
kelingkingnya pada jari kelingking Jo, tandanya Ferdinand berjanji nggak akan
mengasihani Jo.
Di sisi lain, Desty membawakan
makanan untuk Jovan yang dia pastikan belum makan dari tadi malam. Masakan yang
Desty bawa adalah masakan buatan Desty. Jovan yang memang lapar langsung
melahap dengan cepat makanan yang ada, dia terlihat menikmati makanan yang
Desty bawa tapi dari tadi juga Jovan terus ngasih komentar yang negatif tentang
masakan Desty.
“Keasinan nih! Loe pengin
marriage ya?”, ledek Jovan.
Membuat Desty cemberut.
---
Kondisi Jo makin membaik, pin-pin
yang ada didadanya sudah dilepas seluruhnya, dia juga sudah nggak membutuhkan
alat bantu pernafasan lagi. Kondisinya betul-betul sudah semakin membaik dari
sebelumnya.
Kali ini Ferdinand datang
sendirian, dia bolos kuliah setelah dapet sms dari Jovan. Jovan bilang Jo
sendirian, nggak ada yang nemenin, soalnya Jovan ada kuliah yang nggak boleh
ditinggalin jadi dia meminta Ferdinand buat datang ke rumah sakit.
Ferdinand datang sambil membawa
gitar, dia mendekati Jo sambil terus tersenyum dan langsung menghadiahkan
sebuah kecupan ringan di kening Jo. Keduanya berpandang dan saling memberikan
senyum.
“Gue mau nyanyi khusus buat loe”,
ucap Ferdinand sambil mengeluarkan gitarnya dari dalam tas gitar.
Jo sangat terlihat senang.
“Mau lagu apa?”, tanya Ferdinand.
Jo memutar otaknya, “Hmmm, lagu
apa ya?”, dia kembali berpikir, “Lagu Kita dulu deh”, ucap Jo bersemangat.
Ferdinand mulai memainkan
gitarnya, sebuah lagu khusus dinyanyikan untuk Jo.
Terasa hangat dan menyenangkan. Keduanya
sangat terlihat bahagia, sedikit hilang raut kesedihan diantara keduanya.
Ferdinand memang bisa membuat suasana yang nyaman diantara mereka berdua.
Mereka saling bercanda, Jo juga
usil menganggu Ferdinand yang sedang menyanyi. Mereka tertawa lepas, sedikit
melupakan beban yang mereka pikul. Beban yang menyulitkan mereka.
Tiba-tiba hp-nya Ferdinand
berdering, ada sms dari Desty yang benar-benar merusak suasana.
“Loe bolos gara-gara nemenin Jo
di rumah sakit ya?”, ucap Desty dalam pesan singkatnya.
“Ya”, jawab singkat Ferdinand.
“Siapa Fer, yang sms?”, tanya Jo.
“Ini Desty, dia tahu kalau gue
kesini”, jawab Ferdinand jelas.
“Loe kok nggak ngajak gue sih! Huft
sebel”, keluh Desty dalam pesan singkatnya.
Ferdinand nggak membalas lagi sms
itu, dan melanjutkan lagu yang kedua yang akan dia nyanyikan khusus untuk Jo.
---
Hari ini Jo sudah bisa pulang ke
rumahnya. Kondisi tubuhnya memang sudah stabil dan kembali bugar seperti
semula. Desty, Jovan, dan Ferdinand mengantarkan Jo pulang, Jo duduk di kursi
roda yang didorong oleh Ferdinand, Desty dan Jovan membawakan barang-barang Jo.
Mereka berada di satu mobil yang
sama, mobilnya Jovan. Jovan dan Ferdinand duduk di kursi depan, sedangkan Jo
dan Desty duduk di kursi tengah. Mereka terlihat sangat gembira mengantar
kepulangan Jo kerumah.
“Bang, mampir ke cafe. Gue mau
yang seger-seger”, pinta Jo manja.
“Siap boss!”, ucap Jovan.
Jovan dan Ferdinand asyik dengan
apa yang mereka bicarakan, begitu juga dengan Jo dan Desty yang lagi membahas
tentang Neffira.
“Yang ngebuang obat loe itu
Neffira, dia bener-bener keterlaluan”, gerutu Desty.
Jo tersenyum, “Sudah, itu nggak
usah di bahas lagi”, ucap ringan Jo.
Kedunya terdiam sejenak.
“Tadi pagi dia datang”, ucap Jo
lirih.
“Dia?”, tanya Desty nggak ngerti
siapa yang dimaksud Jo.
“Rangga”, jawab Jo menyebutkan
sebuah nama.
Desty terlihat terkejut, “Rangga?”,
ucapnya lebih keras.
Membuat Ferdinand dan Jovan
mendengarnya.
Flash back ke tadi pagi sebelum
Jo di jemput pulang kerumah.
Ada seseorang cowok yang datang
membawakan buket bunga mawar putih untuk Jo. Dia adalah Rangga. Cowok yang
membuat hubungan Jo dan Neffira berantakan, Rangga yang disukai oleh Neffira
tapi Rangga malah menyukai Jovita ketimbang Neffira.
“Gue harap loe baik-baik aja Jo. Gue
ngerasa bersalah bikin hubungan loe sama Neffira jadi rusak”, ucapnya merasa
bersalah.
Jo tersenyum, “Loe salah kalau
loe nemuin gue kayak gini. Gue bisa tebak, sekarang ini loe sudah bener-bener
jatuh cinta sama Neffira kan?”, terka Jo.
Rangga mengangguk pelan.
“Harusnya loe nggak usah temuin
gue, loe harusnya ketemu sama Neffira”, ucap Jo.
Kembali ke yang sekarang.
“Terus gimana?”, tanya Desti
penasaran.
“Dia bilang, dia mau ketemu sama
Neffira hari ini juga. Dia mau jujur tentang perasaannya”, lanjut Jo
menjelaskan.
Dari tadi diam-diam Ferdinand
nguping karena dia penasaran kenapa Desty dan Jo serius banget membahas
seseorang yang bernama Rangga. Tanpa sadar Jovan menangkap basan Ferdinand yang
terlihat lagi menguping.
“Woi! Nggak perlu nguping lagi,
kalau loe mau tahu tinggal tanya aja”, celetuk Jovan yang benar-benar
mengagetkan Ferdinand.
Ferdinand yang kaget jadi salah
tingkah, dia bingung harus bersikap apa. Jovan, Desty, dan Jo malah
mentertawakan Ferdinand.
---
Hari ini Jo sudah bisa masuk
kuliah lagi. Dia sudah selesai sarapan dan minum obat. Setelah pamit sama Mamah
dan Papah, Jo dan Jovan berangkat bersama-sama ke kampus.
Sampai juga di parkiran. Jo
langsung turun dari mobil begitu juga dengan Jovan.
Tiba-tiba ada suara yang
memanggil nama Jo, kontan dia mencari sumber suara yang memanggilnya. Ternyata
dua sahabatnya Desty dan Ferdinand yang memanggil Jo secara bersamaan. Desty
berada nggak jauh dari parkiran dan Ferdinand berada di belakang Desty yang
sudah nggak jauh dari tangga masuk kampus.
Kedua sahabatnya itu melambaikan
tangan, Jo juga membalas mereka dengan lambaian tangan.
“Gue duluan ya bang”, pamit Jo.
Jovan mengangguk. Jo bergegas
menghampiri Desty tapi baru beberapa langkah dia berjalan, dadanya terasa nyeri
lagi, membuat dia sesak nafas. Benar-benar sesak, dia sulit untuk bernafas,
dadanya juga semakin nyeri, Jo terlihat kesakitan.
“Jo!”, teriak Desty, Jovan, dan
Ferdinand bersamaan saat Jo terjatuh ke tanah.
Ketiganya berlari menghampiri Jo
yang sesak nafas gelasahan di tanah.
Jovan, Desty, Ferdinand, dan
orang-orang disekitar mereka langsung panik. Banyak orang yang mengelilingi
mereka, tapi dengan cepat Jovan membopong Jo masuk kedalam mobil lagi, Ferdinand
dan Desty juga masuk dalam mobil Jovan.
Mereka membawa Jo kembali ke
rumah sakit. Kondisi Jo terlihat sangat buruk, Jo sudah nggak sadarkan diri,
denyut nadinyapun sudah samar-samar. Mereka takut, mereka bingung, mereka nggak tahu harus bagaimana.
***
to be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar