Sometehing Called
Love – Part 15
Bunda dan Pinkan lagi makan malam
di sebuah food court, Ayah lagi ada kerjaan di luar kota jadi mereka berdua
memutuskan untuk jalan-jalan ke mall untuk belanja. Mereka berdua sudah seperti
anak dan orang tua yang menghabiskan waktu dan juga menghabiskan uang bersama.
(Hehehe-red)
“Cobain ini deh”, Bunda
menyuapkan makanannya pada Pinkan.
Tentu saja Pinkan menanggapinya
menikmati makanan yang Bunda suapkan padanya, “Ehmm, enak”, ucap Pinkan senang.
Tiba-tiba hp milik Bunda
berdering nyaring di suasana mall yang cukup ramai. Bunda mengambil hp yang ada
didalam tas tangannya lalu melihat ke layar siapa yang menelfonnya, dan Bian
lah yang menelfonnya.
“Hallo sayang... Kamu sudah
sampai?.... Bunda lagi sama Pinkan, lagi makan di mall.... Ya sudah, tunggu
sebentar ya. Bunda pulang sekarang”, ucap Bunda pada anaknya itu.
“Bian ya Bunda?”, tanya Pinkan
sambil menikmati minumannya.
Bunda mengangguk, “Makannya
sudahan yuk, kasihan Bian nungguin di rumah nggak ada makanan”. Ucap Bunda
sambil merapikan barang-barang bawaannya setelah menyimpan hp-nya kembali ke
dalam tas.
Pinkan mengangguk-anggukan kepala
sambil menghabiskan minumannya. Setelah minumannya habis dia langsung
mengangkat barang-barang belanjaannya sendiri lalu berjalan bersama Bunda
keluar dari mall untuk pulang.
Kali ini Pinkan menyetir mobil
sendiri tapi menggunakan mobilnya Bunda, soalnya dia belum punya mobil sendiri.
Memang dirumahnya ada mobil Papah dan Mamahnya tapi Bunda yang menginginkan
Pinkan untuk menyetir mobilnya saja untuk jalan-jalan mereka kali ini.
Sebelum pulang Bunda sudah
membeli makanan untuk Bian, Bunda malas masak hari ini. Bian di rumah lagi
menonton tivi menunggu Bunda-nya pulang, baru beberapa jam yang lalu dia sampai
ke rumah setelah berlibur di Purwokerto bersama teman-teman saku kelasnya yang
ternyata berakhir nggak baik.
“Ah Bunda! Lama banget”, gerutu
Bian yang kemudian meletakkan remote dengan keras di sofa yang dia duduki.
Nggak tahunya setelah Bian
ngedumel kayak gitu, terdengar deru mobil yang memasuki halaman. Bian beranjak
dari tempat duduknya, berjalan menuju pintu depan untuk menyambut Bunda. Bian
membuka pintu itu dengan cepat.
“Terima kasih Bunda, Pinkan
pulang dulu ya”, pamit Pinkan setelah mencium pipi kanan dan kiri Bunda-nya
itu.
Bunda mengangguk, “Tidur yang
nyenyak ya”, ucap Bunda ringan mengiringi Pinkan pergi.
Pinkan mengangguk juga lalu
berjalan pergi, tapi kedua matanya sempat bertemu pandang dengan Bian yang ada
diambang pintu. Pinkan sama sekali nggak menghentikan langkahnya, dia tetap
berjalan pergi setelah melihat Bian. Bunda keheranan melihat Bian dan Pinkan
yang sepertinya sedang ada masalah. Nanti akan Bunda korek semuanya.
“Ayo masuk. Katanya tadi laper!”,
tukas Bunda sambil mengarik anaknya itu masuk kedalam rumah.
Bian menutup pintu lalu berjalan
dirangkulan Bundanya, dia terus memegangi perutnya, “Iya nih. Sudah kelaparan
dari tadi”, ucap Bian manja.
Bunda sedikit menahan tawa, “Harusnya
kamu yang bawa makanan oleh-oleh dari sana, eh malah minta dibeliin makanan
sama Bunda”, timpal Bunda yang kemudian duduk di sofa yang ada didepan tv.
Bunda meletakkan semua
barang-barang belanjaannya dilantai. Lalu membuka makanan yang dibelinya tadi,
dengan cepat Bian langsung menikmatinya. Makanan cepat saji lauk ayam goreng
yang sangat menggugah selera ini cepat-cepat Bian lahap tanpa mempedulikan
Bunda yang ada disampingnya.
“Sebenarnya ada masalah apa
diantara kalian berdua?”, tanya Bunda tajam.
Bian yang lagi asyik makan
sedikit tersedak lalu meminum minuman yang ada dihadapannya, “Kalian berdua?
Yang Bunda maksud siapa?”, timpal Bian sok polos.
Cepat-cepat Bunda mendorong
pundak anaknya itu, “Nggak usah sok nggak tahu maksud Bunda! Baikan sana,
kelamaan berantem itu nggak baik”, ucap Bunda tegas kemudian berlalu
meninggalkan Bian yang kembali melanjutkan makan.
Lagi asyik-asyiknya makan
terdengar ada suara bel memecah keheningan rumah Bian.
“Bian tolong bukain”, ucap Bunda
dengan nada tinggi dari kamarnya.
Setelah mengelap sepantasnya Bian
bergegas untuk membukakan pintu untuk tamu yang datang. Dan yang datang malam
itu ternyata Pinkan, Pinkan agak malas tapi dia datang karena ada urusan dengan
Bunda.
Sambil memperlihatkan tas kertas
yang dia bawa, “Ini punya Bunda tapi kebawa sama gue. Tolong kasihin sama Bunda”,
ucap Pinkan irit alias to the point.
Bian meraih tas kertas itu tapi
juga memegang tangan kanan Pinkan yang masih memegang tas belanjaan Bunda itu,
keduanya saling bertemu pandang, tapi sejurus kemudian Pinkan melepaskan
tangannya karena nggak mau Bian merasakan gimana gemetarannya dia karena
berhadapan dengan Bian, tanpa Pinkan sadari Bian juga mendapati hal yang sama
jantungnya berdebar lebih cepat.
“Maaf”, ucap Bian tulus saat
Pinkan hendak pergi.
Pinkan yang belum terlalu jauh
berjalan akhirnya berhenti tapi tanpa berbalik badan, dia hanya sedikit melirik
kearan Bian yang ada dibelakangnya, “Untuk apa?”, tanya Pinkan ringan.
“Untuk semua perkataan gue yang
nggak berkenan di hati loe”, ucap Bian lagi.
Dari dalam rumah Bunda
memperhatikan keduanya yang bertingkah seperti di drama yang Bunda tonton.
Pinkan menoleh lagi, “Tanpa lo
minta maaf, gue sudah maafin lo”, ucap Pinkan tanpa basa-basi.
Lalu kembali berjalan kerumahnya,
Pinkan tersenyum senang sambil memegangi dadanya yang berdegup kencang. Bian
juga tersenyum senang mendengar apa yang Pinkan katakan tadi padanya, dia
menutup pintu dengan riang kemudian
berbalik badan dengan semangat dan jreng, jreeng, jreeeeng Bunda ada
dihadapnnya sekarang memberikan senyuman yang aneh entah apa maksudnya yang
jelas langsung membuat Bian salah tingkah dan bersikap seperti biasa kembali.
“Bunda, ini tadi Pinkan yang
ngasih, katanya kebawa sama dia”, ucap Bian sedikit tertunduk.
Setelah Bunda meraih apa yang
dikasihnya tadi, dengan cepat Bian berlari menuju ruang tengan dengan
bersemangat, malam ini dia senang karena Pinkan sudah memaafkannya. Walaupun
senang sekali nggak lantas membuat Bian kenyang begitu saja, dia mulai
melanjutkan makannya lagi yang belum habis.
“Besok ajak Pinkan main sana”,
ucap Bunda sambil berlalu kekamarnya.
Bian tersenyum lebar dengan
makanan yang memenuhi mulutnya, “Siap Bunda”, ucapnya sambil mengangkat ayam
goreng yang sedang dia makan.
---
Pagi liburan yang cerah ini Bian
sudah rapi dengan pakaiannya, sepertinya hari dia memiliki acara. Sedangkan
dirumahnya Pinkan sedang sarapan dengan roti tawar yang diolesi selai
strawberry. Tadi pagi Papah sama Mamahnya sudah berangkat ke kantor.
Tadi Papah sama Mamah menawarkan
Pinkan untuk liburan kemanapun terserah Pinkan, tapi Pinkan malah menolaknya. Dia
menikmati hari-harinya yang biasa seperti kemarin dan hari ini. Pinkan maunya
kalau liburannya itu bareng Papah dan Mamahnya, tapi kedua orang tuanya itu
nggak mengamini ide Pinkan itu.
Lamunan Pinkan buyar karena
mendengar suara bell yang menggema di seantero rumahnya. Dengan masih mengunyah
roti dan tangan kanannya yang masih memegang roti berselai setrawberry, Pinkan
berjalan menuju pintu rumahnya untuk membuka pintu karena ada orang yang
datang. Pinkan membuka pintunya pelan, dan Bian lah yang nampak dihadapannya.
“Ada apa?”, tanya Pinkan sambil
memakan lagi rotinya.
Kedua alis Bian terangkat, “Nggak
usah belagak bego deh!”, tukas Bian sambil menjentikkan jarinya di kening
Pinkan.
“Aduh”, Pinkan mengaduh sambil
memegangi keningnya.
Bian mencoba untuk langsung masuk
ke rumah Pinkan lalu duduk di begitu aja, “Lo sudah selesai sarapan?”, tanya
Bian sambil duduk nyaman di sofa ruang tamu.
Pinkan juga duduk di sofa
rumahnya itu, “Nih bentar lagi selesai”, ucap Pinkan sambil memperlihatkan
rotinya yang tinggal sedikit.
“Cuma makan roti gitu?”, celetuk
Bian sambil mencondongkan tubuhnya keraha Pinkan.
Pinkan mengangguk dengan mulut
penuh sisa roti terakhir.
Lagi-lagi Bian menjentikkan
jarinya dikening Pinkan dan lagi-lagi Pinkan mengaduh juga.
“Eh nggak usah sok akrab ya! Gue
masih inget jelas sama perkataan lo waktu itu”, tukas Pinkan kesal.
Yang diumpat oleh Pinkan malah
tertawa terbahak-bahak setelah mendengar apa yang Pinkan katakan itu, “Katanya
sudah maafin gue, eh malah sekarang ngebahas itu lagi”, ucap Bian hendak
mengacak-acak rambut Pinkan.
Tapi dengan cepat Pinkan menepis
tangan Bian, “Nggak usah sok akrab”, timpal Pinkan cepat.
“Ih ngambek. Gitu aja ngambek. Maaf
deh”, ucap Bian manis.
Mendengar apa yang Bian katakan
Pinkan cepat melipat kedua tangannya lagu memalingkan wajahnya dari Bian,
Pinkan mengacuhkan Bian kali ini.
“Ih ngambek beneran nih? Maaf. Maafin
dong”, bujuk Bian lagi sambil mendeka kearah Pinkan.
“Maaf?”, timpal Pinkan dengan
mengerutkan dahinya.
Bian mengangguk bersemangat, “Iya
maafin gue”, ucap Bian mempertegas perkataannya.
“Lo mau gue maafin?”, tukas
Pinkan sambil merubah posisi duduknya menghadap ke Bian.
Bian menganggukkan kepalanya
bersemangat lagi.
“Traktir gue makan dan nonton! Gimana?”,
tanya Pinkan mengungkapkan apa yang dia mau.
Bian hormat pada Pinkan, “Siap
bos!”, ucap Bian bersemangat lalu bangkit, “Ayo berangkat”, ajak Bian cepat.
“Sekarang?”, tanya Pinkan yang
juga sudah berdiri.
Bian mengangguk, “Ayo kita
jalan-jalan dulu”, ucap Bian lalu menarik tangan Pinkan.
Pinkan malah menepisnya. Tentu
saja, Pinkan nggak mungkin pergi tanpa tas, jadi dia pamit dulu buat mengambil
tas yang ada dikamarnya, Bian menunggunya dijalan didepan rumahnya dan rumah
Pinkan. Entah kemana mereka akan pergi pagi ini, yang penting mereka akan
berlibur bersama.
To Be Continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar