Something Called
Love – Part 21
Dari hari ke hari intensitas
pertemuan antara Bian dengan Pinkan mulai berkurang sedangkan intensitas
pertemuan antara Bian dengan Vina lalu Kevin dengan Pinkan makin meninggkat
membuat hubungan diantara keduanya Bian dan Pinkan agak aneh nggak seperti
biasanya, nggak seperti dulu.
Dan Ujian Nasional tinggal dua
minggu lagi, mereka semua disibukkan dengan belajar, belajar, dan belajar. Mengikuti
pelajaran wajib dan pelajaran tambahan, les-pun terkadang harus mereka jalani
demi memperjuangkan nasib mereka nantinya.
Kevin berjalan sendirian melewati
beberapa kelas dan langkahnya terhenti didepan ruang kelas XII.1 dengan pintu
ruangan yang masih terbuka, bahkan terbuka sangat lebar. Lalu dia melongok
melihat kearah dalam mencari ada orang atau tidak dan yang dia lihat adalah
Bian dan Vina yang sedang berdiri berhadapan. Kevin ingin menegur mereka
berdua, dia juga sudah mengangkat tangannya untuk memanggil teman-temannya itu.
Tapi Kevin mengurungkan niatnya
setelah melihat Vina yang tiba-tiba mencium bibir Bian membuat Bian terkejut
dan sedikit tersentak hingga menepi ke tembok. Cepat-cepat Kevin bersembunyi
agar keberadaannya disitu nggak diketahui oleh Bian dan Vina, pelan-pelan dia
berjalan pergi tanpa suara dari tempat itu menuju parkiran.
“Lo kenapa?”, tanya Pinkan yang
daritadi udah menunggunya keluar dari sekolahan.
Kevin menggelengkan kepalanya, “Nggak
sengaja lihat orang pacaran. Hehe”, Kevin sedikit tertawa.
“Siapa?”, tanya Pinkan
bersemangat dengan kepenasarannya juga.
“Coba tebak”, Kevin sedikit
bermain-main, menggoda Pinkan.
Lalu Pinkan menggelengkan
kepalanya cepat, “Ah ayo kasih tahu. Gue lagi males main tebak-tebakan”, sahut
Pinkan memaksa.
“Bian sama Vina, tadi gue lihat
mereka ciuman”, ucap Kevin bersemangat, “Berarti mereka bener-bener pacaran
dong?!”, lanjut Kevin.
Kontan membuat Pinkan syock,
seperti tersambar petir. Dadanya sesak, sakit, dan merasakan hal yang aneh
setelah mendengar ucapan Kevin itu. Dia menganga terkejut masih nggak percaya
tapi ucapan Kevin tadi benar-benar meyakinkan, Pinkan sangat terkejut. Hatinya
hancur berkeping-keping.
“Ah ini cewek, suka banget sih
ngelamun. Pasti ngebayangin apa yang tadi gue bilang”, celetuk Kevin ringan
lalu mencoba menggetar-getarkan kedua lengan Pinkan agar tersadar.
Saat sadar dari lamunannya kedua
bola mata Pinkan lalu tertuju pada sosok Bian dan Vina yang berjalan sambil
bergandengan tangan menuju parkiran. Raut wajah keduanya terlihat senang,
mungkin memang benar apa yang Kevin katakan tadi, mereka dua merupakan pasangan
kekasih.
“Gue mau pulang”, ucap Pinkan
lemah lalu memakai helm-nya.
Kevin memandang kedua mata Pinkan
lalu dia terlihat mengerti kondisi Pinkan. Lalu dia juga memakai helm lalu
buru-buru pergi dari parkiran itu agar mereka berdua nggak berpapasan dengan
Bian dan juga Vina.
Dalam perjalanan kerumah Pinkan,
Pinkan hanya diam saja pandangan matanya juga kosong dan bisa terlihat jelas di
spion yang dari tadi sering Kevin lirik. Sepertinya dia memang tahu apa yang
sedang Pinkan rasakan, pandangan mata kecewa dan terluka dalam. Dia juga
berfikir seharusnya dia nggak ngomong begitu tadi jika akibatnya akan seperti
ini, kasihan sebentar lagi UN.
Sampai juga di rumah Pinkan yang
sepi, seperti biasanya kedua orang tuanya akan pulang larut malam jadi jam-jam
seperti ini rumah akan sepi.
“Lo pulang aja”, ucap Pinkan
nggak bersemangat.
Kevin mengangguk mengerti, “Kalau
ada apa-apa telfon gue aja ya”, ucap Kevin manis.
Pinkan mengangguk lalu
mengisyaratkan dengan tangannya agar Kevin cepat pergi, dan Kevin jelas
mengerti kemudian dia pergi dari rumah Pinkan, dan Pinkan masuk kedalam
rumahnya sendirian.
Tubuhnya terasa lemas, tanpa
melepas seragam dan sepatu sekolahnya Pinkan lalu merebahkan dirinya ditempat
tidur. Rasanya dia sangat ingin menangis tapi air matanya itu nggak ada yang
keluar, pandangan matanya kosong, pikirannya entah kemana, dia hanya memejamkan
matanya, menggerutkan keningnya dan berteriak cukup keras tapi nggak lantas
membuat tetangga-tetangganya mendengar teriakkannya.
Lalu baru setelah itu air matanya
mulai keluar, keluar dengan deras membasahi kedua pipinya lalu mengalir ke
bantal guling yang dia peluk dari tadi. Pinkan kembali teringat ucapan yang dia
dengar dari mulut Kevin tadi sewaktu di parkiran dan dia juga teringat saat
Bian dan Vina bergandengan keluar dari sekolahan.
Dia menangis sendirian, menangisi
sakit hatinya, menangisi rasa kekecewaannya, menangisi penderitaannya, dan
menangisi dirinya sendiri.
---
Pinkan baru selesai mandi padahal
ini sudah jam 7 malam, karena dia baru terbangun tadi setelah menangis tadi. Dia
berjalan ke arah kasurnya sambil menggosok-gosok rambutnya dengan handuk untuk
mengeringkannya, lalu dia meraih hp yang ada disamping bantal dan dia lihat
layarnya.
Ada SMS masuk dari Kevin yang
isinya, “Gue harap lo baik-baik aja”, tulis Kevin dalam pesan singkatnya untuk
Pinkan.
Wajah Pinkan benar-benar nggak
berekspresi apa-apa dan tiba-tiba lampu rumahnya padam. Ada pemadaman dari PLN.
“Aaaa!!!”, teriak Pinkan
ketakutan lalu memeluk gulingnya.
Dia teringat aklau dia sedang
memegang hp, lalu memberanikan dirinya untuk melihat layar hp dan mencari nomor
telfon yang bisa dia minta bantuan. Dan pencariannya itu terhenti pada Bian
kemudian Pinkan men-dial nomer itu untuk menghubunginya tapi sedetik kemudian
dia teringat dengan apa yang dia lihatnya tadi siang cepat-cepat dia mmbatalkan
niat menghubungi Bian.
‘K’, keyword yang dia cari di
phone book-nya. Dan nomer telfon Kevin ada di urutan ketiga setelah nomor
telfon Kamila dan Keila, lalu Pinkan menghubungi nomor Kevin itu. Dia teringat
dengan ucapan Kevin saat akan meninggalkan rumahnya.
Dan nggak perlu menunggu lama
Kevin langsung mengangkat telfonnya.
“Tolong gue, gue takut banget”,
ucap Pinkan gemetaran, “Gue takut....”, ucapan Pinkan terputus karena ternyata
hp-nya mati karena kehabisan daya.
Kontan membuat Pinkan makin
takut, dia menangis ketakutan, tubuhnya juga gemetaran karena takut. Sungguh
hari yang berat untuknya. Di rumahnya Kevin benar-benar dibuat khawatir dengan
telfon Pinkan itu apalagi ditambah dengan telfon yang tiba-tiba terputus, dia
khawatir sekali takut terjadi apa-apa dengan Pinkan, jadi dia bergegas keluar
dari kamarnya setelah meraih jaket dan kunci motornya.
Dia bergegas keluar dari rumahnya
tanpa mempedulikan kedua orang tuanya yang terkejut dengan tingkah Kevin malam
ini. Kevin melajukan motornya menuju rumah Pinkan, kecepatannya menggendarai
malam ini sangat cepat karena takut ada sesuatu yang buruk terjadi pada Pinkan.
Dan nggak butuh waktu yang lama
Kevin sudah sampai di halaman rumah Pinkan, keadaan malam itu memang sangat
gelap. Dia berjalan menuju pintu depan rumah Pinkan yang tertutup rapat, dia
mencoba membukanya tapi nggak bisa, hanya dengan penerangan dari hp-nya Kevin
berjalan menuju pintu samping yang ternyata juga di kunci, hanya ada satu pintu
lagi yaitu pinpu belakang yaitu pintu menuju dapur. Kevin mencoba membuka pintu
itu dan Alhamdulillah bisa terbuka.
Keadaan rumah itu benar-benar
gelap, lalu dia berjalan diantara kegelapan mencari sesuatu untuk penerangan
dan Kevin menemukan senter di sebuah meja kecil yang ada didekat tangga. Saat
dia mengambil senter itu dan menyalakannya, samar-samar terdengar suara Pinkan
yang menangis, Kevin bergegas menyusuri tangga dan mencari kamar Pinkan. Sampai
akhirnya pintu kamar Pinkan terbuka.
Bian yang sedang dalam perjalanan
pulang merasakan hatinya yang nggak tenang, ada sesuatu yang mengusik hatinya,
entah karena apa. Jadi dia lebih mempercepat kecepatan motor sport-nya agar
cepat sampai di rumah, dia habis dari rumah Vina setelah pulang sekolah tadi,
Bian masih berseragam putih abu-abu.
Melihat kompleks rumahnya yang gelap
Bian langsung berubah panik, dia nggak memarkirkan motornya di rumahnya tapi
hanya didepan rumahnya lalu bergegas berlari menuju rumah yang ada dihadapannya
yang juga gelap yaitu rumahnya Pinkan. Dia mencoba membuka pintu depan rumah
Pinkan tapi nggak bisa.
Bian nggak lantas kehabisan akal
lalu dia berlari menuju pintu samping dan langkahnya berhenti saat melihat
cahaya yang cukup terang dari banyak lilin yang bercahaya disekitar pinggir
kolam renang dimana terlihat Pinkan yang menangis sedang berpelukan erat dengan
Kevin. Melihat peristiwa itu Bian mencoba bersembunyi agar dia nggak ketahuan
ada disitu.
Dari tempat persembunyiannya dia
bisa melihat apa yang sedang Pinkan dan Kevin lakukan tapi dia nggak bisa
mendengarkan apa yang mereka bicarakan akrena jarak yang nggak memungkinkannya
untuk mendengar suara Pinkan dan Kevin yang nggak keras itu.
Kevin menghapus air mata Pinkan, “Gue
ngerti”, ucapnya menenangkan lalu mengecup penuh perasaan kening Pinkan dengan
tulus.
Bian yang melihat itu langsung
berasa seperti tersambar petir. Hatinya sangat sakit saat melihat Pinkan dicium
keningnya oleh Kevin. Tubuhnya melemas nggak bertenaga setelah melihat semua
itu, Bian membalikkan badannya dan berjalan pergi dari rumah Pinkan.
“Gue sangat ngerti. Dan gue nggak
mau berharap lebih, please kasih kesempatan buat gue, supaya gue bisa bikin lo
suka sama gue”, ucap Kevin sambil tersenyum.
Cahaya redup lilin menyinari
Kevin dan Pinkan dengan romantisnya. Kedunya tersenyum ringan disinari cahaya
yang membuat lingkungan menjadi terang.
To Be Continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar