•☺• Selamat Datang di Rumah Cerita 'Blognya mahasiswa TI yang lebih suka menulis cerita' <<<<<•☺•ECHY FACTS•☺•>>>>> Gue suka FC Barcelona •☺• Golongan darah gue A •☺• Lebih suka film genre Thriler daripada Horror •☺• Jangan lupa follow twitter Echy @cieEchy •☺• Echy itu Mandiri dalam arti sebenarnya dan juga dalam arti mandi sendiri •☺• Pengin punya Apartemen, moga kesampean #AMIN •☺• Penampilan Kampungan Wawasan Internasional •☺• Lebih suka ngelamun daripada ngelantur •☺•

Rabu, 21 Desember 2011

Something Called Love - Part 21


Something Called Love – Part 21
Dari hari ke hari intensitas pertemuan antara Bian dengan Pinkan mulai berkurang sedangkan intensitas pertemuan antara Bian dengan Vina lalu Kevin dengan Pinkan makin meninggkat membuat hubungan diantara keduanya Bian dan Pinkan agak aneh nggak seperti biasanya, nggak seperti dulu.
Dan Ujian Nasional tinggal dua minggu lagi, mereka semua disibukkan dengan belajar, belajar, dan belajar. Mengikuti pelajaran wajib dan pelajaran tambahan, les-pun terkadang harus mereka jalani demi memperjuangkan nasib mereka nantinya.

Kevin berjalan sendirian melewati beberapa kelas dan langkahnya terhenti didepan ruang kelas XII.1 dengan pintu ruangan yang masih terbuka, bahkan terbuka sangat lebar. Lalu dia melongok melihat kearah dalam mencari ada orang atau tidak dan yang dia lihat adalah Bian dan Vina yang sedang berdiri berhadapan. Kevin ingin menegur mereka berdua, dia juga sudah mengangkat tangannya untuk memanggil teman-temannya itu.
Tapi Kevin mengurungkan niatnya setelah melihat Vina yang tiba-tiba mencium bibir Bian membuat Bian terkejut dan sedikit tersentak hingga menepi ke tembok. Cepat-cepat Kevin bersembunyi agar keberadaannya disitu nggak diketahui oleh Bian dan Vina, pelan-pelan dia berjalan pergi tanpa suara dari tempat itu menuju parkiran.
“Lo kenapa?”, tanya Pinkan yang daritadi udah menunggunya keluar dari sekolahan.
Kevin menggelengkan kepalanya, “Nggak sengaja lihat orang pacaran. Hehe”, Kevin sedikit tertawa.
“Siapa?”, tanya Pinkan bersemangat dengan kepenasarannya juga.
“Coba tebak”, Kevin sedikit bermain-main, menggoda Pinkan.
Lalu Pinkan menggelengkan kepalanya cepat, “Ah ayo kasih tahu. Gue lagi males main tebak-tebakan”, sahut Pinkan memaksa.
“Bian sama Vina, tadi gue lihat mereka ciuman”, ucap Kevin bersemangat, “Berarti mereka bener-bener pacaran dong?!”, lanjut Kevin.
Kontan membuat Pinkan syock, seperti tersambar petir. Dadanya sesak, sakit, dan merasakan hal yang aneh setelah mendengar ucapan Kevin itu. Dia menganga terkejut masih nggak percaya tapi ucapan Kevin tadi benar-benar meyakinkan, Pinkan sangat terkejut. Hatinya hancur berkeping-keping.
“Ah ini cewek, suka banget sih ngelamun. Pasti ngebayangin apa yang tadi gue bilang”, celetuk Kevin ringan lalu mencoba menggetar-getarkan kedua lengan Pinkan agar tersadar.
Saat sadar dari lamunannya kedua bola mata Pinkan lalu tertuju pada sosok Bian dan Vina yang berjalan sambil bergandengan tangan menuju parkiran. Raut wajah keduanya terlihat senang, mungkin memang benar apa yang Kevin katakan tadi, mereka dua merupakan pasangan kekasih.
“Gue mau pulang”, ucap Pinkan lemah lalu memakai helm-nya.
Kevin memandang kedua mata Pinkan lalu dia terlihat mengerti kondisi Pinkan. Lalu dia juga memakai helm lalu buru-buru pergi dari parkiran itu agar mereka berdua nggak berpapasan dengan Bian dan juga Vina.
Dalam perjalanan kerumah Pinkan, Pinkan hanya diam saja pandangan matanya juga kosong dan bisa terlihat jelas di spion yang dari tadi sering Kevin lirik. Sepertinya dia memang tahu apa yang sedang Pinkan rasakan, pandangan mata kecewa dan terluka dalam. Dia juga berfikir seharusnya dia nggak ngomong begitu tadi jika akibatnya akan seperti ini, kasihan sebentar lagi UN.
Sampai juga di rumah Pinkan yang sepi, seperti biasanya kedua orang tuanya akan pulang larut malam jadi jam-jam seperti ini rumah akan sepi.
“Lo pulang aja”, ucap Pinkan nggak bersemangat.                 
Kevin mengangguk mengerti, “Kalau ada apa-apa telfon gue aja ya”, ucap Kevin manis.
Pinkan mengangguk lalu mengisyaratkan dengan tangannya agar Kevin cepat pergi, dan Kevin jelas mengerti kemudian dia pergi dari rumah Pinkan, dan Pinkan masuk kedalam rumahnya sendirian.
Tubuhnya terasa lemas, tanpa melepas seragam dan sepatu sekolahnya Pinkan lalu merebahkan dirinya ditempat tidur. Rasanya dia sangat ingin menangis tapi air matanya itu nggak ada yang keluar, pandangan matanya kosong, pikirannya entah kemana, dia hanya memejamkan matanya, menggerutkan keningnya dan berteriak cukup keras tapi nggak lantas membuat tetangga-tetangganya mendengar teriakkannya.
Lalu baru setelah itu air matanya mulai keluar, keluar dengan deras membasahi kedua pipinya lalu mengalir ke bantal guling yang dia peluk dari tadi. Pinkan kembali teringat ucapan yang dia dengar dari mulut Kevin tadi sewaktu di parkiran dan dia juga teringat saat Bian dan Vina bergandengan keluar dari sekolahan.
Dia menangis sendirian, menangisi sakit hatinya, menangisi rasa kekecewaannya, menangisi penderitaannya, dan menangisi dirinya sendiri.
---
Pinkan baru selesai mandi padahal ini sudah jam 7 malam, karena dia baru terbangun tadi setelah menangis tadi. Dia berjalan ke arah kasurnya sambil menggosok-gosok rambutnya dengan handuk untuk mengeringkannya, lalu dia meraih hp yang ada disamping bantal dan dia lihat layarnya.
Ada SMS masuk dari Kevin yang isinya, “Gue harap lo baik-baik aja”, tulis Kevin dalam pesan singkatnya untuk Pinkan.
Wajah Pinkan benar-benar nggak berekspresi apa-apa dan tiba-tiba lampu rumahnya padam. Ada pemadaman dari PLN.
“Aaaa!!!”, teriak Pinkan ketakutan lalu memeluk gulingnya.
Dia teringat aklau dia sedang memegang hp, lalu memberanikan dirinya untuk melihat layar hp dan mencari nomor telfon yang bisa dia minta bantuan. Dan pencariannya itu terhenti pada Bian kemudian Pinkan men-dial nomer itu untuk menghubunginya tapi sedetik kemudian dia teringat dengan apa yang dia lihatnya tadi siang cepat-cepat dia mmbatalkan niat menghubungi Bian.
‘K’, keyword yang dia cari di phone book-nya. Dan nomer telfon Kevin ada di urutan ketiga setelah nomor telfon Kamila dan Keila, lalu Pinkan menghubungi nomor Kevin itu. Dia teringat dengan ucapan Kevin saat akan meninggalkan rumahnya.
Dan nggak perlu menunggu lama Kevin langsung mengangkat telfonnya.
“Tolong gue, gue takut banget”, ucap Pinkan gemetaran, “Gue takut....”, ucapan Pinkan terputus karena ternyata hp-nya mati karena kehabisan daya.
Kontan membuat Pinkan makin takut, dia menangis ketakutan, tubuhnya juga gemetaran karena takut. Sungguh hari yang berat untuknya. Di rumahnya Kevin benar-benar dibuat khawatir dengan telfon Pinkan itu apalagi ditambah dengan telfon yang tiba-tiba terputus, dia khawatir sekali takut terjadi apa-apa dengan Pinkan, jadi dia bergegas keluar dari kamarnya setelah meraih jaket dan kunci motornya.
Dia bergegas keluar dari rumahnya tanpa mempedulikan kedua orang tuanya yang terkejut dengan tingkah Kevin malam ini. Kevin melajukan motornya menuju rumah Pinkan, kecepatannya menggendarai malam ini sangat cepat karena takut ada sesuatu yang buruk terjadi pada Pinkan.
Dan nggak butuh waktu yang lama Kevin sudah sampai di halaman rumah Pinkan, keadaan malam itu memang sangat gelap. Dia berjalan menuju pintu depan rumah Pinkan yang tertutup rapat, dia mencoba membukanya tapi nggak bisa, hanya dengan penerangan dari hp-nya Kevin berjalan menuju pintu samping yang ternyata juga di kunci, hanya ada satu pintu lagi yaitu pinpu belakang yaitu pintu menuju dapur. Kevin mencoba membuka pintu itu dan Alhamdulillah bisa terbuka.
Keadaan rumah itu benar-benar gelap, lalu dia berjalan diantara kegelapan mencari sesuatu untuk penerangan dan Kevin menemukan senter di sebuah meja kecil yang ada didekat tangga. Saat dia mengambil senter itu dan menyalakannya, samar-samar terdengar suara Pinkan yang menangis, Kevin bergegas menyusuri tangga dan mencari kamar Pinkan. Sampai akhirnya pintu kamar Pinkan terbuka.
Bian yang sedang dalam perjalanan pulang merasakan hatinya yang nggak tenang, ada sesuatu yang mengusik hatinya, entah karena apa. Jadi dia lebih mempercepat kecepatan motor sport-nya agar cepat sampai di rumah, dia habis dari rumah Vina setelah pulang sekolah tadi, Bian masih berseragam putih abu-abu.
Melihat kompleks rumahnya yang gelap Bian langsung berubah panik, dia nggak memarkirkan motornya di rumahnya tapi hanya didepan rumahnya lalu bergegas berlari menuju rumah yang ada dihadapannya yang juga gelap yaitu rumahnya Pinkan. Dia mencoba membuka pintu depan rumah Pinkan tapi nggak bisa.
Bian nggak lantas kehabisan akal lalu dia berlari menuju pintu samping dan langkahnya berhenti saat melihat cahaya yang cukup terang dari banyak lilin yang bercahaya disekitar pinggir kolam renang dimana terlihat Pinkan yang menangis sedang berpelukan erat dengan Kevin. Melihat peristiwa itu Bian mencoba bersembunyi agar dia nggak ketahuan ada disitu.
Dari tempat persembunyiannya dia bisa melihat apa yang sedang Pinkan dan Kevin lakukan tapi dia nggak bisa mendengarkan apa yang mereka bicarakan akrena jarak yang nggak memungkinkannya untuk mendengar suara Pinkan dan Kevin yang nggak keras itu.
Kevin menghapus air mata Pinkan, “Gue ngerti”, ucapnya menenangkan lalu mengecup penuh perasaan kening Pinkan dengan tulus.
Bian yang melihat itu langsung berasa seperti tersambar petir. Hatinya sangat sakit saat melihat Pinkan dicium keningnya oleh Kevin. Tubuhnya melemas nggak bertenaga setelah melihat semua itu, Bian membalikkan badannya dan berjalan pergi dari rumah Pinkan.
“Gue sangat ngerti. Dan gue nggak mau berharap lebih, please kasih kesempatan buat gue, supaya gue bisa bikin lo suka sama gue”, ucap Kevin sambil tersenyum.
Cahaya redup lilin menyinari Kevin dan Pinkan dengan romantisnya. Kedunya tersenyum ringan disinari cahaya yang membuat lingkungan menjadi terang.
To Be Continued....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...