Something Called
Love – Part 9
Pinkan terbangun dari tidurnya,
setelah mengucek-ngucek matanya dia melihat kesekeliling dan menyadari dirinya
bukan berada di kamar pink-nya. Entah dimana dia berada sekarang, tapi setelah
melihat foto yang terpajang di meja samping tempat tidurnya, dia tahu kalau
kamar ini adalah kamar Bian.
Dia mulai memutar otaknya
mengingat apa yang kemarin terjadi. Dia ingat dia digendong Bian masuk kedalam
rumah ini lalu dibawa kekamar yang sudah dipenuhi dengan cahaya, lalu Pinkan
tidur begitu saja setelah Bian meninggalkannya di kamar ini.
“Haduuuh, gue malu!”, Pinkan
menepuk jidatnya. “Bagaimana ini?”, geturu Pinkan yang malu dengan kejadian
tadi malam.
Dia beranjak dari tempat tidur
lalu membereskannya dan pergi ke kamar mandi yang ada di kamar itu. Kamar yang
sama dengan kamar pink-nya, secara satu kompleks rumahnya kayak gini semua. Dia
masuk ke kamar mandi itu dan melihat ada tulisan dalam sebuah kertas yang
ditempelkan di cermin.
“Mau mandi? Sudah gue siapin
semua perlengkapannya. Buka aja lemari kaca ini”, ucap Pinkan membaca pesan
dalam kertas itu.
Lalu ia membukanya, ada handuk
baru berwarna pink, ada sikat gigi baru yang berwarna pink juga, dan beberapa
perlengkapan mandi lainnya. Pinkan tersenyum senang, dia melihat ada sebuah
spidol yang tertinggal di wastafel, lalu dia menambahkan tulisan dalam kertas
itu.
“Terima kasih banyak ^_^”, tulis
Pinkan dalam kertas itu.
Lalu dia beranjak untuk mandi.
Bian dan Ayah lagi jogging,
sedangkan Mamah lagi menyiapkan makanan untuk mereka semua sarapan. Dan Pinkan
akhirnya selesai dengan mandinya. Tapi saat akan merapikan rambutnya dia nggak
melihat ada sisir jadi dia membiarkan saja rambutnya sedikit berantakan.
Setelah membereskan semuanya,
Pinkan diam-diam keluar dari kamar Bian. dia celingak-celinguk kesana kemari
melihat situasi.
“Pinkan”, panggilan dari Bunda
yang benar-benar mengejutkan Pinkan.
Pinkan sedikit melonjak tapi
kemudian bersikap biasa saja, dia menuruni tangga berjalan ke dapur untuk
bertemu Bunda yang mulai menata makanan di meja makan. Tentu saja Pinkan
membantunya, dengan senang hati juga tentunya.
Selesai membantu menyiapkan
sarapan.
“Kamu belum sisiran ya? Rambut
kamu berantakan”, ucap Bunda perhatian.
Pinkan sedikit tertawa, “Iya
Bunda. Pinkan nggak nemuin sisir di kamar Bian”, jawab Pinkan agak malu-malu.
Lalu Bunda menggandeng tangan
Pinkan agar mengikutinya kekamarnya, “Ayo biar Bunda sisirin kamu dulu”, ucap
Bunda.
Walaupun merasa nggak enak tapi
Pinkan nggak bisa menolak Bunda yang baik itu. Pinkan di dudukan di kursi meja
rias, lalu Bunda mengambil sisir kemudian menyisiri rambut panjang Pinkan
dengan lembut dan hati-hati. Bunda terlihat senang.
“Sudah lama Bunda memimpikan
seperti ini. Bunda ingin sekali mempunyai anak perempuan tapi kehendak Alloh
berbeda, Bunda cuman punya Bian”, ucap Bunda sambil terus menyisir rambut Pinkan.
Pinkan tersenyum, “Tapi
sekarangkan sudah ada Pinkan. Kalau mau Bunda bisa anggep Pinkan anak Bunda
juga”, ucap manis Pinkan sambil melihat kebayangan Bunda dicermin.
Bunda melihat bayangan Pinkan di
cermin juga, “Bunda sudah anggep kamu kayak anak Bunda sendiri”, ucap Bunda
semangat.
Keduanya tertawa bahagia. Lalu
Bunda mengambil sesuatu dalam laci meja riasnya. Dia mengambil sebuah aksesoris
pengikat rambut berwarna pink ada hiasan strawberry pink-nya juga. lalu Bunda
memasangkan itu pada rambut Pinkan, Bunda sangat terlihat senang.
“Ini ikat rambut Bunda waktu
masih kecil. Ingin sekali menghadiahkan ini buat anak Bunda tapi nggak mungkin
kalau Bunda menghadiahkan ini pada Bian. Jadi Bunda harap kamu mau menerimanya
ya”, ucap Bunda sambil memasangkan ikar rambut itu.
Pinkan tersenyum senang sekali, “Terima
kasih Bunda”, ucap Pinkan tulus.
Terdengar suara berisik dari
luar, mungkin Bian dan Ayah sudah pulang dari jogging. Bunda dan Pinkan keluar
untuk menemui mereka. Dan benar saja, memang Bian dan Ayah yang pulang, Bian
dan Ayah langsung pergi untuk membersihkan diri sebelum mereka sarapan bersama
nanti.
Bunda dan Pinkan sudah siap di
meja makan.
“Oh ya, tadi malam Mamah sama
Papah kamu nyariin kamu. Tapi kamu sudah tidur nyenyak di kamar Bian jadi kami
nggak berani membangunkan kamu. Mamah sama Papah kamu pamit karena ada dinar
keluar negri. Katanya, Mamah kamu ada kerjaan di Singapura dan Papah kamu ada
kerjaan juga di Australia. Mereka nitipin kamu sama Bunda”, ucap Bunda panjang
lebar.
Pinkan tersenyum getir, “Seperti
biasanya”, timpal Pinkan ringan.
Nggak lama kemudian Ayah dan Bian
datang. Lalu mereka berempat memulai sarapan bersama-sama. Seperti sebuah
keluarga yang lengkap dan tentu saja harmonis, Pinkan merasa nyaman disitu.
“Lo bener-bener takut gelap ya?”,
tanya Bian disela-sela makannya.
Pinkan tertawa malu, “Terima
kasih, tadi malam gue sudah bikin repot lo”, ucap Pinkan malu-malu.
Bian mengibaskan tangannya, “Itu
bukan apa-apa. Terima kasih juga sudah mau ngeberesin kamar gue”, ucap Bian senang.
Suasana sarapan yang
menyenangkan, sudah lama Pinkan nggak merasakan hal seperti itu. Kedua orang
tuanya terlalu sibuk untuk memberikan Pinkan waktu untuk sekedar sarapan
bersama. Pokoknya Pinkan lebih sering sendirian, nggak bersama dengan kedua
orang tuanya.
Mereka selesai makan juga.
Pinkan pamit pulang.
“Tapi ntar lo ikut belajar
bersama lagi kan?”, tanya Bian yang mengantarkan Pinkan sampai ambang pintu
rumahnya.
Pinkan sedikit terkejut, “Ntar
belajar bersama lagi?”, tanya Pinkan memastikan.
Bian mengangguk pasti, “Lo nggak
tahu? Vina nggak ngasih tahu lo?”, Bian mengajukan pertanyaan lagi.
Pinkan menggelengkan kepalanya
mantap, “Gue nggak tahu sama sekali. Vina nggak pernah kasih tahu gue. Atau
mungkin dia mikir kalau gue deket ini rumahnya sama lo jadi nggak perlu dikasih
tahu”, jawab Pinkan membela Vina.
Bian mengangguk, “Mungkin aja. Oh
ya, ntar tetep di rumah gue atau gantian dirumah lo?”, tanya Bian lagi.
Pinkan berfikir, dia teringat
kedua orang tuanya itu sedang keluar negri jadi rumah akan sepi tanpa adanya
pertengkaran.
“Di rumah gue ya nggak apa-apa”,
jawab Pinkan setuju.
“Ok deh. Ntar kita semua belajar
ditempat lo”, lanjut Bian.
Pinkan berjalan sambil
melambaikan tangannya, “Sampai nanti”.
Bian melambaikan tangannya juga
tanpa berkata apa-apa. Bian tersenyum pada punggung Pinkan yang pergi dari
hadapannya. Bian memusatkan perhatiannya pada Pinkan yang mulai menyebrangi
jalan menuju rumah yang ada diseberang. Rasanya senang dan bahagia sekali
melihat Pinkan yang ceria seperti itu. Nggak kayak tadi malam yang membuat Bian
khawatir sekali.
---
Vina datang bersama dengan Joni.
Bian sudah dari tadi ada dirumah Pinkan, mereka menghabiskan waktu bersama
bermain game. Setelah Vina dan Joni datang mereka berdua menghentika
kegiatannya dan beranjak untuk belajar.
Dengan cepat Vina mengambil
tempat yang dekat dengan Bian. Pinkan bersikap biasa saja, dia membiarkan
mereka berdua, dia juga bisa dengan Joni. Kali ini mereka mempelajari
matematika, mata pelajaran yang sangat dikuasai Bian, Pinkan juga lumayan
menguasainya.
“Ini pakai rumus yang mana Pink?”,
tanya Joni pada Pinkan sambil menunjukkan bukunya.
Pinkan lebih mendekat pada Joni
agar lebih bisa menjelaskan. Bian merasa nggak suka Pinkan dekat-dekat dengan
Joni. Waktu Bian ingin mendekati Pinkan, Vina malah menghalangi dengan
mengajukan pertanyaan padanya.
Vina juga berusaha duduk lebih
dekat dengan Bian. Pokoknya inti dari niat Vina mengikuti kegiatan ini adalah
untuk lebih dekat dengan Bian. Pinkan sempat melihat Vina yang duduk berdekatan
dengan Bian, Pinkan nggak suka tapi ya sudahlah dia nggak bisa berbuat apa-apa.
“Siapa yang mau es krim?”, tanya
Pinkan.
Bian, Vina, dan Joni bersorak
mau. Pinkan bangkit dan beranjak pergi ke dapur, Bian hendak bangkit juga, dia
ingin mengikuti Pinkan ke dapur tapi dia nggak jadi setelah Joni bangkit dan
bergegas mengejar Pinkan yang berjalan ke dapur.
“Ada yang perlu gue bantu?”.
Pinkan mengira itu Bian tapi
setelah ia menoleh ia terkejut sedikit tersentak, “Eh elo Jon”, ucap Pinkan
kikuk.
“Ada yang perlu gue bantu?”, Joni
mengulangi pertanyaannya.
Pinkan mengangguk pasti, “Lo
bawain ini ya”, ucap Pinkan lalu memberikan satu kotak besar es krim pada Joni,
“Gue ambil sendok dulu”, lanjut Pinkan berlalu.
“Lo pasti nggak nyaman ya dengan
situasi seperti tadi?”, gumam Joni mengawali pembicaraan.
“Maksud lo apa? Gue nggak ngerti”,
Pinkan malah balik tanya.
Joni sedikit tertawa, “Ah sudah
lah, nggak penting. Yang penting sekarang kita balik kesana aja”, lanjut Joni
mengganti topik lalu menarik tangan Pinkan agar mengikutinya.
Joni menggandeng tangan Pinkan
kembali ke ruang tengah, tepat saat itu Bian melihat keduanya datang. Wajah
Bian memerah, matanya berkilat dengan sorot yang tajam, Bian terlihat nggak
suka kalau Joni menggandeng tangan Pinkan. Tapi Bian nggak bisa berbuat
apa-apa, dia nggak berhak untuk melarang semua itu.
“Ayo kita makan es krim dulu”,
ajak Pinkan riang.
Mereka merapat mengerubungi kotak
besar es krim itu. Bian bergerak cepat untuk bisa memberikan suapan pertamanya
pada Pinkan, walaupun ragu dan sedikit kikuk akhirnya Pinkan memakan es krim
yang Bian suapkan. Vina nggak mau kalah, dia juga bergerak cepat memberikan
suapan pada Bian.
Hal yang menyenangkan tapi juga
kekanak-kanakan. Itulah sesuatu yang disebut cinta. Gimanapun orangnya,
berapapun umurnya, bagaimanapun sifatnya, pokoknya bisa berubah jadi
kekanak-kanakan begitu saja kalau sudah merasakan yang namanya cinta.
Mereka selesai belajar bersama.
Pinkan dan Bian melambaikan
tangan saat mobil Joni beranjak pergi. Dari dalam mobil Vina melambaikan tangan
dengan antusias pada Bian, Bian menanggapinya biasa saja. Mood-nya masih jelek
karena tadi melihat Joni menggandeng tangan Pinkan.
“Maksud Joni apa pakai
gandeng-gandeng tangan lo”, ucap Bian tanpa melihat kearah Pinkan.
Bian beranjak pergi meninggalkan
Pinkan yang bingung setelah mendengar kalimatnya itu.
To Be Continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar