•☺• Selamat Datang di Rumah Cerita 'Blognya mahasiswa TI yang lebih suka menulis cerita' <<<<<•☺•ECHY FACTS•☺•>>>>> Gue suka FC Barcelona •☺• Golongan darah gue A •☺• Lebih suka film genre Thriler daripada Horror •☺• Jangan lupa follow twitter Echy @cieEchy •☺• Echy itu Mandiri dalam arti sebenarnya dan juga dalam arti mandi sendiri •☺• Pengin punya Apartemen, moga kesampean #AMIN •☺• Penampilan Kampungan Wawasan Internasional •☺• Lebih suka ngelamun daripada ngelantur •☺•

Jumat, 09 Desember 2011

Something Called Love - Part 9


Something Called Love – Part 9
Pinkan terbangun dari tidurnya, setelah mengucek-ngucek matanya dia melihat kesekeliling dan menyadari dirinya bukan berada di kamar pink-nya. Entah dimana dia berada sekarang, tapi setelah melihat foto yang terpajang di meja samping tempat tidurnya, dia tahu kalau kamar ini adalah kamar Bian.
Dia mulai memutar otaknya mengingat apa yang kemarin terjadi. Dia ingat dia digendong Bian masuk kedalam rumah ini lalu dibawa kekamar yang sudah dipenuhi dengan cahaya, lalu Pinkan tidur begitu saja setelah Bian meninggalkannya di kamar ini.
“Haduuuh, gue malu!”, Pinkan menepuk jidatnya. “Bagaimana ini?”, geturu Pinkan yang malu dengan kejadian tadi malam.

Dia beranjak dari tempat tidur lalu membereskannya dan pergi ke kamar mandi yang ada di kamar itu. Kamar yang sama dengan kamar pink-nya, secara satu kompleks rumahnya kayak gini semua. Dia masuk ke kamar mandi itu dan melihat ada tulisan dalam sebuah kertas yang ditempelkan di cermin.
“Mau mandi? Sudah gue siapin semua perlengkapannya. Buka aja lemari kaca ini”, ucap Pinkan membaca pesan dalam kertas itu.
Lalu ia membukanya, ada handuk baru berwarna pink, ada sikat gigi baru yang berwarna pink juga, dan beberapa perlengkapan mandi lainnya. Pinkan tersenyum senang, dia melihat ada sebuah spidol yang tertinggal di wastafel, lalu dia menambahkan tulisan dalam kertas itu.
“Terima kasih banyak ^_^”, tulis Pinkan dalam kertas itu.
Lalu dia beranjak untuk mandi.
Bian dan Ayah lagi jogging, sedangkan Mamah lagi menyiapkan makanan untuk mereka semua sarapan. Dan Pinkan akhirnya selesai dengan mandinya. Tapi saat akan merapikan rambutnya dia nggak melihat ada sisir jadi dia membiarkan saja rambutnya sedikit berantakan.
Setelah membereskan semuanya, Pinkan diam-diam keluar dari kamar Bian. dia celingak-celinguk kesana kemari melihat situasi.
“Pinkan”, panggilan dari Bunda yang benar-benar mengejutkan Pinkan.
Pinkan sedikit melonjak tapi kemudian bersikap biasa saja, dia menuruni tangga berjalan ke dapur untuk bertemu Bunda yang mulai menata makanan di meja makan. Tentu saja Pinkan membantunya, dengan senang hati juga tentunya.
Selesai membantu menyiapkan sarapan.
“Kamu belum sisiran ya? Rambut kamu berantakan”, ucap Bunda perhatian.
Pinkan sedikit tertawa, “Iya Bunda. Pinkan nggak nemuin sisir di kamar Bian”, jawab Pinkan agak malu-malu.
Lalu Bunda menggandeng tangan Pinkan agar mengikutinya kekamarnya, “Ayo biar Bunda sisirin kamu dulu”, ucap Bunda.
Walaupun merasa nggak enak tapi Pinkan nggak bisa menolak Bunda yang baik itu. Pinkan di dudukan di kursi meja rias, lalu Bunda mengambil sisir kemudian menyisiri rambut panjang Pinkan dengan lembut dan hati-hati. Bunda terlihat senang.
“Sudah lama Bunda memimpikan seperti ini. Bunda ingin sekali mempunyai anak perempuan tapi kehendak Alloh berbeda, Bunda cuman punya Bian”, ucap Bunda sambil terus menyisir rambut Pinkan.
Pinkan tersenyum, “Tapi sekarangkan sudah ada Pinkan. Kalau mau Bunda bisa anggep Pinkan anak Bunda juga”, ucap manis Pinkan sambil melihat kebayangan Bunda dicermin.
Bunda melihat bayangan Pinkan di cermin juga, “Bunda sudah anggep kamu kayak anak Bunda sendiri”, ucap Bunda semangat.
Keduanya tertawa bahagia. Lalu Bunda mengambil sesuatu dalam laci meja riasnya. Dia mengambil sebuah aksesoris pengikat rambut berwarna pink ada hiasan strawberry pink-nya juga. lalu Bunda memasangkan itu pada rambut Pinkan, Bunda sangat terlihat senang.
“Ini ikat rambut Bunda waktu masih kecil. Ingin sekali menghadiahkan ini buat anak Bunda tapi nggak mungkin kalau Bunda menghadiahkan ini pada Bian. Jadi Bunda harap kamu mau menerimanya ya”, ucap Bunda sambil memasangkan ikar rambut itu.
Pinkan tersenyum senang sekali, “Terima kasih Bunda”, ucap Pinkan tulus.
Terdengar suara berisik dari luar, mungkin Bian dan Ayah sudah pulang dari jogging. Bunda dan Pinkan keluar untuk menemui mereka. Dan benar saja, memang Bian dan Ayah yang pulang, Bian dan Ayah langsung pergi untuk membersihkan diri sebelum mereka sarapan bersama nanti.
Bunda dan Pinkan sudah siap di meja makan.
“Oh ya, tadi malam Mamah sama Papah kamu nyariin kamu. Tapi kamu sudah tidur nyenyak di kamar Bian jadi kami nggak berani membangunkan kamu. Mamah sama Papah kamu pamit karena ada dinar keluar negri. Katanya, Mamah kamu ada kerjaan di Singapura dan Papah kamu ada kerjaan juga di Australia. Mereka nitipin kamu sama Bunda”, ucap Bunda panjang lebar.
Pinkan tersenyum getir, “Seperti biasanya”, timpal Pinkan ringan.
Nggak lama kemudian Ayah dan Bian datang. Lalu mereka berempat memulai sarapan bersama-sama. Seperti sebuah keluarga yang lengkap dan tentu saja harmonis, Pinkan merasa nyaman disitu.
“Lo bener-bener takut gelap ya?”, tanya Bian disela-sela makannya.
Pinkan tertawa malu, “Terima kasih, tadi malam gue sudah bikin repot lo”, ucap Pinkan malu-malu.
Bian mengibaskan tangannya, “Itu bukan apa-apa. Terima kasih juga sudah mau ngeberesin kamar gue”, ucap Bian senang.
Suasana sarapan yang menyenangkan, sudah lama Pinkan nggak merasakan hal seperti itu. Kedua orang tuanya terlalu sibuk untuk memberikan Pinkan waktu untuk sekedar sarapan bersama. Pokoknya Pinkan lebih sering sendirian, nggak bersama dengan kedua orang tuanya.
Mereka selesai makan juga.
Pinkan pamit pulang.
“Tapi ntar lo ikut belajar bersama lagi kan?”, tanya Bian yang mengantarkan Pinkan sampai ambang pintu rumahnya.
Pinkan sedikit terkejut, “Ntar belajar bersama lagi?”, tanya Pinkan memastikan.
Bian mengangguk pasti, “Lo nggak tahu? Vina nggak ngasih tahu lo?”, Bian mengajukan pertanyaan lagi.
Pinkan menggelengkan kepalanya mantap, “Gue nggak tahu sama sekali. Vina nggak pernah kasih tahu gue. Atau mungkin dia mikir kalau gue deket ini rumahnya sama lo jadi nggak perlu dikasih tahu”, jawab Pinkan membela Vina.
Bian mengangguk, “Mungkin aja. Oh ya, ntar tetep di rumah gue atau gantian dirumah lo?”, tanya Bian lagi.
Pinkan berfikir, dia teringat kedua orang tuanya itu sedang keluar negri jadi rumah akan sepi tanpa adanya pertengkaran.
“Di rumah gue ya nggak apa-apa”, jawab Pinkan setuju.
“Ok deh. Ntar kita semua belajar ditempat lo”, lanjut Bian.
Pinkan berjalan sambil melambaikan tangannya, “Sampai nanti”.
Bian melambaikan tangannya juga tanpa berkata apa-apa. Bian tersenyum pada punggung Pinkan yang pergi dari hadapannya. Bian memusatkan perhatiannya pada Pinkan yang mulai menyebrangi jalan menuju rumah yang ada diseberang. Rasanya senang dan bahagia sekali melihat Pinkan yang ceria seperti itu. Nggak kayak tadi malam yang membuat Bian khawatir sekali.
---
Vina datang bersama dengan Joni. Bian sudah dari tadi ada dirumah Pinkan, mereka menghabiskan waktu bersama bermain game. Setelah Vina dan Joni datang mereka berdua menghentika kegiatannya dan beranjak untuk belajar.
Dengan cepat Vina mengambil tempat yang dekat dengan Bian. Pinkan bersikap biasa saja, dia membiarkan mereka berdua, dia juga bisa dengan Joni. Kali ini mereka mempelajari matematika, mata pelajaran yang sangat dikuasai Bian, Pinkan juga lumayan menguasainya.
“Ini pakai rumus yang mana Pink?”, tanya Joni pada Pinkan sambil menunjukkan bukunya.
Pinkan lebih mendekat pada Joni agar lebih bisa menjelaskan. Bian merasa nggak suka Pinkan dekat-dekat dengan Joni. Waktu Bian ingin mendekati Pinkan, Vina malah menghalangi dengan mengajukan pertanyaan padanya.
Vina juga berusaha duduk lebih dekat dengan Bian. Pokoknya inti dari niat Vina mengikuti kegiatan ini adalah untuk lebih dekat dengan Bian. Pinkan sempat melihat Vina yang duduk berdekatan dengan Bian, Pinkan nggak suka tapi ya sudahlah dia nggak bisa berbuat apa-apa.
“Siapa yang mau es krim?”, tanya Pinkan.
Bian, Vina, dan Joni bersorak mau. Pinkan bangkit dan beranjak pergi ke dapur, Bian hendak bangkit juga, dia ingin mengikuti Pinkan ke dapur tapi dia nggak jadi setelah Joni bangkit dan bergegas mengejar Pinkan yang berjalan ke dapur.
“Ada yang perlu gue bantu?”.
Pinkan mengira itu Bian tapi setelah ia menoleh ia terkejut sedikit tersentak, “Eh elo Jon”, ucap Pinkan kikuk.
“Ada yang perlu gue bantu?”, Joni mengulangi pertanyaannya.
Pinkan mengangguk pasti, “Lo bawain ini ya”, ucap Pinkan lalu memberikan satu kotak besar es krim pada Joni, “Gue ambil sendok dulu”, lanjut Pinkan berlalu.
“Lo pasti nggak nyaman ya dengan situasi seperti tadi?”, gumam Joni mengawali pembicaraan.
“Maksud lo apa? Gue nggak ngerti”, Pinkan malah balik tanya.
Joni sedikit tertawa, “Ah sudah lah, nggak penting. Yang penting sekarang kita balik kesana aja”, lanjut Joni mengganti topik lalu menarik tangan Pinkan agar mengikutinya.
Joni menggandeng tangan Pinkan kembali ke ruang tengah, tepat saat itu Bian melihat keduanya datang. Wajah Bian memerah, matanya berkilat dengan sorot yang tajam, Bian terlihat nggak suka kalau Joni menggandeng tangan Pinkan. Tapi Bian nggak bisa berbuat apa-apa, dia nggak berhak untuk melarang semua itu.
“Ayo kita makan es krim dulu”, ajak Pinkan riang.
Mereka merapat mengerubungi kotak besar es krim itu. Bian bergerak cepat untuk bisa memberikan suapan pertamanya pada Pinkan, walaupun ragu dan sedikit kikuk akhirnya Pinkan memakan es krim yang Bian suapkan. Vina nggak mau kalah, dia juga bergerak cepat memberikan suapan pada Bian.
Hal yang menyenangkan tapi juga kekanak-kanakan. Itulah sesuatu yang disebut cinta. Gimanapun orangnya, berapapun umurnya, bagaimanapun sifatnya, pokoknya bisa berubah jadi kekanak-kanakan begitu saja kalau sudah merasakan yang namanya cinta.
Mereka selesai belajar bersama.
Pinkan dan Bian melambaikan tangan saat mobil Joni beranjak pergi. Dari dalam mobil Vina melambaikan tangan dengan antusias pada Bian, Bian menanggapinya biasa saja. Mood-nya masih jelek karena tadi melihat Joni menggandeng tangan Pinkan.
“Maksud Joni apa pakai gandeng-gandeng tangan lo”, ucap Bian tanpa melihat kearah Pinkan.
Bian beranjak pergi meninggalkan Pinkan yang bingung setelah mendengar kalimatnya itu.
To Be Continued....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...