Something Calles
Love – Part 8
Dan pada saat Pinkan duduk
disebelah Vina, dengan pura-pura nggak sengaja Vina menumpahkan minuman dan
mengotori kaos Pinkan itu. Semuanya terkejut, Vina pura-pura itu semua terjadi
nggak sengaja. Padahal sih itu sangat disengaja.
Pinkan cepat-cepat bangkit untuk
membersihkan dirinya, dia pamit ke kamar mandi, dia nggak perlu diantar karena
memang dia sudah tahu letak kamar mandi di rumah itu, di rumah yang serupa
dengan rumahnya. Dari lantai tangga Bunda melihat Pinkan mengenakan baju yang
kotor itu masuk ke kamar mandi.
Bunda beranjak turun menunggu
Pinkan keluar dari kamar mandi. Dan lima menit kemudian Pinkan keluar dari
kamar mandi dengan baju yang basah.
Pinkan terkejut melihat Bunda
yang ada dibalik pintu, “Ya ampun Bunda, buat Pinkan kaget aja”, ucap Pinkan
sambil memegangi dadanya.
“Kamu nggak kenapa-napa kan?”,
tanya Bunda khawatir.
Pinkan lalu menggelengkan
kepalanya, “Pinkan baik-baik aja. Tapi, baju pemberian Bunda jadi kotor. Maaf
Bunda”, ucap Pinkan sedikit menyesal karena membuat baju pemberian Bunda kotor.
Bunda lalu menggelengkan
kepalanya, “Cuman baju ini, besok Bunda beliin lagi buat kamu”, sahut Bunda
sambil menggandeng Pinkan kembali ke ruang tengah.
“Bunda, Pinkan pamit pulang
duluan ya, mau ganti baju. Dingin pakai ini”, lanjut Pinkan.
Bunda mengangguk, Pinkan bergegas
pulang kerumahnya lewat pintu samping. Bunda beranjak kedapur untuk mengambil
cemilan dan mengantarkannya untuk Bian, Vina, dan Joni yang sedang belajar.
“Bunda, lihat Pinkan nggak?”,
tanya Bian yang belum melihat Pinkan disitu.
“Dia pamit pulang karena mau
ganti baju lagi”, jawab Bunda sambil meletakkan makanan di atas meja.
---
Mereka berempat serius untuk
belajar untuk menghadapi UAS seminggu lagi. Ujian yang menentukan mereka naik
kekelas tiga SMA atau tidak, perjuangan mereka harus besar, semangat harus
selalu ada agar mereka mendapatkan kesuksesan nantinya.
Saatnya untuk makan malam sebelum
mereka pulang kerumah masing-masing. Ayah Bian sudah pulang dari kantor, Ayah,
Bunda, Pinkan, Bian, Vina, Joni, makan malam bersama di rumah Bian. bunda masak
banyak makanan.
“Ini spesial buat Pinkan yang
suka pedes. Bunda masakin balado telur kesukaan kamu”, Bunda mengambilkan
balado telur yang terlihat pedas itu untuk Pinkan.
Pinkan tersanjung dan senang
pastinya. Bunda selalu baik terhadapnya selama ini, Bunda sudah dia anggap
seperti orang tuanya sendiri. Dan yang nggak senang sama perlakuan Bunda
terhadap Pinkan tentu saja Vina yang nggak mendapat perlakuan spesial seperti
itu.
Makan malam yang sangat
mengasyikan, menyenangkan dan menggembirakan (apa ya bedanya diantara itu
semua?? Hahaha-red).
Disela-sela makan Ayah berhenti
sejenak lalu mengambil sesuatu dari kantong kertas yang ada di bawah disebelah
tempat duduknya. Dia mengambil sebuah kotak warna pink yang nggak terlalu besar
itu lalu memberikannya pada Pinkan.
“Oh ya, hampir lupa. Ini ada
oleh-oleh buat Pinkan”, ucap Ayah sambil tersenyum.
Dengan senang hati Pinkan
menerima hadiah itu. Ayah baru pulang dari Swiss karena urusan bisnis dan nggak
lupa membawa oleh-oleh untuk Pinkan sebuah jam tangan yang berwarna pink
tentunya.
Pinkan membuka hadiah itu, “Wah
bagus banget. Inikan limited edition om. pasti mahal. Makasih banya. Terima
kasih”, ucap Pinkan senang sekali.
“Itu spesial buat kamu”, lanjut
Ayah.
Pinkan langsung mencoba jam
tangan itu, dia sangat senang karena memang jam tangan itu yang sedang
diincarnya, dan sekarang dia mendapatkannya dengan cuma-cuma. Vina terlihat
nggak senang sama sekali, Joni bersikap biasa saja dia sibuk dengan makanannya.
Bunda mendapati Vina yang duduk disamping Pinkan terlihat nggak senang.
Bunda menangkap ada sesuatu yang
aneh dari Vina. Tapi cepat-cepat Bunda menepis perasaan itu karena dia nggak
mau salah paham. Mungkin perasaan Bunda saja, mungkin saja Bunda salah. Tapi
Bunda sedetik kemudian yakin kalau ada yang aneh dari Vina. Sepertinya Vina
nggak suka dengan Pinkan.
Makan malam selesai. Kali ini
Vina pulang bersama dengan Joni yang bersedia untuk mengantarkannya pulang. Setelah
berpamitan Pinkan juga pulang kerumahnya. Bian, Bunda, dan Ayah kembali masuk
kerumah.
“Lo pasti seneng banget”, tebak
Joni memulai percakapan.
Vina mengangguk, “Tentu saja. Gue
seneng banget bisa deket sama Bian”, ucap Vina tanpa beban sama sekali. “Tapi
gue bakalan lebih seneng lagi kalau tadi nggak ada Pinkan”, ucap Vina dengan
raut wajah yang berubah kesal.
“Sudah bisa gue tebak. Lo pasti
nggak suka dengan Pinkan yang ternyata lebih mendapat tempat baik di keluarga
Bian daripada lo”, timpal Joni sedikit tertawa sinis.
“Lo harus bantu gue buat
nyingkirin cewek itu”, lanjut Vina.
Tapi Joni menggelengkan
kepalanya, “Sorry, gue nggak mau. Pinkan terlalu baik buat disakitin, mending
lo nyerah aja”, sahut Joni mantap.
“Nggak! Nggak ada kata menyerah
dalam kamus hidup gue”, ucap Vina bersemangat, “Kalau lo nggak mau bantuin gue
nggak apa-apa, gue bisa usaha sendiri”, lanjut Vina penuh percaya diri.
“Ternyata loe banyak berubah
banyak ya. Lo bukan Vina yang dulu gue suka”, ucap Joni sungguh-sungguh.
Tapi Vina malah tersenyum sinis
menanggapi Joni, “Ini gue yang sebenarnya! Yang gue harap memang lo nggak
pernah suka sama gue”, timpal Vina keras.
Joni hanya mendengus tanpa
berkata apa-apa. Dia nggak bisa menghalangi niat Vina yang bisa dilakukannya
hany mengawasinya dan meminimalisasi kemungkinan atau efek buruk yang terjadi
karena ulah Vina.
Pinkan lagi menyimpan jam tangan
yang Ayah Bian berikan padanya. Dia mulai membuka laci yang khusus
diperuntukkan untuk menyimpan koleksi jam tangannya dari bermacam-macam model
dengan warna yang dominan adalah warna pink yang cerah dan ceria.
Tiba-tiba, “Aaaaa!!!!”, teriak
Pinkan nggak karuan saat tiba-tiba listrik padam.
Pinkan langsung jongkok menutupi
wajahnya, dia menangis sejadi-jadinya. Dia takut gelap. Dia nggak bisa kalau
gelap, apalagi sekarang dia sendirian di rumah itu, dia hanya bisa menangis
ketakutan karena dia sangat takut kegelapan.
“Mamah, Papah, Pinkan takut”,
ucap Pinkan keras sambil menangis.
Bian yang lagi bersama kedua
orang tuanya di ruang tengah sudah tahu ini akan terjadi, karena memang tadi
ada pengumuman akan ada pemadaman karena ada perbaikan yang sedang dilakukan
sampai selarut ini, sekaligus untuk menghemat listrik.
Pinkan masih menangis di kamarnya
dia nggak berani membuka matanya, dari tadi dia tetap diposisi itu nggak
berubah sama sekali. Tangisannya juga nggak berhenti tapi mau gimana lagi nggak
mungkin ada yang mendengarnya, mendengar suara tangisannya.
Pinkan berharap ada yang
menemukannya, dia terlalu takut untuk bangkit dan melihat kegelapan.
“Pinkan. Dia pasti sendirian
dirumahnya”, ucap Bunda khawatir. “Coba kamu telfon dia, tanyain gimana
keadaannya”, lanjut Bunda yang terlihat memang mengkhawatirkan Pinkan.
Bian mengambil hp-nya lalu
memencet beberapa tombol kemudian meletakkan hp itu di telinganya, menunggu
untuk Pinkan mengangkat telfonnya.
Pinkan mendengar suara dering
hand phone-nya tapi entah dimana dia meletakkannya tadi. Dia mencoba
meraba-raba diatas meja masih menutup rapat matanya. Bian menunggu-nunggu
Pinkan yang nggak juga mengangkat telfon itu.
“Masa jam segini sudah tidur?”,
gerutu Bian yang menunggu lama Pinkan untuk mengngkat telfon darinya.
Dan saat Bian akan memutuskan
telfon itu tiba-tiba terdengar suara dari seberang sana, Bian meletakkan hp-nya
kembali di daun telinganya. “Hallo”, ucap Bian yang hanya mendengar suara nafas
yang berat.
“Bian. Gue takut”, ucap Pinkan
terbata-bata karena menangis, “Gue takut”, lanjut Pinkan.
Mendengar suara Pinkan yang
sepertinya menangis dan bergetar ketakutan, Bian bangkit dari tempat duduknya,
berlari menembus kegelapan rumahnya. Dia berlari cepat keluar, “Lo kenapa?”,
tanya Bian sambil keluar dari rumahnya.
“Gue takut”, tangis Pinkan lagi,
suaranya bergetar.
Bian sampai dihalaman rumah
Pinkan, dia mencoba membuka pintu itu tapi nggak bisa karena terkunci, Bian
makin khawatir dengan Pinkan, takut sesuatu yang buruk terjadi pada Pinkan.
“Lo dimana? Ada nggak pintu yang
nggak lo kunci?”, tanya keras Bian karena terlalu khawatir.
Dengan sedikit menahan tangisnya
dengan suara yang bergetar, “Pintu samping nggak dikunci”, ucap Pinkan
terbata-bata.
Berlari lagi, Bian berlari menuju
pintu samping yang benar memang nggak dikunci, dia bergegas masuk, “Lo dimana?”,
tanya Bian ngos-ngosan.
“Gue dikamar”, jawab Pinkan
singkat.
Bian berlari menuju lantai dua
tempat dimana kamar Pinkan berada. Bian berlari cepat dengan terus terhubung
dengan Pinkan lewat telfon. Nggak lupa Bian mengarahkan senter yang dia bawa
untuk melihat dimana kamar Pinkan.
Dengan cepat Bian menemukan kamar
itu lalu membukanya kasar, dia mengarahkan senternya melihat kesekeliling dan
cahaya berhenti saat mengarah pada Pinkan yang terduduk dilantai sambil
menangis, wajahnya ketakutan, pucat pasi, tubuhnya gemetaran.
Bian berlari menuju Pinkan lalu
duduk berlutut didepannya, dengan cepat Pinkan memeluk erat Bian. Dia lega
karena ada yang menemukannya, ketakutannya hampir membunuhnya. Bian nggak
langsung berkata apa-apa. Dia cuman mencoba menenangkan Pinkan yang terlihat
sangat ketakutan itu, Bian mengelus rambut panjang Pinkan, mencoba membuat
Pinkan lebih tenang.
Tangisan Pinkan mulai mereda
walaupun ketakutannya belum berkurang sedikitpun. “Gue takut gelap”, ucap
Pinkan bergetar masih menutup matanya.
“Tenang. Gue ada disini. Lo nggak
perlu takut”, ucap Bian menenangkan.
Bian merasakan tubuh Pinkan yang
benar-benar gemetaran karena rasa takutnya itu. Dan Pinkan nggak mau melepaskan
pelukannya terhadap Bian yang telah menolongnya. Pinkan memang terlalu takut
sama kegelapan.
To Be Continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar