Something Called
Love – Part 4
Pinkan yang sudah tertidur kini
terbangun lagi saat mendengar pertengkaran dari kedua orang tuanya ysng
sepertinya baru pulang dari kantor selarut ini. Pinkan tetap diatas tempat
tidurnya lalu menyelimuti seluruh tubuhnya termasuk kepala agar nggak mendengar
pertengkaran dari kedua orang tuanya itu.
Dan beberapa saat kemudian dia
sudah nggak mendengar pertengkaran itu. Dia mendengar suara deru mobil yang
kaluar dari halaman rumahnya. Lalu Pinkan membuka selimutnya dan cepat-cepat
pergi ke balkon dan melihat sia yang pergi. Ternyata Mamah dan Papahnya pergi
dengan mengendarai mobil masing-masing.
“Nggak usah pulang sekalian!”,
gerutu Pinkan marah.
Dia kembali ke tempat tidurnya,
mencoba melupakan itu semua, dia mencoba tidur kembali.
Tapi semua yang dia lakukan nggak
ada hasilnya, dia terus-terusan memikirkan kedua orang tuanya yang malam ini
nggak pulang lagi. Pinkan merasa hidupnya ini sunggu nggak ada bahagianya, dia
merasa tersiksa dengan keadaan seperti ini. Semuanya tercukupi bahkan berlebih
tapi kebahagiaannya dengan kedua orang tuanya menjadi taruhan atas kemewahan
yang dia rasakan.
“Mba Pinkan? Kenapa diluar?”,
tanya seorang satpam yang sedang berkeliling.
Pinkan tersenyum ringan, “Lagi
nggak bisa tidur pak. Nyari udara, didalem panas banget”, ucap Pinkan.
“Owh gitu. Ya sudah ya mba, saya
keliling lagi”, lanjut pak Satpam pamitan.
Pinkan mengangguk saja.
Sekarang Pinkan duduk sendirian
di teras rumahnya, dia duduk dilantai sambil melipat kakinya. Dia merasa
sendirian di malam yang sepi ini. Sungguh hari-harinya makin menyedihkan saja,
dia nggak mau keluarganya hancur berantakan tapi kenyataannya sepertinya kedua
orang tuanya sudah nggak cocok lagi.
Pinkan mendesah payah masih
memandang kosong sambil menunduk.
Tiba-tiba ada sebuah jaket yang
terpasang di punggungnya, kontan Pinkan mendongakkan kepalanya terlihat ada
Bian didepannya. Lalu Bian duduk di samping Pinkan yang sedang dilema itu.
“Lagi ngitung bintang ya?”, tanya
Bian sambil melihat ke langit.
Pinkan yang tadinya melihat
kearah Bian sekarang mengalahkan pandangannya ke langit yang sama sekali nggak
bertabur bintang.
Kontan Pinkan tersenyum geli, “Lo
gila?”, tukan Pinkan.
Bian tersenyum renyah lalu
memalingkan wajahnya mengarah ke Pinkan lalu sejurus kemudian tangan kanan Bian
menghapus air mata yang membasahi pipi Pinkan. “Emang nggak ada bintang, tapi
nggak hujan juga”, ledek Bian.
Pinkan menyadari kalau tadi dia
nggak menghapus air matanya. Hatinya berdebar kencang. Kencang sekali. Wajahnya
juga langsung panas tepat setelah Bian menghapus air matanya. Rasa apa ini? Kenapa
Pinkan merasa seperti ini kalau dia dekat dengan Bian. Kenapa Bian selalu ada disaat
Pinkan membutuhkan tempat bersandara?
“Disini dingin lho. Ntar lo sakit”,
gumam Bian yang kembali melihat ke langit.
“Kalau dengan cara gue sakit bisa
bikin Papah sama Mamah ada dirumah, gue mau sakit dan nggak sembuh-sembuh”,
ucap Pinkan ringan lalu meluruskan kakinya.
Kembali Bian melihat kearah
Pinkan.
“Lo tahu ini bekas luka apa?”,
tanya Pinkan sambil memperlihatkan luka dipergelangan tangan kirinya.
Bian lalu menggelengkan
kepalanya.
Pinkan menarik tangannya kembali,
“Ini cara yang gue lakukan seminggu sebelum UN SMP. Niat gue cuman ingin
membuat kedua orang tua gue kasih perhatian sama gue”, ucapnya miris sambil
sedikit tertawa geli. “Ternyata apa yang gue lakuin nggak ngefek apa-apa. Dan
luka ini terus membekas nggak bisa gue hilangin”, ucap Pinkan lagi lalu air
matanya mulai menetes dengan cepat dia menghapusnya, “Gue bodoh banget ya?”,
lanjut Pinkan yang menoleh kearah Bian.
Bian mengangguk mantap, “Lo emang
bodoh”, gumam Bian setuju.
Pinkan cemberut secemberut-cemberutnya.
Dia memukul lengan Bian yang kekar itu. Tapi keduanya kemudian tertawa. Tertawa
memecah kesunyian tengah malam ini. Kesendirian Pinkan sedikit terobati dengan
kehadiran Bian menemaninya malam ini. Sekarang Bian mulai tahu tentang Pinkan
yang sebenarnya. Pinkan yang sendirian.
“Besok gue nebeng lo berangkat
sekolah ya”, pinta Pinkan.
“Ada masalah sama motor lo?”,
Bian malah bertanya seolah-olah tahu semuanya.
Pinkan mengangguk, “Kayaknya ban
belakang bocor halus, terus sudah harus ganti oli, setting stang juga, gak enak”,
jawab Pinkan seolah-olah tahu tentang motor.
“Jarang ada cewek yang ngerti
gituan”, sahut Bian ringan lalu mengacak-acak lembut poni Pinkan.
Malam yang dingin namun
menyenangkan untuk Pinkan. Jantungnya malam ini benar-benar dibuat ngebut, dia
deg-degan cepat saat bersama Bian. Dengan semua yang Bian lakukan padanya, dia
merasakan sesuatu yang disebut cinta. Tapi dia nggak gitu aja percaya dengan
semua itu. Dia akan menunggu sampai semuanya jelas, lagi pula sekarang ini dia
dipusingkan dengan masalah orang tuanya.
---
Akibat dari mendung semalam, hari
ini nggak cerah sama sekali. Tapi mau gimana lagi ini sudah suratan sari yang
maha kuasa, kita wajib untuk tetap mensyukuri semuanya. Pinkan sudah siap
dengan kelengkapan sekolahnya, dia berjalan menuju rumah Bian sambil menenteng
helmnya yang berwarna pink.
Bunda nggak kelihatan karena tadi
pagi-pagi sekali dia pergi karena ada urusan penting. Pinkan sudah siap dengan
helmnya lalu dia naik diboncengan motor Bian. Bian tersenyum senang bisa
berangkat dengan Pinkan lagi.
“Pegangan dong”, gumam Bian.
Pinkan malah memukul lengan Bian,
“Ngarep lo”, tukas Pinkan.
Bian tertawa geli mendengar
jawaban dari Pinkan. Lalu sesaat kemudian mereka berangkat juga kesekolahan. Menembus
kemacetan dan berpacu dengan waktu agar nggak terlambat. Cuaca benar-benar
nggak asyik. Mendung banget, Pinkan khawatir akan turun hujan disaat mereka
belum sampai disekolah.
Dan benar. Rintik hujan mulai
turun, sedikit-sedikit lalu berubah menjadi hujan yang agak deras. Bian memutar
stang motornya menepi disebuah pinggiran toko yang masih tutup.
“Gue stop-in taksi ya biar lo
nggak basah. Gue cuman bawa satu mantel”, ucap Bian sambil turun dari motornya.
Pinkan malah menggelengkan
kepalanya, “Nggak usah. Gue basah juga nggak apa-apa”, ucap Pinkan sambil mengibas-ngibaskan
tangannya.
Bian mengeluarkan celana olah
raganya dari dalam tas yang nanti dipakainya untuk latihan bersama
teman-temannya, “Pakai ini”, ucap Bian. “Supaya rok lo nggak basah”, lanjut
Bian yang kemudian mengambil mantelnya.
“Kok nggak dipakai?”, tanya Bian.
“Nggak mungkinkan gue pakai
disini”, ucap Pinkan.
Secara Pinkan pakai rok gitu. Kalau
di tambah pakai celana ntar ada yang kelihatan gimana hayo? Siapa yang mau
tanggung jawab. Lalu Bian membuka mantel potongnya. Dia membuka lebar baju
mantelnya lalu digunakan untuk menutupi tubuh Pinkan bagian bawah, tentu saja
Bian berbalik bada agar nggak melihat juga. Dengan cepat Pinkan mengerti lalu
memakai celana olah raga Bian.
“Sudah”, ucap Pinkan ringan.
Bian berbalik badan menghadap
Pinkan lalu memakaikan mantel itu pada Pinkan. Kontan Pinkan nggak bisa berkata
apa-apa. Dia merasa nggak bisa bereaksi apa-apa, dia terlalu terbawa suasana,
dia merasa nyaman ada didekat Bian.
“Pakai ini”, lanjut Bian.
“Hah? Apa?”, ucap Pinkan nggak
ngerti karena baru sadar dari lamunannya.
“Pakai ini. Nggak mungkinkan gue
yang makein itu ke elo kan?”, ledek Bian.
Pinkan tersenyum geli lalu
memakai mantel itu. Lalu saat Bian mengajaknya untuk naik dia baru tersadar
kalau sekarang dia sudah lengkap memakai mantel jadi nggak mungkin dia basah. Tapi
dia melihat Bian yang masih menggunakan seragam sekolah dengan jaket kulit
warna hitamnya. Bian nggak memakai mantel.
“Lo nggak pakai mantel?”, tanya
Pinkan.
“Kan mantel gue sudah dipakai
sama lo. Gue cuman ada satu mantel”, jawab Bian ringan. “Ayo naik”, ajak Bian.
“Tapi, ntar lo gimana? Pasti lo
basah banget. Mendingan gue aja yang basah. Lo pakai mantel ini”, Pinkan hendak
melepaskan mantelnya.
Tapi dengan secepat kilat tangan
kiri Bian menghentikan tangan kanan Pinkan yang hendak melepaskan mantel. Membuat
Pinkan serasa meleleh dengan situasi itu, tangan Bian terasa hangat sekali.
“Lo aja yang pakai. Gue nggak
apa-apa. Sampai di sekolahan nanti gue langsung jemur baju gue”, sahut Bian
sedikit tertawa.
Pinkan merasa nggak enak karena
merepotkan Bian tapi ya sudahlah itu sudah jadi keputusan Bian. Setelah
menitipkan tasnya pada Pinkan, Bian dan Pinkan melanjutkan perjalanan lagi
kesekolah yang jaraknya sudah nggak terlalu jauh itu. Udara yang dingin nggak
membuat Pinkan kedinginan, dia merasa kehangatan dari tubuh Bian yang basah
itu.
Bian meraih tangan Pinkan agar
lebih berpegangan erat melingkar diperutnya. Lagi-lagi sesuatu yang ringan
seperti itu membuat degup jantung Pinkan menjadi lebih kencang. Dia
senyum-senyum sendirian karena situasi yang romantis itu. Karena dia belum
pernah merasakan hal seperti itu.
Akhirnya mereka berdua sampai
juga disekolahan yang sudah sepi karena memang sudah jamnya masuk kelas. Mereka
terlambat 20 menit. Alhasil mereka berdua nggak diperbolehkan masuk kelas. Mereka
malah dihukum untuk membersihkan ruang perlengkapan olah raga.
“Ini. Makasih”, ucap Pinkan
sambil mengembalikan celana olah raga Bian.
Bian tersenyum, “Cuman makasih?”,
tukas Bian.
“Gue traktir kopi ya. Itu sih
kalau lo mau”, lanjut Pinkan.
Dengan cepat Bian menganggukkan
kepalanya. Dia pergi ke wc untuk berganti pakaian. Dia ganti menggunakan
setelah seragam olah raga karena pakaian putih abu-abunya basah kuyup dan
sekarang sedang di jemur di dekat mess tukang kebun sekolahan.
Pinkan dan Bian bergotong royong
membersihkan ruangan yang lumayan bluas yang berisi perlengkapan olah raga itu.
Tapi mereka berdua menikmati hukuman itu, sekali-kali perlu juga untuk
melanggar aturan agar tahu bagaimana rasanya. Kalau rasanya enak lain kali
boleh untuk di lakukan lagi, (hahahaha, saran yang menyesatkan-red).
Bian mengambil sebuah bola basket
lalu mendrible-nya, berlagak seperti para atlet basket profesional. Dia beraksi
didepan Pinkan yang serius memperhatikan permainannya. Sedetik kemudian Pinkan
menunjukkan aksinya. Pinkan menemukan sebuah bola bekel, lalu memainkannya
dengan ceria. Membuat Bian terbahak-bahak atas kegokilan yang Pinkan lakukan
tanpa rasa malu itu.
To Be Continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar