•☺• Selamat Datang di Rumah Cerita 'Blognya mahasiswa TI yang lebih suka menulis cerita' <<<<<•☺•ECHY FACTS•☺•>>>>> Gue suka FC Barcelona •☺• Golongan darah gue A •☺• Lebih suka film genre Thriler daripada Horror •☺• Jangan lupa follow twitter Echy @cieEchy •☺• Echy itu Mandiri dalam arti sebenarnya dan juga dalam arti mandi sendiri •☺• Pengin punya Apartemen, moga kesampean #AMIN •☺• Penampilan Kampungan Wawasan Internasional •☺• Lebih suka ngelamun daripada ngelantur •☺•

Minggu, 04 Desember 2011

Something Called Love - Part 4


Something Called Love – Part 4
Pinkan yang sudah tertidur kini terbangun lagi saat mendengar pertengkaran dari kedua orang tuanya ysng sepertinya baru pulang dari kantor selarut ini. Pinkan tetap diatas tempat tidurnya lalu menyelimuti seluruh tubuhnya termasuk kepala agar nggak mendengar pertengkaran dari kedua orang tuanya itu.
Dan beberapa saat kemudian dia sudah nggak mendengar pertengkaran itu. Dia mendengar suara deru mobil yang kaluar dari halaman rumahnya. Lalu Pinkan membuka selimutnya dan cepat-cepat pergi ke balkon dan melihat sia yang pergi. Ternyata Mamah dan Papahnya pergi dengan mengendarai mobil masing-masing.
“Nggak usah pulang sekalian!”, gerutu Pinkan marah.

Dia kembali ke tempat tidurnya, mencoba melupakan itu semua, dia mencoba tidur kembali.
Tapi semua yang dia lakukan nggak ada hasilnya, dia terus-terusan memikirkan kedua orang tuanya yang malam ini nggak pulang lagi. Pinkan merasa hidupnya ini sunggu nggak ada bahagianya, dia merasa tersiksa dengan keadaan seperti ini. Semuanya tercukupi bahkan berlebih tapi kebahagiaannya dengan kedua orang tuanya menjadi taruhan atas kemewahan yang dia rasakan.
“Mba Pinkan? Kenapa diluar?”, tanya seorang satpam yang sedang berkeliling.
Pinkan tersenyum ringan, “Lagi nggak bisa tidur pak. Nyari udara, didalem panas banget”, ucap Pinkan.
“Owh gitu. Ya sudah ya mba, saya keliling lagi”, lanjut pak Satpam pamitan.
Pinkan mengangguk saja.        
Sekarang Pinkan duduk sendirian di teras rumahnya, dia duduk dilantai sambil melipat kakinya. Dia merasa sendirian di malam yang sepi ini. Sungguh hari-harinya makin menyedihkan saja, dia nggak mau keluarganya hancur berantakan tapi kenyataannya sepertinya kedua orang tuanya sudah nggak cocok lagi.
Pinkan mendesah payah masih memandang kosong sambil menunduk.
Tiba-tiba ada sebuah jaket yang terpasang di punggungnya, kontan Pinkan mendongakkan kepalanya terlihat ada Bian didepannya. Lalu Bian duduk di samping Pinkan yang sedang dilema itu.
“Lagi ngitung bintang ya?”, tanya Bian sambil melihat ke langit.
Pinkan yang tadinya melihat kearah Bian sekarang mengalahkan pandangannya ke langit yang sama sekali nggak bertabur bintang.
Kontan Pinkan tersenyum geli, “Lo gila?”, tukan Pinkan.
Bian tersenyum renyah lalu memalingkan wajahnya mengarah ke Pinkan lalu sejurus kemudian tangan kanan Bian menghapus air mata yang membasahi pipi Pinkan. “Emang nggak ada bintang, tapi nggak hujan juga”, ledek Bian.
Pinkan menyadari kalau tadi dia nggak menghapus air matanya. Hatinya berdebar kencang. Kencang sekali. Wajahnya juga langsung panas tepat setelah Bian menghapus air matanya. Rasa apa ini? Kenapa Pinkan merasa seperti ini kalau dia dekat dengan Bian. Kenapa Bian selalu ada disaat Pinkan membutuhkan tempat bersandara?
“Disini dingin lho. Ntar lo sakit”, gumam Bian yang kembali melihat ke langit.
“Kalau dengan cara gue sakit bisa bikin Papah sama Mamah ada dirumah, gue mau sakit dan nggak sembuh-sembuh”, ucap Pinkan ringan lalu meluruskan kakinya.
Kembali Bian melihat kearah Pinkan.
“Lo tahu ini bekas luka apa?”, tanya Pinkan sambil memperlihatkan luka dipergelangan tangan kirinya.
Bian lalu menggelengkan kepalanya.
Pinkan menarik tangannya kembali, “Ini cara yang gue lakukan seminggu sebelum UN SMP. Niat gue cuman ingin membuat kedua orang tua gue kasih perhatian sama gue”, ucapnya miris sambil sedikit tertawa geli. “Ternyata apa yang gue lakuin nggak ngefek apa-apa. Dan luka ini terus membekas nggak bisa gue hilangin”, ucap Pinkan lagi lalu air matanya mulai menetes dengan cepat dia menghapusnya, “Gue bodoh banget ya?”, lanjut Pinkan yang menoleh kearah Bian.
Bian mengangguk mantap, “Lo emang bodoh”, gumam Bian setuju.
Pinkan cemberut secemberut-cemberutnya. Dia memukul lengan Bian yang kekar itu. Tapi keduanya kemudian tertawa. Tertawa memecah kesunyian tengah malam ini. Kesendirian Pinkan sedikit terobati dengan kehadiran Bian menemaninya malam ini. Sekarang Bian mulai tahu tentang Pinkan yang sebenarnya. Pinkan yang sendirian.
“Besok gue nebeng lo berangkat sekolah ya”, pinta Pinkan.
“Ada masalah sama motor lo?”, Bian malah bertanya seolah-olah tahu semuanya.
Pinkan mengangguk, “Kayaknya ban belakang bocor halus, terus sudah harus ganti oli, setting stang juga, gak enak”, jawab Pinkan seolah-olah tahu tentang motor.
“Jarang ada cewek yang ngerti gituan”, sahut Bian ringan lalu mengacak-acak lembut poni Pinkan.
Malam yang dingin namun menyenangkan untuk Pinkan. Jantungnya malam ini benar-benar dibuat ngebut, dia deg-degan cepat saat bersama Bian. Dengan semua yang Bian lakukan padanya, dia merasakan sesuatu yang disebut cinta. Tapi dia nggak gitu aja percaya dengan semua itu. Dia akan menunggu sampai semuanya jelas, lagi pula sekarang ini dia dipusingkan dengan masalah orang tuanya.
---
Akibat dari mendung semalam, hari ini nggak cerah sama sekali. Tapi mau gimana lagi ini sudah suratan sari yang maha kuasa, kita wajib untuk tetap mensyukuri semuanya. Pinkan sudah siap dengan kelengkapan sekolahnya, dia berjalan menuju rumah Bian sambil menenteng helmnya yang berwarna pink.
Bunda nggak kelihatan karena tadi pagi-pagi sekali dia pergi karena ada urusan penting. Pinkan sudah siap dengan helmnya lalu dia naik diboncengan motor Bian. Bian tersenyum senang bisa berangkat dengan Pinkan lagi.
“Pegangan dong”, gumam Bian.
Pinkan malah memukul lengan Bian, “Ngarep lo”, tukas Pinkan.
Bian tertawa geli mendengar jawaban dari Pinkan. Lalu sesaat kemudian mereka berangkat juga kesekolahan. Menembus kemacetan dan berpacu dengan waktu agar nggak terlambat. Cuaca benar-benar nggak asyik. Mendung banget, Pinkan khawatir akan turun hujan disaat mereka belum sampai disekolah.
Dan benar. Rintik hujan mulai turun, sedikit-sedikit lalu berubah menjadi hujan yang agak deras. Bian memutar stang motornya menepi disebuah pinggiran toko yang masih tutup.
“Gue stop-in taksi ya biar lo nggak basah. Gue cuman bawa satu mantel”, ucap Bian sambil turun dari motornya.
Pinkan malah menggelengkan kepalanya, “Nggak usah. Gue basah juga nggak apa-apa”,  ucap Pinkan sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
Bian mengeluarkan celana olah raganya dari dalam tas yang nanti dipakainya untuk latihan bersama teman-temannya, “Pakai ini”, ucap Bian. “Supaya rok lo nggak basah”, lanjut Bian yang kemudian mengambil mantelnya.
“Kok nggak dipakai?”, tanya Bian.
“Nggak mungkinkan gue pakai disini”, ucap Pinkan.
Secara Pinkan pakai rok gitu. Kalau di tambah pakai celana ntar ada yang kelihatan gimana hayo? Siapa yang mau tanggung jawab. Lalu Bian membuka mantel potongnya. Dia membuka lebar baju mantelnya lalu digunakan untuk menutupi tubuh Pinkan bagian bawah, tentu saja Bian berbalik bada agar nggak melihat juga. Dengan cepat Pinkan mengerti lalu memakai celana olah raga Bian.
“Sudah”, ucap Pinkan ringan.
Bian berbalik badan menghadap Pinkan lalu memakaikan mantel itu pada Pinkan. Kontan Pinkan nggak bisa berkata apa-apa. Dia merasa nggak bisa bereaksi apa-apa, dia terlalu terbawa suasana, dia merasa nyaman ada didekat Bian.
“Pakai ini”, lanjut Bian.
“Hah? Apa?”, ucap Pinkan nggak ngerti karena baru sadar dari lamunannya.
“Pakai ini. Nggak mungkinkan gue yang makein itu ke elo kan?”, ledek Bian.
Pinkan tersenyum geli lalu memakai mantel itu. Lalu saat Bian mengajaknya untuk naik dia baru tersadar kalau sekarang dia sudah lengkap memakai mantel jadi nggak mungkin dia basah. Tapi dia melihat Bian yang masih menggunakan seragam sekolah dengan jaket kulit warna hitamnya. Bian nggak memakai mantel.
“Lo nggak pakai mantel?”, tanya Pinkan.
“Kan mantel gue sudah dipakai sama lo. Gue cuman ada satu mantel”, jawab Bian ringan. “Ayo naik”, ajak Bian.
“Tapi, ntar lo gimana? Pasti lo basah banget. Mendingan gue aja yang basah. Lo pakai mantel ini”, Pinkan hendak melepaskan mantelnya.
Tapi dengan secepat kilat tangan kiri Bian menghentikan tangan kanan Pinkan yang hendak melepaskan mantel. Membuat Pinkan serasa meleleh dengan situasi itu, tangan Bian terasa hangat sekali.
“Lo aja yang pakai. Gue nggak apa-apa. Sampai di sekolahan nanti gue langsung jemur baju gue”, sahut Bian sedikit tertawa.
Pinkan merasa nggak enak karena merepotkan Bian tapi ya sudahlah itu sudah jadi keputusan Bian. Setelah menitipkan tasnya pada Pinkan, Bian dan Pinkan melanjutkan perjalanan lagi kesekolah yang jaraknya sudah nggak terlalu jauh itu. Udara yang dingin nggak membuat Pinkan kedinginan, dia merasa kehangatan dari tubuh Bian yang basah itu.
Bian meraih tangan Pinkan agar lebih berpegangan erat melingkar diperutnya. Lagi-lagi sesuatu yang ringan seperti itu membuat degup jantung Pinkan menjadi lebih kencang. Dia senyum-senyum sendirian karena situasi yang romantis itu. Karena dia belum pernah merasakan hal seperti itu.
Akhirnya mereka berdua sampai juga disekolahan yang sudah sepi karena memang sudah jamnya masuk kelas. Mereka terlambat 20 menit. Alhasil mereka berdua nggak diperbolehkan masuk kelas. Mereka malah dihukum untuk membersihkan ruang perlengkapan olah raga.
“Ini. Makasih”, ucap Pinkan sambil mengembalikan celana olah raga Bian.
Bian tersenyum, “Cuman makasih?”, tukas Bian.
“Gue traktir kopi ya. Itu sih kalau lo mau”, lanjut Pinkan.
Dengan cepat Bian menganggukkan kepalanya. Dia pergi ke wc untuk berganti pakaian. Dia ganti menggunakan setelah seragam olah raga karena pakaian putih abu-abunya basah kuyup dan sekarang sedang di jemur di dekat mess tukang kebun sekolahan.
Pinkan dan Bian bergotong royong membersihkan ruangan yang lumayan bluas yang berisi perlengkapan olah raga itu. Tapi mereka berdua menikmati hukuman itu, sekali-kali perlu juga untuk melanggar aturan agar tahu bagaimana rasanya. Kalau rasanya enak lain kali boleh untuk di lakukan lagi, (hahahaha, saran yang menyesatkan-red).
Bian mengambil sebuah bola basket lalu mendrible-nya, berlagak seperti para atlet basket profesional. Dia beraksi didepan Pinkan yang serius memperhatikan permainannya. Sedetik kemudian Pinkan menunjukkan aksinya. Pinkan menemukan sebuah bola bekel, lalu memainkannya dengan ceria. Membuat Bian terbahak-bahak atas kegokilan yang Pinkan lakukan tanpa rasa malu itu.
To Be Continued....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...