Something Called
Love – Part 16
Langit mulai gelap tapi nggak
berpengaruh sama sekali didalam mall yang tetap terang benderang ini. Bian dan
Pinkan berjalan bersama-sama menuju sebuah food court yang ada didalam mall
yang megah itu, mereka lapar setelah tadi menonton film terbaru yang diputar di
bioskop.
“Mau makan apa?”, tanya Bian
singkat menoleh ke arah Pinkan.
“Hmmm”, desah ringan Pinkan, “Gue
ingin makan bakmi jawa”, jawab Pinkan sambil menunjuk kearah stan bakmi jawa.
Bian mengangguk, “Kayaknya enak.
Ayo!”, sahut Bian bersemangat.
Keduanya berjalan menuju stan
bakmi jawa lalu mereka duduk agak di pinggir. Mereka sudah memesan makanan
untuk makan malam mereka hari ini.
Ada sepasang cowok cewek yang
sudah bisa ditebak mereka adalah sepasang kekasih itu kebingungan mencari
tempat duduk yang kosong. Dan sepasang kekasih itu melihat tempat duduk Pikan
dan Bian yang masih ada tempat, cukup untuk empat orang lagi jadi kalau hanya
mereka berdua saja pasti masih berlebih.
“Kesana aja yuk”, ajak cowok yang
menggandeng tangan ceweknya itu.
Tapi ceweknya itu menjadi
membatu, hendak menolak tapi cowok itu terlalu kuat, cewek itu akhirnya
mengikuti pacarnya berjalan kearah Pinkan dan Bian.
“Maaf, apa boleh kita menggunakan
tempat duduk ini?”, tanya cowok itu ramah pada Bian dan Pinkan.
Bian dan Pinkan menoleh kearah
sepasang kekasih itu. Pinkan tersenyum ramah sedangkan Bian terlihat terkejut,
begitu juga dengan cewek yang ada dihadapannya terlihat terkejut melihat Bian,
sedangkan cowoknya tersenyum ramah pada keduanya.
“Boleh. Silakan duduk”, ucap
Pinkan ramah.
“Sudah lama nggak ketemu”, ucap
Bian pada cewek itu.
Cewek itupun tersenyum ringan, “Iya.
Sudah lama kita nggak ketemu. Gimana kabar lo?”, ucap cewek itu agak bergetar.
Pinkan dan cowok pacarnya cewek
itu bertemu pandang, sepertinya bahasa tubuh mereka itu menyiratkan sesuatu
untuk menanggapi Bian dan cewek itu.
Pasangan itu akhirnya duduk
bersama dengan Pinkan dan Bian. Suasana mulai mencair berubah menjadi nyaman,
Bian membiarkan cewek itu duduk berdampingan dengannya, dia nggak begitu
memikirkan itu karena ada Pinkan disana dia nyaman disamping Pinkan.
Mereka mulai menikmati makanan
mereka masing-masing. Beberapa kali percakapan menyenangkan juga dilakukan oleh
Pinkan dan cowok itu yang memang keduanya nggak tahu apa-apa, mereka orang yang
nggak saling mengenal dan nggak pernah ada cerita sebelum ini. Berbeda dengan
Bian dan cewek itu.
“Bian? Selly?”, ucap seorang
cowok yang berjalan melewati tempat duduk mereka berempat.
Selly adalah nama cewek yang tadi
dimaksud.
“Kevin?”, ucap Bian dan Selly
bersamaan.
Lalu Kevin bergabung dengan
mereka berempat. Dulu waktu SMP mereka berada disatu sekolah yang sama, Kevin,
Pinkan, dan Bian adalah teman akrab waktu di sekolahan dulu. Terjadi cinta
segitiga diantara mereka. Bian dan Kevin sama-sama menyukai Selly, tapi Selly
hanya menyukai Bian dan merekapun jadian.
Tapi hubungan keduanya Bian dan
Kevin tetap baik sampai akhirnya Kevin lanjutin SMA di Malang di kampung
halaman Papahnya, dan Selly melanjutkan SMA di Bandung. Dan karena hubungan
jarak jauh itu Bian dan Selly putus, sekarang Selly sudah punya yang lain.
Akhirnya Kevin ikut makan malam
disitu, dia mengangkat alisnya yang menyiratkan pertanyaan pada Bian tentang
siapa cowok yang bersama dengan Selly. Bian membalas juga dengan bahasa tubuh,
dan uniknya Kevin mengerti apa maksud dari Bian.
“Oh ya kita belum kenalan. Gue
Kevin”, ucap Kevin memperkenalkan diri pada Pinkan.
Pinkan tersenyum ramah lalu
menghentikan makannya meraih tangan Kevin lalu bersalaman, “Gue Pinkan”, ucap
Pinkan ramah.
“Kalian pacaran juga?”, tanya
Kevil sambil menunjuk Pinkan dan Bian.
Dengan cepat Bian dan Pinkan
menggelengkan kepala mereka, mereka hanya bersahabat saja.
“Nggak dong! Nggak mungkin kita
pacaran. Gue sama Pinkan itu cuma teman, nggak lebih!”, ucap Bian keras.
Membuat hati Pinkan sakit, “Apa? Nggak
mungkin? Dia bisa dong jawab hanya enggak bener kalau kita pacaran. Kenapa
harus nggak mungkin? Maksud dia apa?”, ucap Pinkan dalam hati.
“Haduuh, kenapa gue ngomong nggak
mungkin! Bodoh. Bodoh. Bodoh!”, benak Bian.
“Kalau gitu gue punya kesempatan
dong”, ucap Kevin bersemangat.
Pinkan dan Bian hanya diam lalu
menikmati makanan mereka lagi.
“Oh ya, lo sekolah di SMA Persada
kan?”, tanya Kevin pada Bian.
Bian mengangguk cepat, “Iya. Emangnya
kenapa?”, tanya Bian pada Kevin setelah menelan makanannya.
“Gue pindah ke SMA Persada”, ucap
Kevin yang kemudian melanjutkan makannya.
Pinkan dan Bian langsung
terbelalak mendengar jawaban dari Kevin. Kevin pindah sekolah ke SMA Persada,
jadi Kevin, Bian, dan Pinkan. Kevin tersenyum senang karena bisa berada
disekolah yang sama dengan Bian dan Pinkan.
---
“Mah, Pinkan seneng banget deh
bisa tidur bareng Mamah malam ini”, ucap Pinkan dalam belaian Mamahnya.
Malam ini Mamah akan menemani
Pinkan tidur di kamarnya. Dari tadi Pinkan dengan manja tidur di pangkuan
Mamahnya, Mamah juga nyaman dengan situasi itu. Mamah sadar waktunya lebih
banyak untuk pekerjaan dan dia lebih sering meninggalkan Pinkan sendirian,
pekerjaan selalu menyita waktunya tapi itu semua dia lakukan demi Pinkan.
“Kamu sudah dewasa. Mamah yakin
kamu sudah bisa menerima kenyataan kalau Papah sama Mamah berpisah”, ucap Mamah
tiba-tiba, “Kamu harus siap tinggal dengan salah satu diantara Mamah atau
Papah. Tapi Mamah selalu berharap kamu bakalan milih Mamah”, lanjut Mamah masih
membelai lembut rambut anaknya itu.
Pinkan menutup kedua matanya
rapat-rapat, dia enggan melihat Mamahnya saat mengatakan itu semua. Pinkan muak
dengan ucapan itu.
“Untuk malam ini Mah, please
jangan bahas itu-itu terus”, timpal Pinkan sambil membuka matanya.
Mamah sedikit tertawa, “Maaf”,
ucap Mamah singkat. “Oh ya, besok kamu sudah mulai berangkat sekolah ya? Sudah
beli semua perlengkapan buat di kelas 3 yang paling tua itu?”, tanya Mamah
perhatian.
Pinkan mengangguk ringan, “Semuanya
sudah siap”, jawab Pinkan.
“Bagus deh”, ucap Mamah masih
membelai rambut anaknya itu. “Kamu nggak mau ganti pakai mobil berangkat
sekolahnya?”, tanya Mamah.
“Emangnya boleh?”, timpal Pinkan
sambil bangkit untuk duduk.
Mamah mengangguk, “Ya boleh-boleh
aja, lagian kamu kan juga sudah punya SIM A”, lanjut Mamah.
“Tapi nggak ah Mah”, ucap Pinkan
kembali ke posisi berbaring di pangkuan Mamahnya, “Asyikan naik motor”, lanjut
Pinkan ringan.
Pinkan menguap lebar.
“Sudah ngantuk?”, tanya Mamah.
Pinkan-pun menganggukkan
kepalanya. Lalu mereka berdua merubah posisi bersebelahan, saatnya untuk tidur,
kedua mata ibu dan anak itu memang sudah mulai memerah karena mengantuk. Tapi
baru saja mereka menarik selimut terdengarlah suara ringtone hp Mamah yang
berdering dengan nyaring memecah keheningan malam.
Tentu saja itu semua membuat
Pinkan sebel, dia membelakangi Mamahnya yang hendak mengangkat telfon.
“Maaf untuk malam ini jangan
ganggu saya dengan pekerjaan kantor. Besok kita selesaikan bersama di kantor”,
ucap Mamah tegas lalu menutup telfon dan kemudian menonaktifkannya, lalu
diletakkan kembali di atas meja.
Mendengar ucapan dari Mamah tadi,
kontan membuat Pinkan kembali menghadap Mamahnya lalu memeluknya erat. Pinkan
yang haus akan kasih sayang dari orang tuanya itu, malam ini dia senang karena
setidaknya dia bisa bersama dengan salah satu orang tuanya yang ternyata tetap
menyayanginya.
Saat-saat yang indah itu
tiba-tiba buyar karena sekarang terdengar dering hp lagi, kali ini hp-nya
Pinkan yang berbunyi nyaring. Pinkan tersenyum ringan pada Mamahnya lalu
bergerak untuk mengambil hp-nya, dan yang menelfon adalah Bian.
“Sorry, untuk malam ini jangan
ganggu gue dulu. Quality time with my mother”, ucap Pinkan tegas lalu menutup
telfon itu kemudian menonaktifkannya dan meletakkan hp itu kembali di meja.
Bian mendesah kesal tapi ya
sudahlah. Dia nggak mau menggangguk waktu Pinkan bersama dengan Mamahnya, “Awas
lo besok kalau sampai satu kelas lagi sama gue!”, timpal Bian sambil sedikit
tertawa kemudian mendengus.
Bian-pun beranjak tidur, tadinya
dia menelfon Pinkan karena akan mengajaknya berangkat bersama besok. Tapi ya
sudahlah, toh rumah mereka berhadapan pasti kalau waktunya tepat mereka akan
saling bertemu pandang.
To Be Continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar