Something Called
Love – Part 6
Entah sesuatu yang baik atau
bukan tapi pagi ini Papah memaksa Pinkan agar mau diantarkan kesekolah olehnya.
Papah benar merasa bersalah atas apa yang terjadi kemarin. Mamah juga
menawarkan diri untuk mengantarkan Pinkan kesekolah tapi Papah terus ngotot.
Sebuah ide terbersit di otak
Pinkan. Kenapa mereka bertiga nggak berangkat sama-sama aja?
Dengan cepat Papah dan Mamah
menolak ide yang menurut mereka nggak mungkin untuk dilakukan itu. Berbagai
alasan mereka lontarkan dengan cepat membuat yang Pinkan dengar hanya
kebisingan keegoisan kedua orang tuanya. Karena malas mendengar keributan itu
Pinkan menutup kedua daun telinganya dengan kedua tangannya.
“DIAM!!”, teriak Pinkan sambil
terus menutup telinganya dan memejamkan kedua mata indahnya.
Yang langsung membuat kedua orang
tuanya terdiam, menutup mulut mereka serapat-rapatnya. Pinkan membuka mata dan
membuka telinganya juga. Dipandangnya wajah Papah dan Mamah lekat-lekat, Pinkan
muak dengan ini semua.
Tanpa berkata apa-apa dia keluar
dari rumahnya berjalan menuju rumah Bian. Dan Bian baru saja keluar dari
rumahnya sambil mengendarai motornya keluar garasi. Bian sedikit terkejut
dengan kehadiran Pinkan disana, dan tiba-tiba Pinkan langsung naik diboncengan,
lalu memakai helm-nya dan menyuruh Bian agar cepat menjalankan motor sportnya.
Bian nggak berkomentar apa-apa
setelah melihat Pinkan yang berwajah sebal itu. Kemudian dia mulai memutar
kunci motornya dan menstarter motornya saat kedua orang tua Pinkan terlihat
olehnya.
“Mereka nyariin lo?”, tanya Bian.
“Sudahlah cepat kita berangkat. Lo
nggak mau lihat gue marahkan!”, timpal Pinkan ketus.
Mau nggak mau Bian menuruti apa
kata Pinkan yang sudah memaksanya itu. Bian harus menuruti kemauan Pinkan,
seperti yang sering Pinkan lakukan selama ini. Apa yang diinginkan oleh Pinkan,
Bian harus bisa mewujudkannya. Entah kenapa seperti itu.
Dengan cepat Bian membawa
motornya keluar dari halaman rumahnya, walaupun ragu tapi karena desakkan dari
Pinkan, akhirnya Bian menurut saja. Mereka lewat begitu saja didepan Papah dan
Mamah, karena memang Pinkan sudah sebel menghadapi situasi seperti itu. Pertengkaran
yang ngga ada habisnya. Dia muak dengan keegoisan kedua orang tuanya itu.
Dengan keras Pinkan meletakkan
tasnya diatas meja setelah baru sampai di kelasnya, lalu dia duduk dengan cepat
dan menopang dagu dengan kedua tangannya. Dari tadi bibirnya nggak menunjukkan
senyuman, dia nggak mood pagi ini gara-gara kejadian sebelum berangkat sekolah
tadi.
“Dia kenapa?”, Tanya Vina pada
Bian yang lewat didepannya.
Bian menggelengkan kepalanya
sambil mengangkat kedua pundaknya, “Gue nggak tahu”, jawab Bian yang kemudian
beranjak masuk.
Tapi kemudian dia berhenti lagi
karena mendengar Vina yang memanggilnya. Bian menoleh kearah Vina yang berada
nggak jauh darinya.
“Lo bener-bener nggak bisa nonton
bareng gue?”, tanya Vina tanpa basa-basi.
“Tapi gue harus pulang bareng
Pinkan”, jawab Bian.
Dari jauh Pinkan melihat itu
semua, “Lo pergi aja, gue nggak apa-apa pulang sendiri”, ucap Pinkan dengan
nada keras membuat perhatian teman-teman sekelasnya memusat padanya.
Bian berjalan kearah tempat duduk
Pinkan untuk memastikan ucapan Pinkan tadi.
“Lo temenin Vina nonton, biar gue
pulang sendiri”, Pinkan mengulangi ucapannya untuk memperjelas.
“Nggak boleh gitu. Kita tadi
berangkat bareng pulangnya juga harus bareng”, lanjut Bian tegas.
“Emang gitu? Sudahlah. Gue
baik-baik aja. Mendingan lo temenin Vina nonton”, lanjut Pinkan sedikit
memaksa.
Bian mendengus malas, “Gue rasa
lo emang baik-baik aja. Mendingan gue temenin Vina nonton”, celetuk Bian sambil
berlalu berjalan kearah Vina lagi.
“Gimana?”, tanya Vina penuh
harap.
“Ntar siang kita nonton”, ucap
Bian sambil berjalan keluar dari kelas entah mau kemana.
Vina bersorak senang dengan secepat kilat dia berjalan kearah
Pinkan untuk mengucapkan terima kasih karena semua ini berkat Pinkan yang sudah
membantunya mengajak kencan Bian. Walaupun tersenyum renyah, dalam hati Pinkan
merasa sesak sekali. Dia nggak rela Bian pergi dengan Vina, tapi Pinkan nggak
mau menyakiti hati Vina yang memang terlebih dulu suka sama Bian.
Bel masuk berbunyi, bersamaan
dengan guru yang masuk kekelas Bian juga ikut masuk. Terlihat wajahnya yang
lebih segar mungkin tadi dia pergi untuk mencuci mukanya. Pinkan nggak
melepaskan pandangannya dari Bian yang berjalan menuju tempat duduk, begitu
juga dengan Vina yang senyum-senyum sendiri sambil melihat Bian berjalan
disampingnya.
Pinkan menyadari kalau Vina juga
melakukan apa yang dia lakukan, cepat-cepat Pinkan bersikap biasa lagi dan
membiarkan Vina memandangi Bian. Tapi setelah itu Vina ikut serius dengan
pelajaran. Giliran Bian yang memperhatikan Pinkan yang sedang menulis apa yang
dituliskan di papan tulis.
Bian memusatkan perhatiannya pada
Pinkan yang masih sibuk menulis. Dalam hatinya dia sedikit ragu karena Pinkan
membiarkan Pinkan pulang sendirian. Dia ingin sekali mengantar Pinkan pulang
dengan selamat. Tapi karena sedikit perselisihan tadi, Bian sudah menyetujui
dengan ajakan Vina dan dia nggak mungkin untuk membatalkannya.
Lalu Bian kembali serius dengan
pelajaran pagi ini yang terlihat membosankan. Bian mulai membuka bukunya dan
mengambil sebuah pulpen dari dalamnya. Tapi dia ingin melihat Pinkan lagi, lalu
dia mencuri pandang lagi tapi disaat yang sama Pinkan juga melihat kearahnya. Keduanya
saling bertemu pandang cukup lama. Bian memberikan sebuah senyuman, Pinkan
membalasnya dengan senyuman juga.
“Ntar malem gue traktir pizza. Mau
ya?”, ucap Bian tanpa suara dari kejauhan pada Pinkan.
Pinkan mengerti apa yang Bian
katakan, Bian akan mentraktirnya makan pizza malam ini. Dan Pinkan menyetujui
itu, dia suka pizza dan yang ini gratis pula, pasti lebih nikmat. Keduanya
kembali tersenyum lalu kembali memperhatikan guru sesaat sebelum menjelaskan
materi baru.
---
Kali ini rumah Pinkan nggak
segaduh biasanya, Papah sedang lembur kerjaan mungkin nggak pulang. Sedangkan
Mamah sedang menemani Pinkan menonton DVD, mungkin ini lebih baik daripada
Pinkan nggak merasakan kebersamaan bersama salah satu diantara kedua orang
tuanya yang sibuk.
Pinkan tiduran di pangkuan Mamahnya
yang kali ini nggak lembur dan bekerja sampai larut. Mamah ingin menemani anak
semata wayangnya itu karena dia merasa bersalah telah terlalu sibuk bekerja
hingga melupakan Pinkan yang sering ditinggalnya bekerja.
“Kapan ya kita bisa kayak dulu
lagi? Nonton DVD sama-sama, sama Papah, sama Mamah, sama Pinkan juga. pinkan
kangen masa-masa itu”, ucap Pinkan dipangkuan Mamahnya.
Mamah masih mengelus-elus lembut
rambut anaknya itu, “Apa dengan cuman Mamah itu nggak cukup?”, tanya Mamah menatap kearah Pinkan.
Mendengar jawaban dari Mamah,
Pinkan merasa marah, cepat-cepat dia bangkit dari pangkuan Mamahnya, dia duduk
menghadap ke Mamahnya. Mulut Pinkan terbuka hendak bicara tapi tiba-tiba suara
bel rumah mereka berbunyi, ada tamu. dengan cepat perhatian mereka teralihkan
pada orang yang memencet bel.
Mamah bangkit dan berjalan untuk
membukakan pintu pada orang yang datang kerumah mereka. Pinkan diam saja di
ruang tengah, dia masih termanyun karena perkataan Mamahnya tadi. Apa kedua
orang tuanya itu sudah nggak bisa di persatukan lagi, Pinkan nggak mau punya
keluarga yang nggak utuh, dia mau Papah dan Mamahnya tetap bersama tapi dilihat
sekarang ini rasanya agak mustahil.
“Pinkan, ada temen kamu nih”,
ucap Mamah sambil berjalan masuk ke rumah.
Kontan Pinkan melihat kearah
Mamahnya yang datang bersama dengan orang yang menyebut dirinya teman Pinkan. Sebelumnya
Pinkan nggak pernah ngajak temen-temen main kerumahnya karena dia nggak mau
teman-temannya itu tahu tentang retaknya hubungan Papah dan Mamahnya.
“Bian?”, ucap Pinkan tertegun
melihat Bian yang datang.
Dengan senyuman manis Bian
menunjukkan apa yang dia bawa, pizza, dan sekantong makanan lagi entah apa. Mamah
menyuruh Bian untuk duduk bersama dengan Pinkan, lalu Mamah pamit kekamarnya
agar nggak mengganggu mereka berdua, tapi Bian nggak membiarkan Mamah pergi. Dia
mengajak Mamah untuk menikmati pizza itu sama-sama.
“Kita makan sama-sama aja tante”,
ajak Bian dengan ramah dan riang.
“Tante nggak mau mengganggu”,
tukas Mamah yang mencoba beranjak pergi lagi.
Bian berdiri lagi, “Nggak apa-apa
kok tante. Bian malah seneng ada tante juga disini, makan bareng Bian dan
Pinkan”, lanjut Bian mencoba menghentikan.
Dan berhasil. Mamah ikut serta
makan malam kali ini. Bian membawa pizza ukuran besar nggak lupa juga dengan
makanan pendamping lain, minuman, dan beberapa cemilan. Suasana yang lumayan
runyam antara Mamah dan Pinkan sekarang mulai luluh karena kedatangan Bian yang
membuat suasanya menjadi lebih nyaman.
“Kalian satu sekolahan ya?”,
tanya Mamah pada Bian dan Pinkan.
Bian menganggukkan kepala sambil
mencoba menelan makanannya, “Iya tante. Kita malah satu kelas”, jawab Bian
bersemangat. “Emangnya lo nggak pernah cerita tentang gue?”, tanya Bian pada
Pinkan yang sedang meletakkan milk shake yang tadi ia minum.
Pinkan menggelengkan kepalanya, “Mana
gue punya waktu buat cerita tentang lo! Buat cerita tentang gue aja nggak ada
waktu”, timpal Pinkan sambil menikmati lagi pizza-nya.
Membuat Mamah dan Bian terdiam
mendengar jawaban dari Pinkan yang terlalu jujur itu. Tapi kemudian Bian dengan
cepat menemuka topik yang baru, sepertinya Bian mulai tahu bagaimana keadaan
keluarga Pinkan yang sebenarnya, hanya saja dia berpura-pura nggak tahu sebelum
Pinkan sendiri yang menceritakan semuanya.
Akhirnya acara makan malam mereka
selesai juga. Setelah membereskan semuanya Mamah pamit kekamar duluan, sudah
mengantuk katanya. Mamah meninggalkan Pinkan dan Bian yang masih ada di ruang
tengah menonton DVD.
“Lo jadi tahu gimana keadaan
orang tua gue sebenarnya”, ucap Pinkan sama sekali nggak memandang Bian.
Bian menoleh kearah Pinkan, tapi
dia nggak berkomentar karena melihat Pinkan yang sepertinya masih belum selesai
dengan apa yang ingin dibicarakan.
“Ya beginilah keadaan orang tua
gue. Tinggal menunggu waktu sampai keluarga gue benar-benar hancur”, ucap
Pinkan yang nggak terasa meneteskan air mata dan Bian melihatnya. “Gue harap lo
jaga rahasia ini. Gue nggak mau banyak orang yang tahu tentang keluarga gue”,
ucap Pinkan sambil melihat kearah Bian.
Bian mengangguk mantap, lalu
membelai lembut rambut panjang Pinkan. Membuat perasaan Pinkan sedikit membaik,
Bian juga menghapus air mata Pinkan yang belum berhenti bercucuran. Lalu
mengacak-acak lembut poni Pinkan dengan penuh kehangatan.
“Rahasia ini aman ditangan gue”,
ucap manis Bian sambil tersenyum.
To Be Continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar