•☺• Selamat Datang di Rumah Cerita 'Blognya mahasiswa TI yang lebih suka menulis cerita' <<<<<•☺•ECHY FACTS•☺•>>>>> Gue suka FC Barcelona •☺• Golongan darah gue A •☺• Lebih suka film genre Thriler daripada Horror •☺• Jangan lupa follow twitter Echy @cieEchy •☺• Echy itu Mandiri dalam arti sebenarnya dan juga dalam arti mandi sendiri •☺• Pengin punya Apartemen, moga kesampean #AMIN •☺• Penampilan Kampungan Wawasan Internasional •☺• Lebih suka ngelamun daripada ngelantur •☺•

Selasa, 06 Desember 2011

Something Called Love - Part 6


Something Called Love – Part 6
Entah sesuatu yang baik atau bukan tapi pagi ini Papah memaksa Pinkan agar mau diantarkan kesekolah olehnya. Papah benar merasa bersalah atas apa yang terjadi kemarin. Mamah juga menawarkan diri untuk mengantarkan Pinkan kesekolah tapi Papah terus ngotot.
Sebuah ide terbersit di otak Pinkan. Kenapa mereka bertiga nggak berangkat sama-sama aja?
Dengan cepat Papah dan Mamah menolak ide yang menurut mereka nggak mungkin untuk dilakukan itu. Berbagai alasan mereka lontarkan dengan cepat membuat yang Pinkan dengar hanya kebisingan keegoisan kedua orang tuanya. Karena malas mendengar keributan itu Pinkan menutup kedua daun telinganya dengan kedua tangannya.

“DIAM!!”, teriak Pinkan sambil terus menutup telinganya dan memejamkan kedua mata indahnya.
Yang langsung membuat kedua orang tuanya terdiam, menutup mulut mereka serapat-rapatnya. Pinkan membuka mata dan membuka telinganya juga. Dipandangnya wajah Papah dan Mamah lekat-lekat, Pinkan muak dengan ini semua.
Tanpa berkata apa-apa dia keluar dari rumahnya berjalan menuju rumah Bian. Dan Bian baru saja keluar dari rumahnya sambil mengendarai motornya keluar garasi. Bian sedikit terkejut dengan kehadiran Pinkan disana, dan tiba-tiba Pinkan langsung naik diboncengan, lalu memakai helm-nya dan menyuruh Bian agar cepat menjalankan motor sportnya.
Bian nggak berkomentar apa-apa setelah melihat Pinkan yang berwajah sebal itu. Kemudian dia mulai memutar kunci motornya dan menstarter motornya saat kedua orang tua Pinkan terlihat olehnya.
“Mereka nyariin lo?”, tanya Bian.
“Sudahlah cepat kita berangkat. Lo nggak mau lihat gue marahkan!”, timpal Pinkan ketus.
Mau nggak mau Bian menuruti apa kata Pinkan yang sudah memaksanya itu. Bian harus menuruti kemauan Pinkan, seperti yang sering Pinkan lakukan selama ini. Apa yang diinginkan oleh Pinkan, Bian harus bisa mewujudkannya. Entah kenapa seperti itu.
Dengan cepat Bian membawa motornya keluar dari halaman rumahnya, walaupun ragu tapi karena desakkan dari Pinkan, akhirnya Bian menurut saja. Mereka lewat begitu saja didepan Papah dan Mamah, karena memang Pinkan sudah sebel menghadapi situasi seperti itu. Pertengkaran yang ngga ada habisnya. Dia muak dengan keegoisan kedua orang tuanya itu.
Dengan keras Pinkan meletakkan tasnya diatas meja setelah baru sampai di kelasnya, lalu dia duduk dengan cepat dan menopang dagu dengan kedua tangannya. Dari tadi bibirnya nggak menunjukkan senyuman, dia nggak mood pagi ini gara-gara kejadian sebelum berangkat sekolah tadi.
“Dia kenapa?”, Tanya Vina pada Bian yang lewat didepannya.
Bian menggelengkan kepalanya sambil mengangkat kedua pundaknya, “Gue nggak tahu”, jawab Bian yang kemudian beranjak masuk.
Tapi kemudian dia berhenti lagi karena mendengar Vina yang memanggilnya. Bian menoleh kearah Vina yang berada nggak jauh darinya.
“Lo bener-bener nggak bisa nonton bareng gue?”, tanya Vina tanpa basa-basi.
“Tapi gue harus pulang bareng Pinkan”, jawab Bian.
Dari jauh Pinkan melihat itu semua, “Lo pergi aja, gue nggak apa-apa pulang sendiri”, ucap Pinkan dengan nada keras membuat perhatian teman-teman sekelasnya memusat padanya.
Bian berjalan kearah tempat duduk Pinkan untuk memastikan ucapan Pinkan tadi.
“Lo temenin Vina nonton, biar gue pulang sendiri”, Pinkan mengulangi ucapannya untuk memperjelas.
“Nggak boleh gitu. Kita tadi berangkat bareng pulangnya juga harus bareng”, lanjut Bian tegas.
“Emang gitu? Sudahlah. Gue baik-baik aja. Mendingan lo temenin Vina nonton”, lanjut Pinkan sedikit memaksa.
Bian mendengus malas, “Gue rasa lo emang baik-baik aja. Mendingan gue temenin Vina nonton”, celetuk Bian sambil berlalu berjalan kearah Vina lagi.
“Gimana?”, tanya Vina penuh harap.
“Ntar siang kita nonton”, ucap Bian sambil berjalan keluar dari kelas entah mau kemana.
Vina bersorak senang  dengan secepat kilat dia berjalan kearah Pinkan untuk mengucapkan terima kasih karena semua ini berkat Pinkan yang sudah membantunya mengajak kencan Bian. Walaupun tersenyum renyah, dalam hati Pinkan merasa sesak sekali. Dia nggak rela Bian pergi dengan Vina, tapi Pinkan nggak mau menyakiti hati Vina yang memang terlebih dulu suka sama Bian.
Bel masuk berbunyi, bersamaan dengan guru yang masuk kekelas Bian juga ikut masuk. Terlihat wajahnya yang lebih segar mungkin tadi dia pergi untuk mencuci mukanya. Pinkan nggak melepaskan pandangannya dari Bian yang berjalan menuju tempat duduk, begitu juga dengan Vina yang senyum-senyum sendiri sambil melihat Bian berjalan disampingnya.
Pinkan menyadari kalau Vina juga melakukan apa yang dia lakukan, cepat-cepat Pinkan bersikap biasa lagi dan membiarkan Vina memandangi Bian. Tapi setelah itu Vina ikut serius dengan pelajaran. Giliran Bian yang memperhatikan Pinkan yang sedang menulis apa yang dituliskan di papan tulis.
Bian memusatkan perhatiannya pada Pinkan yang masih sibuk menulis. Dalam hatinya dia sedikit ragu karena Pinkan membiarkan Pinkan pulang sendirian. Dia ingin sekali mengantar Pinkan pulang dengan selamat. Tapi karena sedikit perselisihan tadi, Bian sudah menyetujui dengan ajakan Vina dan dia nggak mungkin untuk membatalkannya.
Lalu Bian kembali serius dengan pelajaran pagi ini yang terlihat membosankan. Bian mulai membuka bukunya dan mengambil sebuah pulpen dari dalamnya. Tapi dia ingin melihat Pinkan lagi, lalu dia mencuri pandang lagi tapi disaat yang sama Pinkan juga melihat kearahnya. Keduanya saling bertemu pandang cukup lama. Bian memberikan sebuah senyuman, Pinkan membalasnya dengan senyuman juga.
“Ntar malem gue traktir pizza. Mau ya?”, ucap Bian tanpa suara dari kejauhan pada Pinkan.
Pinkan mengerti apa yang Bian katakan, Bian akan mentraktirnya makan pizza malam ini. Dan Pinkan menyetujui itu, dia suka pizza dan yang ini gratis pula, pasti lebih nikmat. Keduanya kembali tersenyum lalu kembali memperhatikan guru sesaat sebelum menjelaskan materi baru.
---
Kali ini rumah Pinkan nggak segaduh biasanya, Papah sedang lembur kerjaan mungkin nggak pulang. Sedangkan Mamah sedang menemani Pinkan menonton DVD, mungkin ini lebih baik daripada Pinkan nggak merasakan kebersamaan bersama salah satu diantara kedua orang tuanya yang sibuk.
Pinkan tiduran di pangkuan Mamahnya yang kali ini nggak lembur dan bekerja sampai larut. Mamah ingin menemani anak semata wayangnya itu karena dia merasa bersalah telah terlalu sibuk bekerja hingga melupakan Pinkan yang sering ditinggalnya bekerja.
“Kapan ya kita bisa kayak dulu lagi? Nonton DVD sama-sama, sama Papah, sama Mamah, sama Pinkan juga. pinkan kangen masa-masa itu”, ucap Pinkan dipangkuan Mamahnya.
Mamah masih mengelus-elus lembut rambut anaknya itu, “Apa dengan cuman Mamah itu nggak  cukup?”, tanya Mamah menatap kearah Pinkan.
Mendengar jawaban dari Mamah, Pinkan merasa marah, cepat-cepat dia bangkit dari pangkuan Mamahnya, dia duduk menghadap ke Mamahnya. Mulut Pinkan terbuka hendak bicara tapi tiba-tiba suara bel rumah mereka berbunyi, ada tamu. dengan cepat perhatian mereka teralihkan pada orang yang memencet bel.
Mamah bangkit dan berjalan untuk membukakan pintu pada orang yang datang kerumah mereka. Pinkan diam saja di ruang tengah, dia masih termanyun karena perkataan Mamahnya tadi. Apa kedua orang tuanya itu sudah nggak bisa di persatukan lagi, Pinkan nggak mau punya keluarga yang nggak utuh, dia mau Papah dan Mamahnya tetap bersama tapi dilihat sekarang ini rasanya agak mustahil.
“Pinkan, ada temen kamu nih”, ucap Mamah sambil berjalan masuk ke rumah.
Kontan Pinkan melihat kearah Mamahnya yang datang bersama dengan orang yang menyebut dirinya teman Pinkan. Sebelumnya Pinkan nggak pernah ngajak temen-temen main kerumahnya karena dia nggak mau teman-temannya itu tahu tentang retaknya hubungan Papah dan Mamahnya.
“Bian?”, ucap Pinkan tertegun melihat Bian yang datang.
Dengan senyuman manis Bian menunjukkan apa yang dia bawa, pizza, dan sekantong makanan lagi entah apa. Mamah menyuruh Bian untuk duduk bersama dengan Pinkan, lalu Mamah pamit kekamarnya agar nggak mengganggu mereka berdua, tapi Bian nggak membiarkan Mamah pergi. Dia mengajak Mamah untuk menikmati pizza itu sama-sama.
“Kita makan sama-sama aja tante”, ajak Bian dengan ramah dan riang.
“Tante nggak mau mengganggu”, tukas Mamah yang mencoba beranjak pergi lagi.
Bian berdiri lagi, “Nggak apa-apa kok tante. Bian malah seneng ada tante juga disini, makan bareng Bian dan Pinkan”, lanjut Bian mencoba menghentikan.
Dan berhasil. Mamah ikut serta makan malam kali ini. Bian membawa pizza ukuran besar nggak lupa juga dengan makanan pendamping lain, minuman, dan beberapa cemilan. Suasana yang lumayan runyam antara Mamah dan Pinkan sekarang mulai luluh karena kedatangan Bian yang membuat suasanya menjadi lebih nyaman.
“Kalian satu sekolahan ya?”, tanya Mamah pada Bian dan Pinkan.
Bian menganggukkan kepala sambil mencoba menelan makanannya, “Iya tante. Kita malah satu kelas”, jawab Bian bersemangat. “Emangnya lo nggak pernah cerita tentang gue?”, tanya Bian pada Pinkan yang sedang meletakkan milk shake yang tadi ia minum.
Pinkan menggelengkan kepalanya, “Mana gue punya waktu buat cerita tentang lo! Buat cerita tentang gue aja nggak ada waktu”, timpal Pinkan sambil menikmati lagi pizza-nya.
Membuat Mamah dan Bian terdiam mendengar jawaban dari Pinkan yang terlalu jujur itu. Tapi kemudian Bian dengan cepat menemuka topik yang baru, sepertinya Bian mulai tahu bagaimana keadaan keluarga Pinkan yang sebenarnya, hanya saja dia berpura-pura nggak tahu sebelum Pinkan sendiri yang menceritakan semuanya.
Akhirnya acara makan malam mereka selesai juga. Setelah membereskan semuanya Mamah pamit kekamar duluan, sudah mengantuk katanya. Mamah meninggalkan Pinkan dan Bian yang masih ada di ruang tengah menonton DVD.
“Lo jadi tahu gimana keadaan orang tua gue sebenarnya”, ucap Pinkan sama sekali nggak memandang Bian.
Bian menoleh kearah Pinkan, tapi dia nggak berkomentar karena melihat Pinkan yang sepertinya masih belum selesai dengan apa yang ingin dibicarakan.
“Ya beginilah keadaan orang tua gue. Tinggal menunggu waktu sampai keluarga gue benar-benar hancur”, ucap Pinkan yang nggak terasa meneteskan air mata dan Bian melihatnya. “Gue harap lo jaga rahasia ini. Gue nggak mau banyak orang yang tahu tentang keluarga gue”, ucap Pinkan sambil melihat kearah Bian.
Bian mengangguk mantap, lalu membelai lembut rambut panjang Pinkan. Membuat perasaan Pinkan sedikit membaik, Bian juga menghapus air mata Pinkan yang belum berhenti bercucuran. Lalu mengacak-acak lembut poni Pinkan dengan penuh kehangatan.
“Rahasia ini aman ditangan gue”, ucap manis Bian sambil tersenyum.
To Be Continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...