Something Called
Love – Part 5
Sudah dari tadi Vian menunggu
Pinkan didalam kelas. Yang datang malah Bian, langsung saja kedatangan Bian
membuatnya sedikit kikuk, karena itu juga mereka nggak terlalu akrab selama
ini. Karena ada Pinkan mereka jadi lebih dekat, sering makan siang bersama di
kantin walaupun tetap harus ada Pinkan.
“Bian”, panggilnya agak ragu.
Bian menoleh lalu menaikkan
alisnya, “Ada apa?”, tanyanya ringan.
“Ehmmm”, desahnya, “Pinkan
berangkat sama lo nggak?”, tanya Vina.
“Dia belum sampai?”, tanya balik
Bian.
Lalu Vina menggelengkan kepalanya
dengan cepat, “Gue lagi nungguin dia, dari tadi gue belum lihat dia”, lanjut
Vina menjelaskan.
Wajah Bian berubah khawatir, yang
dia ingat Pinkan tadi berangkat duluan menaiki motor maticnya sendiri, tapi kok
malah belum sampai. Pasti ada yang terjadi, pasti sesuatu yang nggak baik
terjadi sama Pinkan. Belum sempat meletakkan tasnya dia atas meja, Bian kembali
keluar dari kelas menuju parkiran, hendak mengambil motornya untuk mencari
Pinkan.
Tapi sebelum pergi Bian mencoba
menelfon Pinkan melalui hp-nya. Cukup lama Bian menunggu telfon itu diangkat,
dan beberapa saat kemudian telfon itu diangkat oleh Pinkan.
“Lo dimana? Kenapa belum sampai
di sekolahan? Lo kenapa? Lo baik-baik aja kan?”, tanya Bian panjang tanpa
memberikan ruang untuk Pinkan berbicara.
Pinkan tertawa renyah, “Gue
baik-baik aja, nggak usah terlalu khawatir gitu, orang tua gue juga nggak
gitu-gitu amat”, timpal Pinkan.
“Tapi lo sekarang dimana? Kenapa
lo belum sampai di sekolahan?”, tanya Bian lagi.
Terdengar suara desahan Pinkan, “Gue
di kantor polisi. Ada kecelakaan sedikit tadi. Lo bisa kesini nggak? Gue nggak
bisa ngehubungin Mamah sama Papah gue”, lanjut Pinkan menjawab.
“Apa? Kecelakaan?”, Bian terkejut
sejadinya mendengar ucapan Pinkan.
Pinkan tertawa, “Nggak usah
sehisteris itu, ini hal biasa. Lo bisa kesini nggak? Tapi kalau lo mau sekolah
aja juga nggak apa-apa”, tanya Pinkan lagi.
“Gue kesitu! Tunggu gue, jangan
kemana-mana”, Bian berkata cepat, tegas, dan mantap.
Lalu menutup telfon itu, menaiki
motornya lalu pergi dari sekolahan itu. Dia lebih mengkhawatirkan Pinkan, dia
harus melihat gimana kondisi Pinkan yang sebenarnya. Dia sangat khawatir,
jantungnya berdegup kencang karena khawatir takut Pinkan kenapa-napa.
Tapi kemudian Bian ingat kalau
dirinya belum tahu di kantor polisi mana Pinkan berada. Tapi kemudian dia
memilih belok kekanan, menuju kantor polisi terdekat disitu, berharap Pinkan
berada disana. dia masih belum berhenti khawatir memikirkan Pinkan, dia takut
Pinkan terluka, tapi dia kembali teringat telfon Pinkan tadi di parkiran. Pinkan
terdengar biasa saja, Bian berharap nggak terjadi apa-apa sama Pinkan.
Sampai juga di kantor polisi.
Bian langsung melihat sosok
Pinkan dan bergegas berlari kearahnya. Bian merasa khawatir.
“Lo nggak kenapa-napa kan? Lo
baik-baik aja kan? Mana aja yang luka? Nggak ada tulang lo yang patahkan? Ayo
kita ke rumah sakit”, tanya Bian panjang sekali membuat Pinkan hanya melongo
nggak ada kesempatan buat menjawab.
“Dia baik-baik aja dhe. Pergelangan
kaki kanannya cuman terkilir, terus siku kanannya lecet tapi sudah diobati”,
sahut pak polisi yang sedang duduk nggak jauh dari situ.
Bian tersenyum malu, ternyata apa
yang dia lakukan itu berlebihan.
Lalu Bian duduk disamping Pinkan.
“Apa yang sebenarnya terjadi?”, tanya Bian serius.
Pinkan malah tersenyum, “Papah
yang nabrak gue”, ucap Pinkan kali ini sambil tertawa. “Dia lagi buru-buru buat
pergi ke kantornya karena ada berkas yang ketinggalan. Karena ada lampu merah
dan Papah nggak melihatnya jadi Papah nggak sempat mengerem dan beginilah
jadinya”, ucap Pinkan menjelaskan sebab dari luka-lukanya itu.
Lalu Bian mengelus-elus rambut
Pinkan dengan lembutnya lagi-lagi membuat Pinkan kikuk, “Gue khawatir sama lo”,
ucap Bian manis.
Pinkan mencoba melemparkan
senyuman pada Bian, “Gue baik-baik aja. Oh ya, ayo kita ke sekolahan hari ini
ada ulangan”, ucap Pinkan bersemangat.
“Dengan keadaan lo yang kayak
gini?”, tanya Bian agak ragu.
Dengan cepat Pinkan menganggukkan
kepalanya mantab. Ya sudahlah Bian harus menuruti apa yang Pinkan mau. Mereka
berdua berboncengan kembali menuju sekolahan. Pinkan mennyuruh Bian agar
cepat-cepat menuju sekolahan, ya tentu saja Bian harus mengebut, dan saat akan
menarik gas Bian mempererat pegangan tangan Pinkan, lebih melingkar di
pinggangnya.
“Sudahlah. Ngebut-ngebut aja, gue
nggak apa-apa”, tukas Pinkan.
Langsung membuat Bian melepaskan
tangannya dari tangan Pinkan lalu melajukan motornya kencang agar cepat sampai
disekolahan dan agar nggak terlambat mengikuti ulangan bu Irma. Mereka harus
bergegas.
---
Tadi siang memang Pinkan dan Bian
terlambat tapi untuknga bu Irma lagi baik banget jadi memperbolehkan keduanya
mengikuti ulangan dengan hanya memberi tambahan waktu ya kayak di permainan
bola injury time (hahaha,,gak ada hubungannya-red) pada keduanya untuk
mengerjakan soal ulangan dengan baik.
Malam ini nggak seperti malam
yang biasanya. Papah dan Mamah Pinkan ada dirumah, mereka berdua pulang lebih
cepat dan memutuskan untuk akur dulu selama Pinkan sakit. Pinkan senang melihat
kedua orang tuanya ada dirumah tapi dia nggak nyaman karena unsur keterpaksaan
karena dia sakit menjadi alasan kedua orang tuanya ada dirumah.
“Pinkan mau istirahat Mah, Pah”,
ucap Pinkan lalu sedikit menarik selimutnya.
Mamah mencoba menaikkan selimut
Pinkan, “Cepet sembuh ya sayang”, ucap Mamah lalu mengecup kening anaknya itu.
Papah juga melakukan hal yang
sama setelah Mamah bangkit, “Maafin Papah karena buat kamu jadi sakit kayak
gini. Maafin Papah. Papah harap kamu bisa cepet sembuh”, ucap Papah dilanjutkan
mengecup kening Pinkan.
Pinkan mengangguk setelah kedua
orang tuanya selesai memberinya ciuman, “Setidaknya kalau Pinkan seperti ini
Papah sama Mamah ada dirumah”, timpal Pinkan ringan.
Membuat Papah dan Mamah saling
berpandang tanpa ekspresi. Kemudian mereka berdua keluar dari kamar Pinkan. Pinkan
terlihat menunggu apa yang akan terjadi setelah kedua orang tuanya keluar dari
kamarnya. Dan benar! Kedua orang tuanya lalu saling menyalahkan satu sama lain
atas kejadian yang menimpa Pinkan.
Dengan cepat Pinkan menutupi
seluruh tubuhnya dengan selimut pink tebal dan hangatnya. Dia enggan untuk
mendengar suara-suara itu, tapi ada suara bising lain yang membuatnya
mengurungkan niatnya untuk tidur, dia mendengar handphone-nya berdering nyaring
lalu dia meraih hp itu lalu melihat ke layar, Bian yang menelfon.
“Hallo”, ucap Pinkan mengawali
pembicaraan.
“Lo belum tidur?”, tanya Bian
dari seberang sana.
Pinkan menggeleng mantab, “Ya
belumlah! Kalau udah tidur ya nggak mungkin angkat telfon dari lo”, jawab
Pinkan sedikit ketus karena efek dari mendengar pertengkaran dari kedua orang
tuanya.
Tapi Bian biasa saja dan nggak
membahas itu lagi, “Lo baik-baik aja kan?”, tanya Bian serius.
“Tenang aja, besok juga gue udah
sehat kayak sebelumnya”, jawab Pinkan mantab.
Nggak seperti cewek-cewek lain
yang suka pink biasanya terlalu feminin atau terlalu cewek banget, tapi itu
semua nggak berlaku pada Pinkan yang selain menyukai rok mini, high hells dia
juga suka motor dan yang penting nggak cengeng, nggak suka ngeluh, nggak lemah,
dan nggak gampang nangis.
“Besok lo berangkat sama gue dong”,
ucapan Bian yang terdengar seperti pernyataan lalu terdengar Bian sedikit
mendengus.
“Kalau lo nggak ikhlas ya mending
gak usah”, kata Pinkan yang kemudian juga mendengus sebel.
Kemudian terdengar suara Bian
yang tertawa nyaring, “Gue bercanda. Jangan marah gitu, tenang aja gue mau kok
selalu ngeboncengin lo”, lanjut Bian dengan nada serius juga.
“Jadi maksud lo, lo mau gue sakit
terus supaya bisa bareng sama lo? Hah!”, timpal Pnkan dengan kesimpulannya
sendiri.
“Lho kok gitu. Bukan gitu
maksudnya”, ucap Bian membela diri. “Maksud gue tadi itu baik lho, jangan di
salah artiin gitu”, lanjut Bian makin membela dirinya.
Pinkan mendengus dan nggak
bersuara lagi, dia mengacuhkan Bian.
“Masa gitu aja marah?”, ucap Bian
memecah keheningan.
Pinkan masih dalam diamnya, kedua
matanya sayu sepertinya Pinkan sudah mulai mengantuk.
“Ih marah nih ceritanya? Maaf
deh. Maksud gue bukan itu”, lanjut Bian nyerocos tanpa henti. “Maksud gue itu
gue mau kok selalu ngeboncengin lo, mau kesekolah atau kemanapun bukan karna lo
sakit tapi karna gue...”, Bian mengehentikan ucapannya saat tak mendengar
apa-apa selain suara nafas Pinkan.
“Lo tidur ya?”, tanya Bian cepat.
Nggak ada jawaban dari Pinkan. Hanya
terdengar sama-samar suara dengkuran Pinkan yang lemah. Pinkan memang sudah
tertidur pulas. Mungkin efek dari obat yang dia konsumsi tadi untuk meredakan
rasa sakit akibat luka yang didapatnya pagi tadi.
Setelah mengucapkan beberapa kata
Bian menutup telfon itu. Dia juga sudah mengantuk, dia beranjak ke tempat
tidurnya dan mencoba untuk tidur. Tapi sayangnya mata yang sudah mengantuknya
di kejutkan lagi dengan terdengarnya suara dering hp. Cepat-cepat Bian
mengangkat telfon itu walau agak sebel. Itu telfon dari Vina.
“Hallo.... Belum tidur kok, ada
apa malem-malem gini telfon?.... Besok?.... Kayaknya nggak ada deh, emangnya
kenapa?.... Nonton?.... Sama siapa aja? Gue ajak Pinkan ya?.... Tapi gue besok
berangkat dan pulangnya bareng dia, nggak mungkin gue ninggalin dia
sendirian.... Ya sudah. Kapan-kapan aja ya..... Bye”, Bian menutup telfon.
Vina mengajak Bian nonton. Tapi
sayangnya ajakan itu di tolak oleh Bian yang lebih mementingkan menjaga Pinkan
daripada nonton dengan Vina. Vina memang mulai sedikit lebih berani untuk
menunjukkan perasaannya pada Bian tapi Bian belum menyadari itu karena memang
dia nggak merasakan hal yang spesial dari itu semua.
Vina yang penuh harap sekarang
terlihat kecewa tapi ya sudahlah. Separah apapuh dia kecewa keputusan dari Bian
nggak mungkin bisa berubah kecuali Pinkan nggak mau pulang dengan Bian atau
terang-terangan menyuruh Pinkan untuk pulang sendiri dan membiarkan Bian pergi
nonton dengan Bian. Apa yang harus Vina lakukan?
Bian yang belum bisa tidur
menengadahkannya melihat langit-langit kamar, sebagai tambahan bantal Bian
menekuk tangan kanannya dan membiarkan kepalanya tidur diatasnya. Entah mengapa
dia malah kepikiran pada Pinkan yang tadi ditelfonnya. Ia senyum-senyum sendiri
mengingat gadis manis penyuka warna pink dan pecinta motor matic itu.
“Kok gue selalu mikirin lo?”
tanya Bian pada dirinya sendiri. “Dasar si Pinky!”, celetuknya.
To Be Continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar