•☺• Selamat Datang di Rumah Cerita 'Blognya mahasiswa TI yang lebih suka menulis cerita' <<<<<•☺•ECHY FACTS•☺•>>>>> Gue suka FC Barcelona •☺• Golongan darah gue A •☺• Lebih suka film genre Thriler daripada Horror •☺• Jangan lupa follow twitter Echy @cieEchy •☺• Echy itu Mandiri dalam arti sebenarnya dan juga dalam arti mandi sendiri •☺• Pengin punya Apartemen, moga kesampean #AMIN •☺• Penampilan Kampungan Wawasan Internasional •☺• Lebih suka ngelamun daripada ngelantur •☺•

Senin, 05 Desember 2011

Something Called Love - Part 5


Something Called Love – Part 5
Sudah dari tadi Vian menunggu Pinkan didalam kelas. Yang datang malah Bian, langsung saja kedatangan Bian membuatnya sedikit kikuk, karena itu juga mereka nggak terlalu akrab selama ini. Karena ada Pinkan mereka jadi lebih dekat, sering makan siang bersama di kantin walaupun tetap harus ada Pinkan.
“Bian”, panggilnya agak ragu.
Bian menoleh lalu menaikkan alisnya, “Ada apa?”, tanyanya ringan.
“Ehmmm”, desahnya, “Pinkan berangkat sama lo nggak?”, tanya Vina.
“Dia belum sampai?”, tanya balik Bian.
Lalu Vina menggelengkan kepalanya dengan cepat, “Gue lagi nungguin dia, dari tadi gue belum lihat dia”, lanjut Vina menjelaskan.

Wajah Bian berubah khawatir, yang dia ingat Pinkan tadi berangkat duluan menaiki motor maticnya sendiri, tapi kok malah belum sampai. Pasti ada yang terjadi, pasti sesuatu yang nggak baik terjadi sama Pinkan. Belum sempat meletakkan tasnya dia atas meja, Bian kembali keluar dari kelas menuju parkiran, hendak mengambil motornya untuk mencari Pinkan.
Tapi sebelum pergi Bian mencoba menelfon Pinkan melalui hp-nya. Cukup lama Bian menunggu telfon itu diangkat, dan beberapa saat kemudian telfon itu diangkat oleh Pinkan.
“Lo dimana? Kenapa belum sampai di sekolahan? Lo kenapa? Lo baik-baik aja kan?”, tanya Bian panjang tanpa memberikan ruang untuk Pinkan berbicara.
Pinkan tertawa renyah, “Gue baik-baik aja, nggak usah terlalu khawatir gitu, orang tua gue juga nggak gitu-gitu amat”, timpal Pinkan.
“Tapi lo sekarang dimana? Kenapa lo belum sampai di sekolahan?”, tanya Bian lagi.
Terdengar suara desahan Pinkan, “Gue di kantor polisi. Ada kecelakaan sedikit tadi. Lo bisa kesini nggak? Gue nggak bisa ngehubungin Mamah sama Papah gue”, lanjut Pinkan menjawab.
“Apa? Kecelakaan?”, Bian terkejut sejadinya mendengar ucapan Pinkan.
Pinkan tertawa, “Nggak usah sehisteris itu, ini hal biasa. Lo bisa kesini nggak? Tapi kalau lo mau sekolah aja juga nggak apa-apa”, tanya Pinkan lagi.
“Gue kesitu! Tunggu gue, jangan kemana-mana”, Bian berkata cepat, tegas, dan mantap.
Lalu menutup telfon itu, menaiki motornya lalu pergi dari sekolahan itu. Dia lebih mengkhawatirkan Pinkan, dia harus melihat gimana kondisi Pinkan yang sebenarnya. Dia sangat khawatir, jantungnya berdegup kencang karena khawatir takut Pinkan kenapa-napa.
Tapi kemudian Bian ingat kalau dirinya belum tahu di kantor polisi mana Pinkan berada. Tapi kemudian dia memilih belok kekanan, menuju kantor polisi terdekat disitu, berharap Pinkan berada disana. dia masih belum berhenti khawatir memikirkan Pinkan, dia takut Pinkan terluka, tapi dia kembali teringat telfon Pinkan tadi di parkiran. Pinkan terdengar biasa saja, Bian berharap nggak terjadi apa-apa sama Pinkan.
Sampai juga di kantor polisi.
Bian langsung melihat sosok Pinkan dan bergegas berlari kearahnya. Bian merasa khawatir.
“Lo nggak kenapa-napa kan? Lo baik-baik aja kan? Mana aja yang luka? Nggak ada tulang lo yang patahkan? Ayo kita ke rumah sakit”, tanya Bian panjang sekali membuat Pinkan hanya melongo nggak ada kesempatan buat menjawab.
“Dia baik-baik aja dhe. Pergelangan kaki kanannya cuman terkilir, terus siku kanannya lecet tapi sudah diobati”, sahut pak polisi yang sedang duduk nggak jauh dari situ.
Bian tersenyum malu, ternyata apa yang dia lakukan itu berlebihan.
Lalu Bian duduk disamping Pinkan. “Apa yang sebenarnya terjadi?”, tanya Bian serius.
Pinkan malah tersenyum, “Papah yang nabrak gue”, ucap Pinkan kali ini sambil tertawa. “Dia lagi buru-buru buat pergi ke kantornya karena ada berkas yang ketinggalan. Karena ada lampu merah dan Papah nggak melihatnya jadi Papah nggak sempat mengerem dan beginilah jadinya”, ucap Pinkan menjelaskan sebab dari luka-lukanya itu.
Lalu Bian mengelus-elus rambut Pinkan dengan lembutnya lagi-lagi membuat Pinkan kikuk, “Gue khawatir sama lo”, ucap Bian manis.
Pinkan mencoba melemparkan senyuman pada Bian, “Gue baik-baik aja. Oh ya, ayo kita ke sekolahan hari ini ada ulangan”, ucap Pinkan bersemangat.
“Dengan keadaan lo yang kayak gini?”, tanya Bian agak ragu.
Dengan cepat Pinkan menganggukkan kepalanya mantab. Ya sudahlah Bian harus menuruti apa yang Pinkan mau. Mereka berdua berboncengan kembali menuju sekolahan. Pinkan mennyuruh Bian agar cepat-cepat menuju sekolahan, ya tentu saja Bian harus mengebut, dan saat akan menarik gas Bian mempererat pegangan tangan Pinkan, lebih melingkar di pinggangnya.
“Sudahlah. Ngebut-ngebut aja, gue nggak apa-apa”, tukas Pinkan.
Langsung membuat Bian melepaskan tangannya dari tangan Pinkan lalu melajukan motornya kencang agar cepat sampai disekolahan dan agar nggak terlambat mengikuti ulangan bu Irma. Mereka harus bergegas.
---
Tadi siang memang Pinkan dan Bian terlambat tapi untuknga bu Irma lagi baik banget jadi memperbolehkan keduanya mengikuti ulangan dengan hanya memberi tambahan waktu ya kayak di permainan bola injury time (hahaha,,gak ada hubungannya-red) pada keduanya untuk mengerjakan soal ulangan dengan baik.
Malam ini nggak seperti malam yang biasanya. Papah dan Mamah Pinkan ada dirumah, mereka berdua pulang lebih cepat dan memutuskan untuk akur dulu selama Pinkan sakit. Pinkan senang melihat kedua orang tuanya ada dirumah tapi dia nggak nyaman karena unsur keterpaksaan karena dia sakit menjadi alasan kedua orang tuanya ada dirumah.
“Pinkan mau istirahat Mah, Pah”, ucap Pinkan lalu sedikit menarik selimutnya.
Mamah mencoba menaikkan selimut Pinkan, “Cepet sembuh ya sayang”, ucap Mamah lalu mengecup kening anaknya itu.
Papah juga melakukan hal yang sama setelah Mamah bangkit, “Maafin Papah karena buat kamu jadi sakit kayak gini. Maafin Papah. Papah harap kamu bisa cepet sembuh”, ucap Papah dilanjutkan mengecup kening Pinkan.
Pinkan mengangguk setelah kedua orang tuanya selesai memberinya ciuman, “Setidaknya kalau Pinkan seperti ini Papah sama Mamah ada dirumah”, timpal Pinkan ringan.
Membuat Papah dan Mamah saling berpandang tanpa ekspresi. Kemudian mereka berdua keluar dari kamar Pinkan. Pinkan terlihat menunggu apa yang akan terjadi setelah kedua orang tuanya keluar dari kamarnya. Dan benar! Kedua orang tuanya lalu saling menyalahkan satu sama lain atas kejadian yang menimpa Pinkan.
Dengan cepat Pinkan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut pink tebal dan hangatnya. Dia enggan untuk mendengar suara-suara itu, tapi ada suara bising lain yang membuatnya mengurungkan niatnya untuk tidur, dia mendengar handphone-nya berdering nyaring lalu dia meraih hp itu lalu melihat ke layar, Bian yang menelfon.
“Hallo”, ucap Pinkan mengawali pembicaraan.
“Lo belum tidur?”, tanya Bian dari seberang sana.
Pinkan menggeleng mantab, “Ya belumlah! Kalau udah tidur ya nggak mungkin angkat telfon dari lo”, jawab Pinkan sedikit ketus karena efek dari mendengar pertengkaran dari kedua orang tuanya.
Tapi Bian biasa saja dan nggak membahas itu lagi, “Lo baik-baik aja kan?”, tanya Bian serius.
“Tenang aja, besok juga gue udah sehat kayak sebelumnya”, jawab Pinkan mantab.
Nggak seperti cewek-cewek lain yang suka pink biasanya terlalu feminin atau terlalu cewek banget, tapi itu semua nggak berlaku pada Pinkan yang selain menyukai rok mini, high hells dia juga suka motor dan yang penting nggak cengeng, nggak suka ngeluh, nggak lemah, dan nggak gampang nangis.
“Besok lo berangkat sama gue dong”, ucapan Bian yang terdengar seperti pernyataan lalu terdengar Bian sedikit mendengus.
“Kalau lo nggak ikhlas ya mending gak usah”, kata Pinkan yang kemudian juga mendengus sebel.
Kemudian terdengar suara Bian yang tertawa nyaring, “Gue bercanda. Jangan marah gitu, tenang aja gue mau kok selalu ngeboncengin lo”, lanjut Bian dengan nada serius juga.
“Jadi maksud lo, lo mau gue sakit terus supaya bisa bareng sama lo? Hah!”, timpal Pnkan dengan kesimpulannya sendiri.
“Lho kok gitu. Bukan gitu maksudnya”, ucap Bian membela diri. “Maksud gue tadi itu baik lho, jangan di salah artiin gitu”, lanjut Bian makin membela dirinya.
Pinkan mendengus dan nggak bersuara lagi, dia mengacuhkan Bian.
“Masa gitu aja marah?”, ucap Bian memecah keheningan.
Pinkan masih dalam diamnya, kedua matanya sayu sepertinya Pinkan sudah mulai mengantuk.
“Ih marah nih ceritanya? Maaf deh. Maksud gue bukan itu”, lanjut Bian nyerocos tanpa henti. “Maksud gue itu gue mau kok selalu ngeboncengin lo, mau kesekolah atau kemanapun bukan karna lo sakit tapi karna gue...”, Bian mengehentikan ucapannya saat tak mendengar apa-apa selain suara nafas Pinkan.
“Lo tidur ya?”, tanya Bian cepat.
Nggak ada jawaban dari Pinkan. Hanya terdengar sama-samar suara dengkuran Pinkan yang lemah. Pinkan memang sudah tertidur pulas. Mungkin efek dari obat yang dia konsumsi tadi untuk meredakan rasa sakit akibat luka yang didapatnya pagi tadi.
Setelah mengucapkan beberapa kata Bian menutup telfon itu. Dia juga sudah mengantuk, dia beranjak ke tempat tidurnya dan mencoba untuk tidur. Tapi sayangnya mata yang sudah mengantuknya di kejutkan lagi dengan terdengarnya suara dering hp. Cepat-cepat Bian mengangkat telfon itu walau agak sebel. Itu telfon dari Vina.
“Hallo.... Belum tidur kok, ada apa malem-malem gini telfon?.... Besok?.... Kayaknya nggak ada deh, emangnya kenapa?.... Nonton?.... Sama siapa aja? Gue ajak Pinkan ya?.... Tapi gue besok berangkat dan pulangnya bareng dia, nggak mungkin gue ninggalin dia sendirian.... Ya sudah. Kapan-kapan aja ya..... Bye”, Bian menutup telfon.
Vina mengajak Bian nonton. Tapi sayangnya ajakan itu di tolak oleh Bian yang lebih mementingkan menjaga Pinkan daripada nonton dengan Vina. Vina memang mulai sedikit lebih berani untuk menunjukkan perasaannya pada Bian tapi Bian belum menyadari itu karena memang dia nggak merasakan hal yang spesial dari itu semua.
Vina yang penuh harap sekarang terlihat kecewa tapi ya sudahlah. Separah apapuh dia kecewa keputusan dari Bian nggak mungkin bisa berubah kecuali Pinkan nggak mau pulang dengan Bian atau terang-terangan menyuruh Pinkan untuk pulang sendiri dan membiarkan Bian pergi nonton dengan Bian. Apa yang harus Vina lakukan?
Bian yang belum bisa tidur menengadahkannya melihat langit-langit kamar, sebagai tambahan bantal Bian menekuk tangan kanannya dan membiarkan kepalanya tidur diatasnya. Entah mengapa dia malah kepikiran pada Pinkan yang tadi ditelfonnya. Ia senyum-senyum sendiri mengingat gadis manis penyuka warna pink dan pecinta motor matic itu.
“Kok gue selalu mikirin lo?” tanya Bian pada dirinya sendiri. “Dasar si Pinky!”, celetuknya.
To Be Continued....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...