Something Called
Love - Part 1
Matahari siang ini bersinar
dengan penuh semangat, sangkin semangatnya membuat orang-orang males buat
keluar dan terkena terpaan sinarnya, panas gila! Asap dari kendaraan-kendaraan
yang berlalu-lalang juga menambah nikmatnya penderitaan di siang ini.
Tapi apa daya, Pinkan harus
keluar dari rumahnya. Dia harus ke sekolah lagi karena ada bukunya yang
ketinggalan. Dengan masih menggunakan seragam sekolah putih abu-abu, di balut
jaket berwarna pink dia menaiki motor maticnya menuju sekolahan lagi demi buku
itu, karena mulai besok dia sudah nggak bersekolah disitu. Dia pindah ke
sekolahan lain.
Dia lupa memakai masker, alhasil
debu-debu yang berterbangan menyulitkan dirinya untuk bernafas, tapi dia harus
bersabar atas itu semua.
Tiba-tiba Pinkan dihentikan oleh
seorang polisi, ada razia kelengkapan SIM dan STNK.
“Selamat siang dek. Maaf, bisa
saya lihat SIM dan STNK nya?”, tanya pak polisi yang belum terlalu tua itu,
cakep juga Ex. Briptu Norman kalah telak!
Tanpa menjawab apa-apa karena
ogah untuk menyia-nyiakan energinya, Pinkan mulai merogoh tasnya untuk mencari
dompet tempat dia menaruh semua kelengkapan itu. Sementara menunggu Pinkan, pak
polisi beralih ke pengguna motor lain yang berhenti tepat di sisi kanan Pinkan.
Cowok pengguna motor yang ada
disamping Pink menunjukkan kelengkapan motornya, begitu juga dengan Pinkan yang
juga sudah memperlihatkan SIM dan STNK nya.
Pak polisi mulai mengecek motor
keduanya. Pinkan sedikit mencuri pandang pada orang yang disampingnya itu. Seorang
cowok yang terlihat sedang terburu-buru, sangat terburu-buru soalnya setelah
pak polisi selesai mengecek dan mengembalikan kelengkapan itu, dia cepat-cepat
menyimpannya lalu melajukan motornya kencang.
“Gila! Ini bukan di Sentul!”,
timpal Pinkan kesal lalu berlalu melanjutkan perjalanannya menuju sekolahan.
---
Pagi ini Pinkan harus bangun pagi
karena dia dan kedua orang tuanya akan pindah rumah. Sebagian barang-barang miliknya
dan keluarga sudah di bawa kerumah mereka yang baru. Tinggal beberapa
barang-barang saja yang akan mereka bawa hari ini.
Mereka pindah karena Pinkan yang
mau, Pinkan ingin memperbaiki hubungan kedua orang tuanya yang mulai nggak
harmonis lagi. Dia ingin meninggalkan kenangan buruk di rumah yang lama dan
mencoba membuka lembaran baru yang dia harap menjadi lebih baik di rumahnya
yang baru yang akan dia dan keluarganya tempati mulai hari ini.
“Stoooooooop!!!”, teriak Pinkan
kesal karena mendengar kedua orang tuanya mulai egois dan ngotot dengan
keinginan mereka sendiri.
Mendengar suara anak semata
wayangnya itu keduanya lalu terdiam, bersikap seperti biasa lagi, sedikit
hening dan lebih akur, hanya saat Pinkan bereaksi untuk melerai keduanya.
Saatnya berangkat menuju rumah
baru dengan banyak harapan baru yang menyertainya. Papah dan Mamah duduk di
tempat duduk kemudi dan penumpang depan, sedangkan Pinkan duduk sendirian di
kursi tengah sambil memeluk boneka beruang pink yang cukup besar yang lembut
dan lucu.
Karena perjalanan yang cukup jauh
itu Pinkan tertidur karena capek dan juga waktu tidurnya kurang, setelah tadi
malam dia asyik telfon-telfonan dengan teman-temannya yang akan dia tinggal. Pink
orang yang ramah, mudah bergaul, cerdas, manis, dan selalu ceria walaupun dalam
hatinya berasa perih atas semua masalah yang dia alami.
“Bian. Sudahlah, ngapain diam
disini sendirian? Yang sudah ya sudah, nggak usah dipikirin lagi, toh harusnya
kamu bersyukur karena cepet tahu kalau dia itu selingkuh dibelakang kamu”,
sahut Bunda pada Fabian yang duduk diam di pinggir kolam renang.
“Bian sudah nggak mikirin itu
lagi, Bian cuman kepikiran kenapa dia setega itu”, jawab Bian sambil memainkan
air, “Tapi nggak apa-apa, toh dia bukan yang terbaik. Bian akan cari cewek yang
lain, dia sudah Bian hapus”, lanjut Bian bersemangat sambil menoleh kearag
Bundanya.
Tentu saja Bunda tersenyum senang
melihat anaknya itu sudah kembali bersemangat, setelah kemarin diputuskan oleh
pacarnya yang ternyata selingkuh dengan cowok lain.
Bunda menepuk-nepuk pundak
anaknya itu sambil terus tersenyum. “Oh ya, ada tetangga baru yang tinggal di
sebrang rumah kita. Bantu-bantu sana, tadi sih Bunda lihat ada cewek cantiknya”,
bujuk Bunda agar Bian nggak terus bersedih.
Bian tersenyum lebar, “Ok dech Bunda!”, sahut Bian bersemangat. Lalu dia
berjalan keluar dari rumah meninggalkan Bunda yang masih ada di pinggir kolam
renang.
“Sini biar gue bantuin”, ucap
Bian tiba-tiba saat melihat seorang cewek lagi mencoba untuk mengangkat sebuah
kardus besar yang terlihat cukup berat.
Kontan Pinkan menoleh masih dalam
posisi membungkuk hendak mengangkat barang. Bian berjalan mendekat dan hendak
mengangkat kardus itu. “Yuk kita bawa sama-sama”, lanjut Bian.
Akhirnya mereka berdua bergotong
royong membawa barang itu masuk kedalam rumah baru keluarga Pinkan. Masuk
kedalam rumah Bian nggak melihat ada orang tua Pinkan, sampai dia turun dari
lantai dua baru Bian melihat kedua orang tua Pinkan, tentu saja Bian
memperkenalkan dirinya.
“Saya Bian, tante, om”, ucap Bian
memperkenalkan diri sambil membungkukkan badannya.
Selesai berkenalan Bian keluar
bersama Pinkan, ada beberapa barang lagi yang belum di masukkan.
“Oh, ya. Nama loe siapa?”, tanya
Bian sambil mengajak bersalaman.
Pinkan tersenyum sepertinya orang
yang ada dihadapannya itu nggak asing baginya, “Gue Pinkan”, sahut Pinkan
sambil meraih tangan Bian.
Keduanya bersalaman.
Kemudian mereka masing-masing
membawa sebuah kardus yang nggak begitu besar dan terlihat lebih ringan, sambil
terus mengobrol.
“Kok gue nggak asing ya sama muka
lo. Apa kita pernah ketemu sebelumnya?”, tanya Pinkan yang kemudian meletakkan
kardus yang dibawanya di meja yang ada diruang tengah, lalu duduk disofa.
Bian juga duduk disamping Pinkan
lalu memperhatikan wajah Pinkan yang cute itu, “Hmmm”, gumam Bian, “Kayaknya
kita belum pernah ketemu deh”, lanjut Bian masih memperhatikan wajah Pinkan.
Dengan tangan kanannya Pinkan
menampol ringan wajah Bian, “Ya sudah kalau gitu. Ngeliatinnya nggak usah kayak
gitu banget”, timpal Pinkan sebel.
Lalu Bian melakukan apa yang dia
lakukan tadi, memperhatikan wajah Pinkan, “Tapi kok kayaknya gue juga nggak
asing sama wajah lo ini ya”, gumam Bian.
Lagi-lagi Pinkan menampol wajah
Bian. “Sudahlah”.
“Pindah ke SMA mana?”, tanya Bian
yang seolah-olah sudah tahu kalau Pinkan itu masih sekolah.
Pinkan melirik tajam kearah Bian,
“Muka gue terlalu manis ya? Sampai lo langsung tahu kalau gue itu anak SMA”,
tukas Pinkan penuh percaya diri.
Kontan Bian tertawa nyaring
setelah mendengar ucapan Pinkan itu, “Hahaha. Muka lo itu sama aja kayak
temen-temen sesekolahan gue”, lanjut Bian.
“Lo masih SMA juga? gak percaya
gue!”, timpal Pinkan ngotot.
“Hmmm”, desah Bian ringan, “Biar
gue tebak, pasti lo pindah ke SMA Persada?”, tatapan Bian yang tajam tertuju
pada Pinkan.
Terlihat wajah Pinkan yang
terkejut, “Kok dia tahu? Jangan-jangan...”, benaknya.
Sepertinya memang benar jawaban
dari Bian itu, setelah melihat wajah Pinkan yang terlihat menyiratkan kalau
tebakannya itu benar. Baru bertemu, baru kenalan, tapi langsung akrab, keduanya
memang tipe orang yang mudah dalam bergaul, ramah dan nggak sombong. Mereka
menjadi teman sekarang. Klop dan cocok.
---
Pagi ini Pinkan sudah mulai
sekolah. Papah dan Mamahnya sudah berangkat ke kantor masing-masing, sedangkan
Pinkan sendiri sedang menyiapkan makanan untuknya sarapan pagi ini. Sepertinya
nasi goreng cukup untuk ia sarapan hari ini.
“Kok banyak banget ya?”, keluhnya
saat melihat piring berisi nasi goreng yang terlalu banyak untuknya.
Perlahan dia berjalan ke tempat
makan, lalu menyiapkan segelas susu putih dan juga segelas air putih. Saatnya
untuk menikmati hasil masakannya. Pinkan memang bisa masak tapi tentu saja
masakan yang simple yang hanya dia sendiri yang makan, soalnya keluarganya
nggak pernah mempekerjakan pembantu. Hanya saja ada orang yang dua hari dalam
seminggu datang ke rumahnya yang dulu untuk bersih-bersih dan merapikan kebun.
Pinkan hanya dibekali uang agar
dia bisa membeli makanan yang dia inginkan sendiri, agar nggak merepotkan kedua
orang tuanya yang terlampau sibuk. Karena kesibukan itu juga kedua orang tuanya
mempunyai hubungan yang rumit dan mulai retak akhir-akhir ini.
Belum sempat dia melahap nasi
goreng yang sudah memenuhi sendoknya, terdengar suara bel pintu rumahnya.
“Siapa sih? Pagi-pagi sudah
ganggu-ganggu orang mau sarapan”, gerutu Pinkan sebel lalu beranjak pergi
menuju pintu rumahnya.
Pinkan-pun membuka pintu
rumahnya, “Elo”, gumam Pinkan malas.
Ternyata Bian yang datang, dengan
cepat Bian tersenyum sambil menunjukkan apa yang dia bawa. “Gue disuruh
nganterin nasi goreng spesial buatan Bunda buat lo. Soalnya tadi pagi-pagi
banget Bunda lihat Papah sama Mamah lo sudah berangkat kerja, Bunda takut kalau
lo nggak sarapa”", ucap Bian panjang lebar menjelaskan apa maksudnya dia
datang ke rumah Pinkan pagi-pagi.
“Gue sudah ada sarapan, sama nasi
goreng juga”, timpal Pinkan.
Bian manyun sejadinya.
Melihat hal itu terbersit sebuah
ide dikepala Pinkan, “Gimana kalau kita sarapan sama-sama, lo pasti belum
sarapan kan?”, ucap Pinkan bersemangat. “Kita tukeran makanan, gue makan
masakan Bunda lo”, ucap Pinkan sambil meraih piring yang Bian bawa, “Lo makan
masakan gue”, lanjutnya bersemangat.
Kali ini Bian tersenyum
bersemangat juga. keduanya masuk dalam rumah itu dan duduk berhadapan di ruang
makan. Bian melihat masakan Pinkan yang terlihat enak dan menggugah selera itu,
serasa air liurnya sudah memenuhi mulut. Saatnya untuk makan.
Kedua mata Bian langsung melotot
setelah beberapa saat mengunyah makanan yang Pinkan buat. Wajahnya memerah
kalau ini cerita kartun pasti telinga, hidung, dan mulut Bian sudah
mengeluarkan asap putih tebal. Bian kepedasan.
“Minum...minum”, Bian gelagapan
mencari minuman, langsung saja dia meraih air putih yang tersaji didekatnya.
Bukannya membantu Bian yang
sedang merasakan pedas luar biasa, Pinkan malah tertawa senang, merasa puas
melihat Bian seperti itu. Wajah Bian benar-benar memerah, tapi Pinkan masih
saja mentertawai teman barunya itu.
“Lo gila ya! Sarapan pake nasi
goreng cabe kayak gini”, gerutu Bian kesal.
“Hahaha. Lo nggak suka pedas?”,
tanya Pinkan geli.
Bian manyun lalu merebut sepiring
nasi goreng yang dia bawa untuk Pinkan tadi, “Gue makan punya gue dan lo makan
punya lo!”, tukas Bian yang kemudian menukar makanannya dengan makanan Pinkan.
Pinkan mengangguk-angguk setuju, “No
problem”, timpal Pinkan ringan yang kemudian langsung menikmati nasi goreng
buatannya.
“Lo berangkat naik apa?”, tanya
Bian sambil terus menikmati makanannya.
“Naik motor lah, kalau lo?”,
jawab Pinkan ringan.
Bian menghentikan makannya
sejenak, “Naik motor juga. Tapi, emangnya lo bisa naik motor?”, tanya Bian
lagi.
Pinkan tertawa geli, “Jangan kira
cewek yang suka warna pink ini nggak bisa naik motor! Gue punya SIM!”, ucap
Pinkan penuh percaya diri lalu melahap makanannya.
Giliran Bian yang tertawa, “Gue
nggak percaya lo punya SIM”, timpal Bian meremehkan.
Pinkan tersenyum sinis,
menghentikan makannya dan mulai merogoh tasnya, sepertinya ada sesuatu yang dia
cari. Beberapa saat kemudian dia mengambil sebuah dompet panjang berwarna pink
tentunya, dia mengeluarkan sebuah SIM dan tanpa dia lihat langsung ditunjukkan
pada Bian.
“Nih! Supaya lo percaya”, gumam
Pinkan.
Kedua mata Bian tertegun melihat
SIM itu lalu meraihnya dan memperlihatkannya pada Pinkan, “Kok ini SIM atas
nama gue? Tito Fabian Raisyad”, tukas Bian sambil menunjukkan SIM itu.
Sekarang Pinkan yang tertegun,
kok bisa-bisanya SIM nya berubah jadi SIM nya Bian. Sedetik kemudian Bian
bangkit dari tempat duduknya dan dengan cepat berlari kembali menuju rumahnya.
Dan nggak butuh waktu lama Bian
sudah berada dihadapan Pinkan lagi dan dia membuka tasnya, mencari sesuatu. Dia
terus mengorek-orek tasnya yang berwarna hitam itu, dan akhirnya Bian
menunjukkan sesuatu yang dia cari.
To Be Continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar