Something Called
Love - Part 3
Pinkan malah membatu didepan
pintu, dia merasa malu tadi saat rambutnya di acak-acak Bian. Kedua pipinya
merona merah, dia masih membatu karena salah tingkah harus berbuat apa. Bian
yang menyadari itu langsung menarik tangan kanan Pinkan untuk segera masuk
dalam rumah.
“Ayo masuk. Ngapain diluar aja”,
timpal Bian sambil menarik tangan Pinkan.
Pinkan-pun mengikutinya masuk
dalam rumah.
Mereka menyiapkan makanan yang
tadi Pinkan pesan.
Bian memutar mata melihat
sekeliling rumah Pinkan, “Kok sepi? Orang tua lo kemana?”, tanya Bian pada
Pinkan yang sedang menikmati pasta yang tadi dia pesan.
Sambil mengunyah pasta, “Mana gue
tahu!”, ucap Pinkan ketus.
“Kok gitu?”, tanya Bian lagi.
Sekarang Pinkan lagi menikmati
pizza ukuran besarnya, “Sudahlah. Nggak usah tanya-tanya soal mereka! Gue nggak
tahu mereka ada dimana”, jawab Pinkan malas.
Bian menangkap ada keanehan,
sepertinya keadaan keluarga Pinkan ini nggak baik. Pinkan terlihat enggan untuk
membahas kedua orang tuanya. Karena memang Pinkan malas membahas itu, membahas
kedua orang tua yang selalu nggak ada untuknya.
Lalu Bian meminum strawberry
milkshake yang ada dimeja. Baru beberapa sedotan saja minuman itu langsung
Pinkan rebut. Itu minuman faforit Pinkan, dan Bian nggak boleh menikmati itu. Pinkan
cepat-cepat meminum milkshake-nya itu dan beberapa detik kemudian minumannya
ludes habis, gelas minumannya itu kosong.
Bian melihat hp-nya Pinkan yang
ada di atas meja, “Oh ya, gue belum tahu nomer hp lo. Gue minta sih”, ucap Bian
mulai mengganti topik pembicaraan.
“SMS aja sih dari hp gue ke hp lo”,
ucap Pinkan ringan sambil mengambil lagi potongan pizza.
Bian mengambil hp Pinkan, dan
mengirimkan SMS ke nomer hp-nya sendiri. Beberapa detik kemudian ada pesan
masuk ke hp Bian dengan nomer yang baru, itu nomer hp-nya Pinkan. Bian juga
sudah menyimpan nomernya di hp Pinkan.
Mulut Bian terbuka, dia menguap. Tiba-tiba
ada yang masuk dalam mulutnya, sebuah potongan pizza yang sengaja Pinkan
masukkan dalam mulut Bian. Pinkan tertawa puas karena melihat mulut Bian yang
penuh dengan pizza. Bian membiarkan saja, membiarkan membuat Pinkan tertawa,
dia senang melihat Pinkan yang tertawa lepas. Rasanya sangat nyaman dan
menyenangkan.
Bian mengunyah pizza itu lalu
menelannya, “Lo manis deh kalau lagi ketawa”, ucap Bian memuji membuat Pinkan
langsung tutup mulut, dia salah tingkah kedua pipinya juga merona merah, “Lebih
manis lagi kalau kayak gini”, ledek Bian pada Pinkan. Dia mengambil sedikit es
krim dari banana split dan menggoreskannya di pipi Pinkan.
Pinkan manyun sejadinya karena
sebel dengan apa yang Bian lakukan. Dia ingin mencoba membalas ulah Bian tadi,
tapi Bian pintar dalam mengelak. Pinkan gagal karena Bian yang terlalu gesit.
---
Pinkan sudah sampai duluan di
dalam kelas. Dia berangkat sendiri hari ini, itu karena dia bangun terlalu pagi
dan dia nggak tahu mau apa jadi dia memutuskan untuk berangkat ke sekolah lebih
awal saja. Bian sudah mengetahui hal itu karena Pinkan sudah mengirimkan sms
untuk Bian tentang itu semua.
Nggak lama kemudian Vina datang
dan langsung menyapa Pinkan yang sedang membaca buku pelajaran.
“Lo sudah datang dari tadi?”,
tanya Vina sambil duduk dibangkunya.
Pinkan mengangguk lalu menutup
buku yang dia baca tadi. Dia membungkuk di mejanya, dia terlihat malas sekali
hari ini.
“Nggak bareng Bian”, tanya Vina
lagi.
Pinkan menggelengkan kepala, “Enggak.
Gue ingin berangkat sendiri”, jawab Pinkan ringan.
“Lo benerankan nggak pacaran sama
Bian?”, tanya Vina lagi dengan nada tegas.
Tersirat ada maksud tersembunyi
dalam pertanyaan Vina itu. Pingkan kembali duduk tegak dengan menaikkan kedua
alisnya, “Lo suka sama Bian ya?”, tanya Pinkan cepat.
“Huuuusst”, Vina mencoba membuat
Pinkan memelankan suaranya, “Jangan kenceng-kenceng”, lanjut Vina.
“Jadi lo suka sama Bian?”, tanya
Pinkan lagi dengan nada lebih rendah.
Vina mengangguk, “Emangnya
kelihatan banget ya kalau gue suka sama dia?”, tanya Vina lagi setelah mengakui
hal itu.
Mendengar pengakuan dari Vina itu
membuat hati Pinkan sedikit sakit. Entah karena apa dia bisa merasakan sakit
itu. Dia merasa kecewa dan nggak suka dengan pengakuan Vina tadi, dia nggak
rela Bian menjadi milik Vina. Muncul juga pertanyaan dibenaknya, apa Bian juga
suka sama Vina? Apa yang harus Pinkan lakukan.
“Woi”, ucap Bian keras mencoba
mengagetkan Pinkan dan Vina yang sedang bertemu pandang.
Vina sedikit salah tingkat,
Pinkan juga tapi nggak terlalu ketara.
“Sudah sampai lo”, sahut Vina
sedikit kikuk.
Bian membalasnya hanya dengan
senyuman sambil mengangguk menanggapi pertanyaan dari Vina. Sedetik kemudian
Bian malah mengalihkan pandangannya pada Pinkan.
“Ditanyain sama Bunda lho tadi”,
ucap Bian ringan lalu memberikan Pinkan sebuah kotak makan berisi sandwich, “Bunda
nitip ini buat lo”, lanjutnya kemudian beranjak pergi ketempat duduknya.
Vina terlihat nggak suka tapi dia
bersikap biasa saja, dia berpikir positif, secara mereka tetangga apa salahnya
Bunda membawakan bekal untuk Pinkan, mungkin Bunda tahu kalau Pinkan belum
sarapan tadi pagi karena Bunda melihat Pinkan berangkat pagi-pagi sekali.
“Makasih”, ucap Pinkan sambil
tersenyum.
“Oh ya nanti sore lo disuruh
makan di rumah gue. Bunda sama temen-temennya ngadain arisan gitu”, ucap Bian
sambil meletakkan tasnya diatas meja.
Pinkan sedikit mengangguk, “Ok”,
jawab Pinkan ringan.
Terbersit ide di otak Vina, “Gue
boleh ikut nggak?”, tanya Vina memelas.
“Gue sih ok-ok aja, tanya aja gih
sama Bian”, sahut Pinkan yang kemudian membuka kotak makanan itu.
“Gimana?”, tanya Vina pada Bian.
Bian mengangguk, “Ok. Lo boleh
ikut”, jawab Bian singkat.
“Gue mbonceng lo ya”, lanjut Vina
pada Pinkan.
Pinkan yang lagi makan
menggelengkan kepalanya, “Nggak ada helm lagi, mendingan lo sama Bian aja yang
bawa dua helm. Iya kan Bian?”, tanya Pinkan pada Bian.
Bian hanya menganggukkan
kepalanya.
“Makasih”, ucap Vina pada Bian
membuat Bian kembali mengangguk.
“Makasih say”, ucap Vina manis
pada Pinkan.
“Buat apa?”, tanya Pinkan balik.
“Buat semuanya”, ucap Vina sambil
tersenyum lebar.
---
Bian dan Vina sudah sampai di
halaman rumah Bian, kedunya langsung turun lalu masuk kedalam rumah. Sedangkan
Pinkan masuk kedalam rumahnya sendiri yang sepi itu. Dia bergegas untuk mandi
karena merasa nggak nyaman dengan badannya yang bau matahari.
“Nama saya Vina, tante”, ucap
Vina memperkenalkan diri pada Bunda.
Bunda tersenyum senang. Vina
disuruh untuk makan dulu bareng Bian, tapi karena Bian pamit buat mandi dulu
akhirnya Vina makan sendirian. Bunda dan pembantu yang ada mulai menyiapkan
makanan-makanan untuk para tamu teman-teman arisan Bunda.
Pinkan selesai juga dengan
mandinya, dia mengenakan dress santai dengan corak bunga-bunga kecil yang
tentunya berwarna pink yang cerah dengan warna dasar putih. Lalu dia
meninggalkan rumahnya yang masih sepi itu, dia sudah benar-benar acuh dengan
kedua orang tuanya yang sepertinya menganggapnya nggak ada.
“Assalamuallaikum”, sapa Pinkan
sambil masuk kedalam rumah Bian yang pintunya terbuka.
Bunda yang lagi nyiapin makanan
di meja langsung menjawabnya, “Walikumsallam”, sahut Bunda dengan senyuman, “Eh
Pinkang”, lanjut Bunda yang kemudian mencium pipi kanan dan pipi kiri Pinkan. “Sudah
makan apa belum?”, tanya Bunda sambil merapikan rambut Pinkan.
“Sudah kok tadi waktu disekolah”,
jawab Pinkan ringan.
“Itu makan siang. Sekarang ayo
makan lagi”, lanjut Bunda sambil menggandeng Pinkan menuju ruang makan.
Vina sudah selesai makannya. Bunda
menyuruh Vina untuk tetap disitu menemani Pinkan makan. Ok deh, tentu Vina mau
saja, dia bisa lebih lama di rumah Bian ini. Bian yang sudah selesai mandi
langsung turun dan bergabung bersama dengan Vina dan Pinkan di ruang makan.
“Lo nggak makan?”, tanya Bian
pada Vina.
Dalam hati Vina sangat senang
mendengar pertanyaan itu, Bian yang perhatian padanya, “Sudah kok tadi”, jawab
Vina singkat sambil tersenyum.
Bian mengangguk lalu duduk tepat
didepan Pinkan yang sedang makan. Keduanya mulai makan. Vina sering
mencuri-curi pandang pada Bian yang duduk didepannya itu. Pinkan juga melakukan
hal yang sama, dia mencuri pandang melihat Vina yang dari tadi terus melihat
kearah Bian. Pinkan nggak suka dengan Vina yang seperti itu.
“Makan yang banyak dong sayang”,
ucap Bunda pada Pinkan.
Pinkan hanya bisa tersenyum dan
mengangguk karena mulutnya penuh dengan makanan yang terlihat enak itu.
“Kok cuman Pinky sih?”, tukas
Bian yang iri dengan apa yang Bunda lakukan pada Pinkan.
Itu panggilan dari Bian buat
Pinkan, yaitu Pinky. Hahaha.
Bunda lalu mendekat pada Bian dan
memberikan sebuah kecupan hangat di pipi kanan jagoannya itu. Bunda terlihat
sayang sekali pada Bian, begitu juga Bian dia sangat menyayangi Bunda-nya itu. Bian
nggak malu dengan semua itu, dia nyaman-nyaman saja kalau di cium seperti itu
oleh Bundanya.
“Makanannya enak tante”, sahut
Vina mencoba mencari perhatian.
Tante tersenyum senang, “Kalau
gitu sering-sering saja mampir kesini”, lanjut Bunda yang kemudian beranjak
pergi.
Bian dan Pinkan sudah selesai
dengan makanan mereka. Tiba-tiba hp Vina berdering nyaring memecah kesunyian. Mamahnya
ternyata telfon dan Vina disuruh untuk pulang sekarang juga karena sudah malam.
Vina dengan berat hati akhirnya pamit pulang juga pada Bunda yang sedang berada
didapur untuk mengambil minuman.
“Bian, anterin Vina pulang
kerumahnya ya”, perintah Bunda.
Bian mengangguk ringan, “Iya
Bunda”, jawab Bian singkat.
Dan untuk pertama kalinya Bian
mengantarkan Vina pulang kerumah, Vina sangat amat terlihat senang sekali. Hari
ini hari yang baik untuknya, untuk pertama kali dia mbonceng di motor Bian, dan
untuk kali pertama ini juga Bian mengantarkannya pulang kerumah. Secara tidak
langsung ini semua gara-gara Pinkan. Gara-gara Pinkan dia bisa dekat dengan
Bian.
To Be Continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar