Something Called
Love –Part 22
Pagi hari ini angin yang
berhembus sangat segar, masuk kedalam kamar Pinkan karena balkon kamarnya yang
terbuka, sambil mengikat rambutnya yang sudah kering dia berjalan menuju balkon
lalu menghirup nafas panjang lalu menghembuskannya nikmat. Dia melihat Bian
yang sudah siap dengan motornya, sepertinya Bian akan berangkat sepagi ini tapi
nggak mungkin dia langsung berangkat ke sekolahan. Pasti ada tujuan lain
sebelum dia berangkat ke sekolahan.
Bian dan Pinkan sempat bertemu
pandang tapi keduanya lalu memalingkan muka saling mengacuhkan, Bian berlalu
dan Pinkan kembali masuk ke kamarnya lalu duduk didepan cermin. Pinkan
membubuhkan bedak di wajahnya, tipis saja karena hanya untuk sekolah ini.
“Fokus ke UN!”, ucapnya tegas, “Iya,
lo nggak perlu mikirin masalah ini”, lanjutnya agak ragu, “Lo harus berbesar
hati”, lanjut Pinkan yang berbicara dengan bayangannya sendiri.
Setelah dia selesai dengan
semuanya, Pinkan keluar dari kamar dan menyusuri tangga menuju tempat makan. Sudah
ada makanan disana, masih panas juga, mungkin tadi Mamah sempat memasak semua
ini untuk sarapan Pinkan, Pinkan tersenyum senang merasa ada perubahan yang
cukup baik dalam hidupnya. Kedua orang tuanya beberapa hari ini sering berada
dirumah.
Pinkan baru membuka piringnya
hendak mengambil nasi tapi dihentikan oleh suara ketukan pintu, pinkan bangkit
dan berjalan untuk membukakan pintu. Dan yang datang adalah Kevin yang
tersenyum lebar.
“Numpang sarapan”, ucap Kevin
memelas.
Tentu saja membuat Pinkan sedikit
tertawa lalu mereka berdua sarapan bersama sebelum berangkat kesekolahan. Bunda
tadi sempat melihat Kevin yang masuk dalam rumah Pinkan, terlihat raut wajah
Bunda yang kesal, bukan pada Kevin atau pada Pinkan. Bunda malah kesal pada
anaknya sendiri yaitu Bian yang malah bersama dengan cewek yang Bunda nggak
suka yaitu Vina.
Selesai dengan sarapan mereka,
saatnya untuk berangkat ke sekolahan. Hari ini Kevin mengendarai mobilnya
karena motornya belum dicuci gara-gara kehujanan kemarin, dan Pinkan nggak
terlalu mempedulikan itu karena menurutnya sama saja walaupun lebih asyik kalau
naik motor.
Dalam perjalanan ke sekolahan
Pinkan lebih banyak diam, bukan seperti Pinkan yang biasanya.
“Yang semangat dong, ada gue ini.
Lo bisa manfaatin gue kok!”, ucap Kevin bersemangat.
Pinkan mengalihkan pandangannya
melihat pada Kevin yang sedang serius menyetir, Kevin melirik sebentar lalu
serius menyetir lagi.
“Lo nggak inget waktu itu? Waktu
pemadama itu”, ucap Kevin mengingatkan dan benar membuat Pinkan teringat.
Flashback on.
Beberapa hari yang lalu saat ada
pemadaman dikompleks rumah Pinkan, Pinkan yang nggak jadi menelfon Bian dan
malah menelfon Kevin, dan dengan cepat Kevin datang kerumahnya. Dan
setelah itu Kevin mengungkapkan semua
perasaannya terhadap Pinkan yang sedang dipusingkan dengan kenyataan Bian yang
bersama dengan Vina.
“Dan sepertinya lo nggak suka
sama gue, lo sukanya sama Bian”, ucap Kevin pada Pinkan dipinggir kolanm renang
mereka dikelilingi lilin-lilin yang bercahaya, “Gue ngerti itu, makanya gue
nggak maksain lo buat suka juga sama gue. Setidaknya lo bisa mulai belajar buat
suka sama gue, kalaupun nggak bisa dan sulit buat lo gue pasti akan menyerah. Tapi
gue akan selalu sayang dan bantuin lo, gue akan selalu ada buat lo”, ucap Kevin
serius sambil menggenggam kedua tangan Pinkan.
Kedunya lalu berpelukan dan
disisi lain Bian melihat mereka berdua.
“Gue sangat ngerti. Dan gue nggak
mau berharap lebih, please kasih kesempatan buat gue, supaya gue bisa bikin lo
suka sama gue”, ucap Kevin sambil tersenyum. “Setidaknya kasih kesempatan buat
gue buat deket sama lo”, lanjut Kevin masih memeluk Pinkan.
Cahaya redup lilin menyinari
Kevin dan Pinkan dengan romantisnya. Kedunya tersenyum ringan disinari cahaya
yang membuat lingkungan menjadi terang.
Flashback off.
Mereka berdua ternyata sudah
sampai di sekolahan, lima menit sebelum bel berdenting. Pinkan dan Kevin
berjalan beriringan menuju kelas dan saat melewati kelas XII.1 mereka berdua
melihat Bian dan Vina yang terlihat asyik bercengkramah. Saat Pinkan pergi lagi
Bian sempat melihatnya dengan tatapan sedih.
---
Setelah istirahat ini pelajaran
kosong karena guru yang bertugas mengajar sedang sakit, jadi mereka hanya
diberi tugas untuk diselesaikan hari ini juga. Pinkan, Joni, dan Kevin, mereka
bertiga pergi ke perpustakaan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
Perpustakaan yang besar dan luas
itu penuh sesak dengan rak-rak buku yang banyak dan tinggi menjulang, tapi
sayang hanya sedikit orang yang datang ya mungkin ini karena bukan jam
istirahat jadi tempat itu agak sepi.
Pinkan, Joni, dan Kevin berpencar
mencari buku-buku referensi untuk mengerjakan tugas.
Dan saat mencari buku diantara
rak-rak yang ada, saat Pinkan menarik buku disebuah rak dan saat itu juga orang
yang ada dibalik rak itu menarik buku juga, alhasil keduanya saling bertemu
pandang, dan orang itu adalah Bian. keduanya tersenyum kikuk dan agak malas.
“Kok lo disini?”, tanya Pinkan
mencoba memecah kekikukan diantara mereka.
Bian mengangguk, “Ada tugas, lo
ada tugas juga?”, lanjut Bian.
Pinkan sekarang mengangguk, “Iya,
ada tugas dari pak Kamil”, jawab Pinkan ringan.
“Lo ngomong sama siapa Yang”,
terdengar suara cewek nggak jauh dari Bian dan terlihatlah sosok Vina disana.
Pinkan tersenyum ringan begitu
juga dengan Vina, “Hey Vina. Sudah lama ya kita nggak ketemu”, ujar Pinkan
mengawali pembicaraan.
Vina tersenyum lalu mengangguk, “Iya
sudah lama kita nggak ketemu padahal satu sekolahan”, jawab Vina sambil
menggandeng tangan Bian.
“Lo ngomong sama siapa sih?”,
ucap Kevin yang baru datang pada Pinkan. Lalu melongok kearah rak untuk melihat
lawan bicara Pinkan. “Hey bro, lama ya nggak ketemu”, sapa Kevin bersemangat
sambil menggulung buku yang dia pegang.
“Gimana kabar lo?”, sahut Bian
diseberang sana.
Tapi gara-gara sedikit keributan
ini mereka berempat disuruh keluar dari perpustakaan karena dibilang mengganggu
ketenangan di perpustakaan, mereka berempat mengalah dan keluar dari
perpustakaan menuju tempat duduk yang ada di teras depan kelas.
Mereka berempat duduk sejajar, Bian,
Vina, Kevin, dan Pinkan. Dari tadi Vina terlihat pamer kemesraannya dengan Bian
pada Kevin dan Pinkan, tapi sangat jelas terlihat Bian sama sekali nggak
menanggapinya, Bian cenderung diam dan ogah meladeni Vina.
Lalu Kevin dengan tenang
menggenggam tangan kanan Pinkan dengan hangat membuat Pinkan kontan melihat
kearahnya lalu Kevin mengangkat alisnya yang mengadung makna itu, lalu Pinkan
membiarkan Kevin memegang tangannya begitu saja, setidaknya Pinkan bisa lebih
tenang.
---
Malamnya Bian disuruh Bunda untuk
mengantarkan makan malam untuk Pinkan, Bunda masak banyak kali ini. Bunda nggak
mengajak Pinkan untuk makan dirumahnya karena pasti Pinkan akan menolaknya
karena hubungannya dengan Bian sedang nggak seperti biasanya. Tadinya Bian
menolak tapi setelah Bunda memaksa akhirnya Bian mau juga.
Bukan malas atau enggan bertemu
dengan Pinkan tapi dia merasa sakit kalau bertemu dengan Pinkan yang dikiranya
sudah menjadi milik Kevin setelah kejadian saat pemadaman listrik, Bian mengira
saat itu Kevin dan Pinkan jadian jadi Bian mulai menjaga jarak.
Bian mulai mengetuk pintu rumah
Pinkan dan beberapa saat kemudian Pinkan membukakan pintu untuknya, keduanya
saling tersenyum sedikit menurunkan tingkat ketegangan saat berhadapan, mereka
berdua merasakan debaran jantung yang makin mengencang, sama seperti biasanya,
tapi nggak pernam Bian rasakan saat bersama Vina, dan begitu juga dengan Pinkan
terhadap Kevin.
“Ini ada makanan dari Bunda”,
ucap Bian sambil memberikan kotak makan yang cukup besar.
Pinkan mau nggak mau meraihnya, “Makasih”,
ucap Pinkan sambil menerima makanan itu.
Bian mengangguk lalu pamit
pulang, “Ya sudah, gue pulang ya”, ucap Bian.
Pinkan hanya mengangguk lalu Bian
memutar badannya hendak berjalan pergi kerumahnya. Bian pergi begitu saja dari
hadapan Pinkan dan saat akan melewati pintu gerbang Bian menghentikan
langkahnya sejenak karena mendengar Pinkan memanggil namanya.
“Selamat ya atas lo dan Vina yang
sudah jadian”, ucap Pinkan cepat lalu masuk kembali ke rumahnya dan mengunci
rapat pintu rumahnya.
Bian masih terdiam mendengar
ucapan Pinkan itu lalu dia menoleh kebelakang kearah pintu rumah Pinkan, “Selamat
juga buat lo sama Kevin”, ucap Bian lalu kembali ke rumahnya.
Ternyata Pinkan menangis sambil
bersandar di pintu dan memeluk kotak makan yang Bian berikan tadi. Dia menangi
sedih sekali, dia keheranan kenapa tadi dia bisa berkata seperti itu, dia
menyukai Bian tapi kenapa bisa ngomong kalimat itu dengan cepat, membuat Pinkan
dilema.
Bunda dan Ayah sudah makan duluan
di meja makan, mereka duluan makan karena mengira Bian akan makan malam bersama
dengan Pinkan, karena itu Bunda tadi membungkuskan banyak makanan tapi ternyata
pemikirannya itu salah, Bian nggak ikut makan sama mereka tapi bergegas naik ke
kamarnya. Bian mengunci pintu kamarnya rapat.
“Bodoh!”, ucapnya marah pada diri
sendiri.
“Gue sayang sama lo, gue baru
sadar setelah lo bersama orang lain”, ucap Pinkan masih dalam tangisannya.
“Gue cuma sayang sama lo, tapi
kenapa lo malah jadian sama sahabat gue sendiri?”, ucap Bian yang duduk bersandar
dipintu sambil mencengkram rambutnya.
Mereka berdua seperti saling
bersaut-sautan padahal mereka berdua berada di tempat yang berbeda.
“Tapi rasa cintaku ini nggak akan
pernah luntur, cuma lo cinta gue”, lanjut Pinkan makin histeris menangis.
Air mata Bian menetes, “Bagaimanapun
kita sekarang, gue akan tetap cinta sama lo, Cuma lo yang ada dihati gue”.
“Apa cinta gue ini salah?”, tanya
Pinkan pilu.
“Bukan cinta gue yang salah,
waktu yang masih salah diantara kita”, sahut Bian.
“Cuma lo, Bian!”, ucap Pinkan.
“Cuma lo, Pinkan!”, ucap Bian.
To Be Continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar