•☺• Selamat Datang di Rumah Cerita 'Blognya mahasiswa TI yang lebih suka menulis cerita' <<<<<•☺•ECHY FACTS•☺•>>>>> Gue suka FC Barcelona •☺• Golongan darah gue A •☺• Lebih suka film genre Thriler daripada Horror •☺• Jangan lupa follow twitter Echy @cieEchy •☺• Echy itu Mandiri dalam arti sebenarnya dan juga dalam arti mandi sendiri •☺• Pengin punya Apartemen, moga kesampean #AMIN •☺• Penampilan Kampungan Wawasan Internasional •☺• Lebih suka ngelamun daripada ngelantur •☺•

Jumat, 02 Desember 2011

Something Called Love - Part 2


Something Called Love – Part 2
Dan nggak butuh waktu lama Bian sudah berada dihadapan Pinkan lagi dan dia membuka tasnya, mencari sesuatu. Dia terus mengorek-orek tasnya yang berwarna hitam itu, dan akhirnya Bian menunjukkan sesuatu yang dia cari.
Sebuah dompet yang juga berwarna hitam dikeluarkan dari tasnya, Bian lalu membukanya dan menarik sebuah kartu dari dompetnya lalu melihat kartu SIM itu, “Pinkan Sarra Laila?”, lalu Bian memandang kearah Pinkan.
“Itu nama gue”, jawab Pinkan ringan lalu dia merebut SIM yang dipegang Bian.

Keduanya tertawa karena geli dengan semua kebetulan ini. SIM mereka tertukar, sejak kapan? Mereka nggak menyadarinya, sama sekali nggak menyadarinya. Mereka masih tertawa geli sambil memperhatikan SIM mereka masing-masing. Pinkan dan Bian juga memutar otak mereka, mencoba mengingat kapan mereka bertemu, lebih tepatnya kapan mereka mengeluarkan SIM.
“Jadi itu lo?”, ucap Bian dan Pinkan bersamaan.
Mereka berdua kembali tertawa, kebetulan lagi mereka berdua berbarengan bicaranya.
“Pantesan gue nggak asing sama wajah lo”, ucap keduanya lagi-lagi bersamaan.
Lalu Bian mengacak-acak poni Pinkan dengan gemasnya. Pinkan tersenyum, wajahnya memerah karena mendapati Bian yang mengacak-acak poninya. Kedua mata mereka bertemu pandang, keduanya berubah jadi kikuk. Bian dan Pinkan salah tingkah dan mulai menggaruk-garuk kepala mereka yang sama sekali nggak gatal.
“Berangkat kesekolahnya bareng aja yuk?”, ajak Bian masih menggaruk-garuk kepalanya.
Pinkan tersenyum ringan, “Apa nggak apa-apa?”, tanyanya agak kikuk.
“Ya nggak apa-apalah. Gue nggak punya cewek, jadi lo nggak perlu takut. Tapi lo lebih tepatnya harus takut sama fans-fans gue”, celetuk Bian penuh percaya diri.
Kali ini Pinkan tertawa geli dengan kepercayaan diri Bian yang super duper itu, “Sok ngartis!”, timpalnya sambil mendorong pundak Bian.
Keduanya kembali tertawa.
Pagi ini mereka akan berangkat bersama menuju sekolahan. Dengan motor sport-nya yang berwarna merah membara itu. Dengan jaket pink yang selalu menemaninya mengarungi jalanan, helm yang Pinkan pakai juga berwarna pink, serba pink, sampai-sampai jam tangan, gelang, ikat rambut juga berwarna pink.
“Pinky girl”, celetuk Bian sambil memakai helm-nya.
Pinkan hanya tersenyum lebar.
Bian menaiki motornya, “Ayo naik”, ajak Bian.
Pinkan mengangguk lalu naik motor Bian. Baru saja memutar gagang hendak berangkat sekolah. Bunda malah memanggil keduanya sambil melambaik-lambaikan sesuatu. Sepertinya itu masker untuk meminimalisasi debu agar nggak merusak paru-paru (alay-red).
“Pakai ini, di jalan banyak debu”, ucap Bunda sambil memberikan masker berwarna pink dengan hiasan seperti kumisnya hello kitty.
Pinkan melepas helm-nya lalu meraih masker pink itu, “Terima kasih banyak tante”, ucap Pinkan kemudian memakai masker itu dan menggenakan kembali helm-nya.
“Hati-hati, jangan ngebut”, wanti-wanti Bunda pada Bian.
Bian mengangguk ringan agak malas.
“Pegangan dong, ntar jatuh”, ucap Bunda pada Pinkan.
Pinkan mengangguk agak kikuk, “Iya tante”, sahutnya ringan.
Lalu mereka berduapun berangkat ketujuan mereka yaitu SMA Persada. Sebuah sekolah menengah atas yang terkenal dengan prestasinya, sekolah yang menjadi favorit, sekolah yang menjadi idaman banyak anak-anak SMP yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.
---
“Ini ruang guru. Gue kekelas duluan ya”, ucap Bian pamit.
Pinkan mengangguk mengerti, setelah Bian lenyap dari hadapannya dia kemudian masuk kedalam ruang guru untuk bertemu dengan guru walinya. Semangat hari pertama sekolah ini memenuhi pikiran Pinkan.
“Kamu Pinkan siswa baru itu?”, tanya seorang bu guru pada Pinkan.
Pinkan mengangguk mantap, “Iya bu, saya Pinkan”, ucap Pinkan ringan.
Setelah mereka berdua berkenalan. Pinkan dan Bu Irma wali kelas XI. 3 berjalan bersama menuju ruang kelas XI.3 yang berada nggak jauh dari ruang guru. Beberapa siswa-siswa lain yang Pinkan lewati terlihat berpandangan aneh, mungkin karena memang dirinya asing di sekolahan itu. Akhirnya mereka berdua berhenti didepan sebuah ruang kelas yang terlihat sudah penuh dengan penghuninya.
“Selamat pagi anak-anak”, sapa Bu Irma saat memasuki ruang kelas lalu meletakkan buku yang dibawanya di atas meja guru.
“Selamat pagi Bu”, sahut semua siswa.
Kemudian bu Irma terlihat melambaikan tangan kanannya pada seseorang yang berdiri didepan pintu, siapa lagi kalau bukan Pinkan. Pinkan-pun berjalan mendekat kearah wali kelasnya yang baru itu sambil memberikan senyuman pada seisi ruangan itu.
“Kalian kedatangan teman baru”, ucap bu Irma, “Pinkan, perkenalkan diri kamu di hadapan teman-teman sekelas kamu”, lanjut bu Irma menoleh kearah Pinkan.
Pinkan mengangguk lalu melihat kearah teman-temannya yang baru, dia melihat semua wajah teman-teman sekelasnya itu dan dia melihat sosok yang dia kenal, cowok itu tersenyum lebar padanya sambil memainkan alis matanya menaik turunkan alis matanya. Pinkan-pun tersenyum kearahnya, cowok itu adalah Bian.
“Nama saya Pinkan Sarra Laila, biasa dipanggil Pinkan”, ucap Pinkan memperkenalkan diri.
“Bro, bukannya itu cewek yang tadi berangkat sama lo ya? Atau jangan-jangan kalian ini pacaran ya?”, tanya Joni yang duduk di dekat bangku Bian.
Bian menoleh kearah Joni lalu menatapnya tajam, “Gue sama dia temenan. Gak lebih, dan gak usah nyebar gosip yang nggak bener!”, tukas Bian tegas.
Joni sedikit tersentak dan salah tingkah, “Iya bro. Tenang, tenang, tenang”, lanjut Joni.
“Pinkan sekarang kamu bisa duduk dibangku yang kosong. Bangku didekat Vina itu masih kosong”, ucap bu Irma sambil menunjuk kursi yang masih kosong.
Vina yang tadi disebut bu Irma melambaikan tangannya memberi tanda pada Pinkan suapaya Pinkan dapat mengenalinya. Keduanya tersenyum, karena pelajaran akan dimulai, cepat-cepat Pinkan berjalan menuju bangku dan meja barunya.
Setelah duduk Vina mengajak Pinkan untuk bersalaman, “Gue Vina”, ucap Vina ramah.
Pinkan tersenyum dan menyalami tangan Pinkan, “Gue Pinkan”, sahut Pinkan senang.
Tiba-tiba ada sebuah remasan kertas yang menimpa kepalnya, kontan dia memegang kepalanya lalu melihat kearah siapa yang kira-kira melemparnya. Dan Pinkan melihat sosok Bian yang sedang tersenyum kepadanya, sedikit tergambar di pipi Pinkan yang merona merah itu karena mendapati Bian adalah teman sekelasnya.
“Lo di kelas ini juga?”, tanya Pinkan lirih.
Bian yang mengerti apa yang Pinkan tanyakan langsung mengangguk mantap, “Gue ketua kelas XI.3”, sahutnya penuh dengan percaya diri lalu sedikit tertawa bangga.
Pinkan geli melihat kenarsisan Bian, setelah itu dia mulai serius dengan pelajaran yang bu Irma ajarkan pagi hari ini. Pagi hari yang penuh semangat. Pinkan mencuri pandang kearah temapt duduk yang berada dibarisan belakang sebelah kiri, dia melihat Bian, mencuri pandang terhadap Bian tanpa diketahui oleh Bian tentunya.
Bel istirahat berbunyi dengan merdunya, mengalahkan merdu suara kicauan burung di pagi yang sudah mulai menghilang di siang yang terik ini. Vina dan Pinkan berjalan bersama menuju kantin, dan ternyata dibelakang keduanya ada Joni dan Bian yang juga akan ke kantin sekolahan. Joni dan Bian sudah bersahabat cukup lama, mereka berteman sejak SMP dan memilih untuk melanjutkan ke SMA yang sama.
Tinggal ada satu meja yang belum terisi. Vina dan Pinkan duduk bersama. Tak lama kemudian setelah mereka menikmati makanan mereka berdua, Bian dan Joni datang ikut bergabung sambil membawa makanan mereka.
“Cepet juga ya lo dapet temen”, celetuk Bian ringan.
Pinkan melepaskan sedotan minumannya, “Iya dong”, sahut Pinkan sangat ringan.
“Kalian sudah saling kenal?”, tanya Vina penasaran.
Dengan nggak disangka-sangka Bian dan Pinkan menganggukkan kepala bersamaan.
“Aduh, aduh, kok barengan gitu jawabnya? Ada apa ini? Apa kalian pacaran?”, tanya Vina lagi.
Dan nggak disangka-sangka lagi Pinkan dan Bian menjawa dengan menggelengkan kepala mereka secara bersamaan. Membuat keduanya lalu sedikit salting tapi setelah itu kembali bersikap biasa saja.
“Kalian pacaran kan?”, tanya Vina makin penasaran.
“Mereka nggak pacaran, tapi mereka tetanggaan”, sahut Joni yang sedang menikmati baksonya.
---
Pinkan baru selesai mandi, rambut panjangnya masih basah karena keramas tadi. Dia berjalan sendirian sambil menikmati segelas susu putih hangat kesukaannya, menggunakan sandal tidur berwarna pink dengan hiasan babi, Pinkan berjalan ke balkon kamarnya.
Dia menunggu kedua orang tuanya yang belum pulang dari kantor. Ternyata dengan pindah seperti ini, pindah ke tempat yang nggak jauh dari tempat kerja orang tuanya nggak lantas membuat kedua orang tua Pinkan pulang lebih cepat. Pinkan mendesah ringan karena kecewa dengan semua itu.
Malem ini udara terasa begitu dingin, nggak seperti tadi siang yang begitu teriknya. Pinkan beranjak masuk ke kamarnya lalu membuka sebuah buku berwarna pink dan Pinkan mulai menuliskan sesuatu dalam buku pink itu.
Entah apa yang Pinkan tulis dalam buku pink yang seperti buku diary itu. Dia menulisnya sambil menunjukkan ekspresi senang, sebel, dan kembali berekspresi senang lagi. Mengkin hari nya tadi di bumbui dengan kebahagiaan, sebel, kecewa, dan marah.
Tiba-tiba perutnya berbunyi membelah kesunyian kamarnya, kontan Pinkan meletakkan pulpen yang dia pegang lalu memegang perutnya, “Laper”, keluhnya. “Makan apa ya?”, tanyanya pada diri sendiri.
Lalu Pinkan menutup bukunya itu, ditempatkan di dalam lemari bukunya dan dia berjalan keluar dari kamarnya. Dia berjalan menuju dapur, ada bahan-bahan makanan, tapi Pinkan terasa enggan untuk memasaknya dia mengambil hp-nya hendak memesan makanan.
Pinkan mulai menekan tombol yang tertanam dalam hp-nya, dia menekan nomor telfon restoran delivery yang sering banget nongol di tv, lalu menghubunginya dengan cepat karena dia sudah kelaparan. Sungguh menyiksa.
“Selamat malam mba. Bisa saya pesan pizza ukuran besar, pinggirannyacrown crust toppingnya super supreme. Sama minumannya strawberry milkshake”, ucap Pinkan bersemangat.
“Ada lagi?”, tanya dari sana.
“Ehmm”, Pinkan mendesah ringan, “Pepperoni cheese fusili satu sama banana split-nya juga satu. Kirim ke alamat...”, lanjut Pinkan.
Setelah itu dia menutup telfon lalu berjalan menuju ruang tengah. Dia sendirian di rumah malam ini, mungkin kedua orang tuanya nggak pulang malam ini. Dan hal seperti itu sudah sering Pinkan lalui sendiri. Dia lebih sering sendiri.
Nggak sampai setengah jam kemudian tedengar suara bel rumahnya, dengan cepat dia memberi respon. Bergegas menuju pintu rumahnya, karena dia yakin kalau yang datang itu adalah kurir yang mengantarkan makanan yang tadi dia pesan. Dan benar. Itu kurir dari restoran keluarga tadi, setelah membayar semua makanan Pinkan menerima makanan itu dan hendak masuk dalam rumahnya lagi tapi dia melihat ada Bian yang sedang memperhatikannya.
Refleks Pinkan melambaikan tangannya untuk memanggil Bian, Bian menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan siapa yang Pinkan panggil. Setelah mendapat kejelasan Bian mendekati rumah Pinkan.
“Ada apa?”, tanya Bian.
Pinkan menunjukkan apa yang ada ditangannya, “Makan bareng yuk?”, ajak Pinkan.
“Gue udah makan tadi”, ucap Bian sambil memegangi perutnya.
Pinkan cemberut sebel, “Yaah”, desahnya payah. “Sekedar temenin gue makan juga nggak bisa ya pasti?”, lanjut Pinkan dengan nada memelas.
Bian dengan lembut mengacak-acak rambut Pinkan, “Ok. Gue temenin lo makan”, ucap Bian lalu membawakan makanan Pinkan kedalam rumah.
Pinkan malah membatu didepan pintu, dia merasa malu tadi saat rambutnya di acak-acak Bian. Kedua pipinya merona merah, dia masih membatu karena salah tingkah harus berbuat apa. Bian yang menyadari itu langsung menarik tangan kanan Pinkan untuk segera masuk dalam rumah.
To Be Continued....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...