Something Called
Love – Part 2
Dan nggak butuh waktu lama Bian
sudah berada dihadapan Pinkan lagi dan dia membuka tasnya, mencari sesuatu. Dia
terus mengorek-orek tasnya yang berwarna hitam itu, dan akhirnya Bian
menunjukkan sesuatu yang dia cari.
Sebuah dompet yang juga berwarna
hitam dikeluarkan dari tasnya, Bian lalu membukanya dan menarik sebuah kartu
dari dompetnya lalu melihat kartu SIM itu, “Pinkan Sarra Laila?”, lalu Bian
memandang kearah Pinkan.
“Itu nama gue”, jawab Pinkan
ringan lalu dia merebut SIM yang dipegang Bian.
Keduanya tertawa karena geli
dengan semua kebetulan ini. SIM mereka tertukar, sejak kapan? Mereka nggak
menyadarinya, sama sekali nggak menyadarinya. Mereka masih tertawa geli sambil
memperhatikan SIM mereka masing-masing. Pinkan dan Bian juga memutar otak
mereka, mencoba mengingat kapan mereka bertemu, lebih tepatnya kapan mereka
mengeluarkan SIM.
“Jadi itu lo?”, ucap Bian dan
Pinkan bersamaan.
Mereka berdua kembali tertawa,
kebetulan lagi mereka berdua berbarengan bicaranya.
“Pantesan gue nggak asing sama
wajah lo”, ucap keduanya lagi-lagi bersamaan.
Lalu Bian mengacak-acak poni
Pinkan dengan gemasnya. Pinkan tersenyum, wajahnya memerah karena mendapati
Bian yang mengacak-acak poninya. Kedua mata mereka bertemu pandang, keduanya
berubah jadi kikuk. Bian dan Pinkan salah tingkah dan mulai menggaruk-garuk
kepala mereka yang sama sekali nggak gatal.
“Berangkat kesekolahnya bareng
aja yuk?”, ajak Bian masih menggaruk-garuk kepalanya.
Pinkan tersenyum ringan, “Apa
nggak apa-apa?”, tanyanya agak kikuk.
“Ya nggak apa-apalah. Gue nggak
punya cewek, jadi lo nggak perlu takut. Tapi lo lebih tepatnya harus takut sama
fans-fans gue”, celetuk Bian penuh percaya diri.
Kali ini Pinkan tertawa geli
dengan kepercayaan diri Bian yang super duper itu, “Sok ngartis!”, timpalnya
sambil mendorong pundak Bian.
Keduanya kembali tertawa.
Pagi ini mereka akan berangkat
bersama menuju sekolahan. Dengan motor sport-nya yang berwarna merah membara
itu. Dengan jaket pink yang selalu menemaninya mengarungi jalanan, helm yang
Pinkan pakai juga berwarna pink, serba pink, sampai-sampai jam tangan, gelang,
ikat rambut juga berwarna pink.
“Pinky girl”, celetuk Bian sambil
memakai helm-nya.
Pinkan hanya tersenyum lebar.
Bian menaiki motornya, “Ayo naik”,
ajak Bian.
Pinkan mengangguk lalu naik motor
Bian. Baru saja memutar gagang hendak berangkat sekolah. Bunda malah memanggil
keduanya sambil melambaik-lambaikan sesuatu. Sepertinya itu masker untuk
meminimalisasi debu agar nggak merusak paru-paru (alay-red).
“Pakai ini, di jalan banyak debu”,
ucap Bunda sambil memberikan masker berwarna pink dengan hiasan seperti
kumisnya hello kitty.
Pinkan melepas helm-nya lalu
meraih masker pink itu, “Terima kasih banyak tante”, ucap Pinkan kemudian
memakai masker itu dan menggenakan kembali helm-nya.
“Hati-hati, jangan ngebut”,
wanti-wanti Bunda pada Bian.
Bian mengangguk ringan agak
malas.
“Pegangan dong, ntar jatuh”, ucap
Bunda pada Pinkan.
Pinkan mengangguk agak kikuk, “Iya
tante”, sahutnya ringan.
Lalu mereka berduapun berangkat
ketujuan mereka yaitu SMA Persada. Sebuah sekolah menengah atas yang terkenal
dengan prestasinya, sekolah yang menjadi favorit, sekolah yang menjadi idaman
banyak anak-anak SMP yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.
---
“Ini ruang guru. Gue kekelas
duluan ya”, ucap Bian pamit.
Pinkan mengangguk mengerti,
setelah Bian lenyap dari hadapannya dia kemudian masuk kedalam ruang guru untuk
bertemu dengan guru walinya. Semangat hari pertama sekolah ini memenuhi pikiran
Pinkan.
“Kamu Pinkan siswa baru itu?”,
tanya seorang bu guru pada Pinkan.
Pinkan mengangguk mantap, “Iya
bu, saya Pinkan”, ucap Pinkan ringan.
Setelah mereka berdua berkenalan.
Pinkan dan Bu Irma wali kelas XI. 3 berjalan bersama menuju ruang kelas XI.3
yang berada nggak jauh dari ruang guru. Beberapa siswa-siswa lain yang Pinkan
lewati terlihat berpandangan aneh, mungkin karena memang dirinya asing di
sekolahan itu. Akhirnya mereka berdua berhenti didepan sebuah ruang kelas yang
terlihat sudah penuh dengan penghuninya.
“Selamat pagi anak-anak”, sapa Bu
Irma saat memasuki ruang kelas lalu meletakkan buku yang dibawanya di atas meja
guru.
“Selamat pagi Bu”, sahut semua
siswa.
Kemudian bu Irma terlihat
melambaikan tangan kanannya pada seseorang yang berdiri didepan pintu, siapa
lagi kalau bukan Pinkan. Pinkan-pun berjalan mendekat kearah wali kelasnya yang
baru itu sambil memberikan senyuman pada seisi ruangan itu.
“Kalian kedatangan teman baru”,
ucap bu Irma, “Pinkan, perkenalkan diri kamu di hadapan teman-teman sekelas
kamu”, lanjut bu Irma menoleh kearah Pinkan.
Pinkan mengangguk lalu melihat
kearah teman-temannya yang baru, dia melihat semua wajah teman-teman sekelasnya
itu dan dia melihat sosok yang dia kenal, cowok itu tersenyum lebar padanya
sambil memainkan alis matanya menaik turunkan alis matanya. Pinkan-pun
tersenyum kearahnya, cowok itu adalah Bian.
“Nama saya Pinkan Sarra Laila,
biasa dipanggil Pinkan”, ucap Pinkan memperkenalkan diri.
“Bro, bukannya itu cewek yang
tadi berangkat sama lo ya? Atau jangan-jangan kalian ini pacaran ya?”, tanya
Joni yang duduk di dekat bangku Bian.
Bian menoleh kearah Joni lalu
menatapnya tajam, “Gue sama dia temenan. Gak lebih, dan gak usah nyebar gosip yang
nggak bener!”, tukas Bian tegas.
Joni sedikit tersentak dan salah
tingkah, “Iya bro. Tenang, tenang, tenang”, lanjut Joni.
“Pinkan sekarang kamu bisa duduk
dibangku yang kosong. Bangku didekat Vina itu masih kosong”, ucap bu Irma
sambil menunjuk kursi yang masih kosong.
Vina yang tadi disebut bu Irma
melambaikan tangannya memberi tanda pada Pinkan suapaya Pinkan dapat
mengenalinya. Keduanya tersenyum, karena pelajaran akan dimulai, cepat-cepat
Pinkan berjalan menuju bangku dan meja barunya.
Setelah duduk Vina mengajak
Pinkan untuk bersalaman, “Gue Vina”, ucap Vina ramah.
Pinkan tersenyum dan menyalami
tangan Pinkan, “Gue Pinkan”, sahut Pinkan senang.
Tiba-tiba ada sebuah remasan
kertas yang menimpa kepalnya, kontan dia memegang kepalanya lalu melihat kearah
siapa yang kira-kira melemparnya. Dan Pinkan melihat sosok Bian yang sedang
tersenyum kepadanya, sedikit tergambar di pipi Pinkan yang merona merah itu
karena mendapati Bian adalah teman sekelasnya.
“Lo di kelas ini juga?”, tanya
Pinkan lirih.
Bian yang mengerti apa yang
Pinkan tanyakan langsung mengangguk mantap, “Gue ketua kelas XI.3”, sahutnya
penuh dengan percaya diri lalu sedikit tertawa bangga.
Pinkan geli melihat kenarsisan
Bian, setelah itu dia mulai serius dengan pelajaran yang bu Irma ajarkan pagi
hari ini. Pagi hari yang penuh semangat. Pinkan mencuri pandang kearah temapt
duduk yang berada dibarisan belakang sebelah kiri, dia melihat Bian, mencuri
pandang terhadap Bian tanpa diketahui oleh Bian tentunya.
Bel istirahat berbunyi dengan merdunya,
mengalahkan merdu suara kicauan burung di pagi yang sudah mulai menghilang di
siang yang terik ini. Vina dan Pinkan berjalan bersama menuju kantin, dan
ternyata dibelakang keduanya ada Joni dan Bian yang juga akan ke kantin
sekolahan. Joni dan Bian sudah bersahabat cukup lama, mereka berteman sejak SMP
dan memilih untuk melanjutkan ke SMA yang sama.
Tinggal ada satu meja yang belum
terisi. Vina dan Pinkan duduk bersama. Tak lama kemudian setelah mereka
menikmati makanan mereka berdua, Bian dan Joni datang ikut bergabung sambil
membawa makanan mereka.
“Cepet juga ya lo dapet temen”,
celetuk Bian ringan.
Pinkan melepaskan sedotan
minumannya, “Iya dong”, sahut Pinkan sangat ringan.
“Kalian sudah saling kenal?”,
tanya Vina penasaran.
Dengan nggak disangka-sangka Bian
dan Pinkan menganggukkan kepala bersamaan.
“Aduh, aduh, kok barengan gitu
jawabnya? Ada apa ini? Apa kalian pacaran?”, tanya Vina lagi.
Dan nggak disangka-sangka lagi
Pinkan dan Bian menjawa dengan menggelengkan kepala mereka secara bersamaan. Membuat
keduanya lalu sedikit salting tapi setelah itu kembali bersikap biasa saja.
“Kalian pacaran kan?”, tanya Vina
makin penasaran.
“Mereka nggak pacaran, tapi
mereka tetanggaan”, sahut Joni yang sedang menikmati baksonya.
---
Pinkan baru selesai mandi, rambut
panjangnya masih basah karena keramas tadi. Dia berjalan sendirian sambil
menikmati segelas susu putih hangat kesukaannya, menggunakan sandal tidur
berwarna pink dengan hiasan babi, Pinkan berjalan ke balkon kamarnya.
Dia menunggu kedua orang tuanya
yang belum pulang dari kantor. Ternyata dengan pindah seperti ini, pindah ke
tempat yang nggak jauh dari tempat kerja orang tuanya nggak lantas membuat
kedua orang tua Pinkan pulang lebih cepat. Pinkan mendesah ringan karena kecewa
dengan semua itu.
Malem ini udara terasa begitu
dingin, nggak seperti tadi siang yang begitu teriknya. Pinkan beranjak masuk ke
kamarnya lalu membuka sebuah buku berwarna pink dan Pinkan mulai menuliskan
sesuatu dalam buku pink itu.
Entah apa yang Pinkan tulis dalam
buku pink yang seperti buku diary itu. Dia menulisnya sambil menunjukkan
ekspresi senang, sebel, dan kembali berekspresi senang lagi. Mengkin hari nya
tadi di bumbui dengan kebahagiaan, sebel, kecewa, dan marah.
Tiba-tiba perutnya berbunyi
membelah kesunyian kamarnya, kontan Pinkan meletakkan pulpen yang dia pegang
lalu memegang perutnya, “Laper”, keluhnya. “Makan apa ya?”, tanyanya pada diri
sendiri.
Lalu Pinkan menutup bukunya itu,
ditempatkan di dalam lemari bukunya dan dia berjalan keluar dari kamarnya. Dia
berjalan menuju dapur, ada bahan-bahan makanan, tapi Pinkan terasa enggan untuk
memasaknya dia mengambil hp-nya hendak memesan makanan.
Pinkan mulai menekan tombol yang
tertanam dalam hp-nya, dia menekan nomor telfon restoran delivery yang sering
banget nongol di tv, lalu menghubunginya dengan cepat karena dia sudah
kelaparan. Sungguh menyiksa.
“Selamat malam mba. Bisa saya
pesan pizza ukuran besar, pinggirannyacrown crust toppingnya super supreme. Sama
minumannya strawberry milkshake”, ucap Pinkan bersemangat.
“Ada lagi?”, tanya dari sana.
“Ehmm”, Pinkan mendesah ringan, “Pepperoni
cheese fusili satu sama banana split-nya juga satu. Kirim ke alamat...”, lanjut
Pinkan.
Setelah itu dia menutup telfon
lalu berjalan menuju ruang tengah. Dia sendirian di rumah malam ini, mungkin
kedua orang tuanya nggak pulang malam ini. Dan hal seperti itu sudah sering
Pinkan lalui sendiri. Dia lebih sering sendiri.
Nggak sampai setengah jam
kemudian tedengar suara bel rumahnya, dengan cepat dia memberi respon. Bergegas
menuju pintu rumahnya, karena dia yakin kalau yang datang itu adalah kurir yang
mengantarkan makanan yang tadi dia pesan. Dan benar. Itu kurir dari restoran
keluarga tadi, setelah membayar semua makanan Pinkan menerima makanan itu dan
hendak masuk dalam rumahnya lagi tapi dia melihat ada Bian yang sedang
memperhatikannya.
Refleks Pinkan melambaikan
tangannya untuk memanggil Bian, Bian menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan
siapa yang Pinkan panggil. Setelah mendapat kejelasan Bian mendekati rumah
Pinkan.
“Ada apa?”, tanya Bian.
Pinkan menunjukkan apa yang ada
ditangannya, “Makan bareng yuk?”, ajak Pinkan.
“Gue udah makan tadi”, ucap Bian
sambil memegangi perutnya.
Pinkan cemberut sebel, “Yaah”,
desahnya payah. “Sekedar temenin gue makan juga nggak bisa ya pasti?”, lanjut
Pinkan dengan nada memelas.
Bian dengan lembut mengacak-acak
rambut Pinkan, “Ok. Gue temenin lo makan”, ucap Bian lalu membawakan makanan
Pinkan kedalam rumah.
Pinkan malah membatu didepan
pintu, dia merasa malu tadi saat rambutnya di acak-acak Bian. Kedua pipinya
merona merah, dia masih membatu karena salah tingkah harus berbuat apa. Bian
yang menyadari itu langsung menarik tangan kanan Pinkan untuk segera masuk
dalam rumah.
To Be Continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar