•☺• Selamat Datang di Rumah Cerita 'Blognya mahasiswa TI yang lebih suka menulis cerita' <<<<<•☺•ECHY FACTS•☺•>>>>> Gue suka FC Barcelona •☺• Golongan darah gue A •☺• Lebih suka film genre Thriler daripada Horror •☺• Jangan lupa follow twitter Echy @cieEchy •☺• Echy itu Mandiri dalam arti sebenarnya dan juga dalam arti mandi sendiri •☺• Pengin punya Apartemen, moga kesampean #AMIN •☺• Penampilan Kampungan Wawasan Internasional •☺• Lebih suka ngelamun daripada ngelantur •☺•

Sabtu, 10 Desember 2011

Something Called Love - Part 10


Something Called Love – Part 10
Pinkan nggak bisa tidur malam ini. Di ingatannya dia masih ingat jelas apa yang terjadi tadi siang. Dia juga masih ingat saat dirinya dan Bian mengantarkan Joni dan Vina sampai ke halaman rumah, masih ingat jelas kalimat Bian yang membuatnya penasaran akan maksudnya.
“Maksud Joni apa pakai gandeng-gandeng tangan lo”, ucap Pinkan yang meniru kalimat Bian tadi sore. “Maksudnya apa coba?”, gumam Pinkan bingung.
Terdengar dering hp yang nyaring, ada telfon dari nomer yang nggak dikenal dan nomer itu juga bukan nomer Indonesia, dengan pelan namun pasti Pinkan mengangkat telfon tersebut.

“Hallo sayang”, sahut suara yang nggak asing lagi ditelinga Pinkan.
“Mamah?”, tanya Pinkan memastikan.
“Iya sayang ini Mamah. Oh ya, Mamah baru beli jam tangan buat kamu sayang. Warnanya pink bagus banget”, ucap Mamah antusias sambil memperhatikan jam yang dibelinya.
Tapi Pinkan nggak terlalu antusias, “Mamah kapan pulang?”, tanya Pinkan cepat.
“Hmmm”, desah Mamah, “Mungkin sekitar seminggu lagi. Oh ya tadi Mamah juga baru transfer uang buat keperluan kamu selama Mamah disini, semoga itu cukup. Tapi kalau nggak cukup cepet-cepet hubungin Mamah ya”, lanjut Mamah panjang lebar.
Pinkan malas membahas ini semua, “Mah, Pinkan sudah ngantuk. Pinkan tidur dulu ya, soalnya besok ada upacara”, pamit Pinkan.
Setelah itu telfonnya terputus juga. Padahal sih Pinkan belum mengantuk sama sekali, tapi dia malas bicara dengan Mamahnya mengenai semua itu, dia ingin Mamahnya ada selalu disampingnya, menemaninya, mendengarkan cerita dan keluhannya, menjadi teman yang paling baik untuk Pinkan.
Tapi rasanya itu permintaan yang terlalu berlebihan yang sering Pinkan selipkan dalam doa setelah sholat. Sepertinya ini sudah merupakan kehendak yang maha kuasa yang nggak bisa di ganggu gugat lagi. Bagaimanapun Pinkan berusaha, tapi tetap nggak ada hasilnya. Hubungan kedua orang tuanya nggak pernah membaik.
Nggak lama kemudian hp Pinkan kembali berdering nyaring. Sekarang Papahnya yang menelfon.
“Hallo sayang”, sahut Papah dari seberang sana. “Papah sudah beliin oleh-oleh spesial buat kamu. Papah baru beliin jaket baru buat kamu. Warnanya pink, kesukaan kamu banget”, ucap Papah bersemangat.
“Oh ya, sudah makan apa belum?”, tanya Papah.
Tadi Mamah nggak menanyakan hal itu, Pinkan sedikit berharap kedua orang tuanya atau salah satunya menanyakan hal itu. Ternyata Papah yang menanyakannya.
“Sudah makan apa belum?”, Papah mengulangi pertanyaannya, “Kalau belum pakai jasa pesan antar aja. Bayar pakai credit card kamu, tagihannya sudah Papah lunasin semuanya”, lanjut Papah yang mulai membahas topik yang paling malas Pinkan bisacaran.
“Pinkan sudah makan Pah”, jawab Pinkan cepat, “Sekarang Pinkan ngantuk banget, Pinkan ingin tidur”, ucap Pinkan.
Akhirnya merekaberdua memutus telfon itu. Padahal Pinkan sama sekali belum mengantuk tapi dia malas lama-lama berbicara dengan Mamah atau Papahnya yang lebih mementingkan mencari uang daripada membuat anaknya bahagia.
Papah dan Mamah berfikir dengan mencukupi semua kebutuhan Pinkan, memberinya cukup uang, credit card dan fasilitas lainnya itu jaminan untuk Pinkan bahagia. Ternyata mereka salah, Pinkan nggak terlalu mementingkan itu, dia lebih menginginkan kasih sayang dan perhatian yang tulus dari kedua orang tuanya.
Inilah yang membuat Pinkan malas berbicara dengan mereka di telfon.
Pinkan mencoba meredupkan lampu kamarnya, nggak sampai mati sempurna lampunya karena dia takut sekali sama yang namanya kegelapan. Pinkan mencoba untuk tidur tapi usahanya nggak ada satupun yang berhasil. Dia masih terjaga, mungkin malah bisa terjaga sampai pagi. Kedua matanya masih terlihat segar dan besar.
Bian juga belum tidur, dia nggak bisa tidur karena terus memikirkan Pinkan. Pinkan yang tadi akrab sekali dengan Joni, membuat hati Bian entah kenapa jadi gak menentu seperti ini. Akhirnya dia berjalan menuju balkon kamarnya yang menghadap tepat ke rumah Pinkan yang selalu terang oleh cahaya lampu.
“Kok gue mikirin lo terus ya?”, gumam Bian lirih sambil melihat kearah rumah Pinkan.
Eh setelah Bian ngomong seperti itu Pinkan terlihat keluar dari rumah. Dia berjalan sendirian keluar rumahnya, kedua telinganya disumbat oleh ear phone dan disaku trening panjangnya ada i-pod. Dia berjalan kecil sampai dijalan didepan rumahnya. Bian melihat dari balkon rumahnya, Pinkan malah duduk ditengah-tengah aspal jalan didepan rumahnya lalu tiduran berbantal kedua tangannya yang dilipat.
“Dasar si Pinky kurang kerjaan!”, timpal ringan Bian sambil menahan tawa melihat Pinkan.
Datanglah pak satpam yang biasa berkeliling mengamankan kompleks itu.
“Mba Pinkan? Kenapa tiduran disini?”, tanya salah satu pak satpam itu.
Pinkan bangkit untuk duduk lalu melepas salah satu ear phone-nya, “Ada apa pak?”, tanya Pinkan nggak dengar tadi.
“Ngapain mba ada disini?”, tanya pak satpam mengulangi pertanyaannya yang tadi.
Pinkan tertawa ringan, “Mau lihat bintang pak”, jawab Pinkan sekenanya.
“Owh gitu. Ya sudah hati-hati aja ya mba, kalau ada apa-apa cepat hubungi saya”, ucap salah satu satpam yang lain lalu berlalu meninggalkan Pinkan.
Pinkan mengangguk saja lalu kembali keposisi berbaringnya. Bian masih tertawa takjub melihat Pinkan yang memang unik itu. Hahaha.
Pinkan memejamkam matanya menikmati lagu yang menggema di telinganya. Bian jadi ingin menemani Pinkan, dia masuk kembali ke kamarnya lalu bergegas turun dari lantai terus berlari menuju pintu samping rumahnya, keluar pelan-pelan tak bersuara lalu bergegas berjalan menuju Pinkan.
Dilihatnya Pinkan dari kepala sampai kaki, dari kaki kembali lagi kekepala, lalu dia melepas jaket yang dia pakai kemudian di selimutkan pada Pinkan yang hanya memakai kaos. Tentu membuat Pinkan membuka matanya dan melongo keherana melihat Bian yang hendak berbaring juga di sampingnya.
Pinkan melepas salah satu ear phone-nya lagi, “Ngapain lo kesini?”, tanya Pinkan.
“Mau lihat bintang”, jawab Bian meniru jawaban dari Pinkan tadi.
Lalu Bian menoleh kearah Pinkan yang juga sedang melihat kearahnya. Ear phone yang melekat di telinga kanan Pinkan dilepas lalu di masukkan ke daun telinga Bian, Bian kembali memandang langit. Pinkan tertawa takjub lalu memasangkan ear phone yang satunya di telinga kanannya.
“Lo tuh cewek yang unik ya”, gumam Bian masih melihat ke langit.
Pinkan sedikit tertawa, “Kayak gini aja unik. Tadinya sih gue mau tiduran di atas genteng, tapi gak nemu tangga buat naik keatas”, tukas Pinkan konyol.
Membuat Bian menjadi tertawa. Lalu sedetik kemudian mereka berdua terdiam nggak bersuara, asyik mendengarkan musik yang menggema di telinga mereka.
“Lo nggak takut sendirian?”, tanya Bian.
Pinkan tersenyum getir, “Gue nggak pernah mau sendirian”, ucap Pinkan mantap.
Bian nggak berkomentar apa-apa, dia menoleh melihat Pinkan dari sisinya berbaring. Dia nggak langsung berkomentar karena melihat Pinkan yang sepertinya belum selesai dengan ucapannya.
“Gue nggak mau sendiri makanya gue disini, mencari perhatian orang. Dan benarkan sekarang gue nggak sendirian disini”, lanjut Pinkan datar lalu terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan kalimatnya lagi, “Lo beruntung, gue iri sama lo”, keluh Pinkan memelas.
Bian belum juga berkomentar, Pinkan masih terlihat ingin bicara.
Benar saja beberapa saat kemudian Pinkan berbicara lagi, “Kenapa hidup gue gini amat ya? Mana orang tua gue? Apa mereka mikirin gue? Apa mereka khawatir sama gue yang ditinggal di rumah sendirian? Apa mereka peduli sama gue? Apa mereka inget sama gue?”, ucap Pinkan panjang lalu air matanya mulai mengalir di ujung matanya mengalir membasahi pelipisnya.
Bian kasihan melihatnya, dia merasa nggak tega melihat Pinkan yang menangis. Ingin rasanya dia menghapus air mata Pinkan itu tapi dia mengurungkan niatnya setelah Pinkan menghapusnya sendiri dengan kedua tangannya.
“Itu cara mereka mengungkapkan rasa sayangnya sama lo. Mereka berusaha mati-matian mencari uang demi membuat lo bahagia dan hidup berkecukupan bahkan serba berlebihan. Mereka ingin memberi yang terbaik buat lo. Jelas mereka sayang sama lo”, tukas panjang Bian memberikan opini dari sudut pandangnya.
“Gue nggak butuh semua ini. Gue cuman butuh kasih sayang. Gue bisa hidup pas-pasan asal ada kedua orang tua gue di samping gue. Gue bisa hidup cukup dengan itu”, ucap Pinkan nggak mau kalah.
Bian terdiam, dia nggak mau membuat suasana hati Pinkan makin runyam, dia diam agar Pinkan lebih nyaman dan nggak terlalu di pusingkan dengan itu semua. Lalu terdengar suara tawa Pinkan yang terdengar terpaksa dan penuh beban.
“Gue bodoh ya? Ini sudah kali kedua gue nangis didepan lo. Sebelumnya gue nggak pernah nangis didepan cowok kayak gini”, ucap Pinkan sambil membersihkan sisa-sisa air matanya lagi.
Bian nggak berkomentar apa-apa. Dia hanya mematung memperhatikan Pinkan yang sedang tersenyum dengan penuh keterpaksaan. Bian ikut tersenyum simpatik melihat Pinkan yang sebenarnya. Sisi melow Pinkan yang nggak setiap orang tahu.
---
Wajah Pinkan terlihat nggak segar sama sekali, malah cenderung terlihat agak kepucatan tapi sikapnya yang kuat membuat seolah dirinya terasa kuat walau sebenarnya nggak begitu. Pagi ini Pinkan berangkat bersama Bian lagi.
Bian meperhatikan wajah Pinkan, “Lo sakit?”, tanya Bian perhatian.
Tapi Pinkan menggelengkan kepalanya mantap, “Ayo berangkat”, ucap Pinkan sambil naik ke motor Bian.
Keduanya berangkat bersama-sama ke sekolahan. Mereka harus cepat-cepat sampai ke sekolahan karena ini hari senin, mereka harus mengikuti upacara bendera di sekolahan. Sebagai warga negara Indonesia yang baik tentunya mereka harus mengikuti upacara bendera itu.
“Pagi-pagi gini sudah panas banget ya?”, keluh Bian saat berhenti di sebuah trafic light.
Pinkan mengangguk mengiyakan, “Tapi ya di syukuri saja, begini jugakan nikmat dari Alloh”, ucap Pinkan sok alim.
Gantian Bian yang mengangguk lalu lampu berubah hijau, saatnya untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju sekolahan.
“Tapi kayaknya ntar sore bakalan turun hujan”, ucap Pinkan ringan.
Bian mendengar itu tapi nggak berkomentar apa-apa, dia kembali serius mengendarai motornya agar nggak terjadi hal-hal yang nggak diinginkan.
Saat melewati sebuah toko boneka, dari kaca spionnya Bian melihat sorot mata Pinkan yang berbinar-binar seperti menginginkan sesuatu saat melihat barisan boneka yang ada dietalase toko boneka. Biat melirik kearah sana melihat ada boneka tedy bear besar sekali yang berwarna pink.
            To Be Continued....     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...