Something Called
Love – Part 11
Disebuah ruangan di SMA Persada,
sebuah ruangan yang nggak terlalu besar, terdapat dua ranjang dengan kaki yang
cukup tinggi. Disamping sebuah ranjang terlihat Bian yang duduk termenung
menunggui seseorang yang tubuhnya terbaring ranjang yang ada di depan Bian.
Tubuh Bian menutupi wajah orang yang berbaring di ranjang.
Tiba-tiba Bian bangkit membantu
orang itu untuk duduk, orang itu sadar dari pingsannya gara-gara upacara
bendera tadi. Bian memberinya segelas teh manis hangat untuk memberinya tenaga.
“Harusnya lo nggak usah berangkat
sekolah tadi”, ucap Bian ketus.
Orang itu yang ternyata Pinkan
sedikit tertawa walaupun masih sedikit merasakan pusing di kepalanya, “Gue
pingsan ya?”, gumamnya dengan rambut yang berantakan.
Bian mencoba merapikan rambut Pinkan,
lagi-lagi hal yang simple ini membuat jantung Pinkan meloncat-loncat tak
beraturan kesana-kemari. Pinkan sendiri heran kenapa dia selalu merasakan hal
seperti ini kalau Bian memberi perhatian lebih padanya.
“Kepala lo masih pusing?”, tanya
Bian perhatian sambil merapikan poni Pinkan.
Pinkan mengangguk lemah, “Gue
ngrepotin lo ya?”, ucap Pinkan merasa malu.
Kini Bian malah mengangguk, “Lo
bener-bener ngerepotin gue”, ucapan dari Bian yang membuat Pinkan cemberut, “Tapi
gue seneng”, lanjut Bian singkat.
Pinkan nggak ngerti apa maksud
dari Bian, masa direpotin kok seneng? Kalau gitu mendingan sering ngrepotin aja
ya? Gimana? Hahaha maksa.
“Maksud lo apa?”, tanya Pinkan
nggak ngerti.
Bian menghentikan aksinya
merapikan rambut Pinkan, lalu menatap wajah Pinkan, “Gue seneng soalnya gue
jadi nggak usah ikut pelajarannya pak Tarno”, ucap Bian diiringi senyuman puas.
Tapi Pinkan nggak suka dengan
jawaban Bian, Pinkan berharap Bian menjawab dia senang karena bisa menemaninya
disini. Tapi ya sudahlah, Pinkan enggan berdebat, kepalanya masih pusing. Dan
kali ini terasa pusing sekali sampai-sampai dia memegangi pelipisnya.
“Masih pusing?”, tanya Bian lagi.
Pinkan hanya mengangguk ringan.
Bian bangkit dari tempat
duduknya, “Gue mintain obat sakit kepala dulu ya”, ucap Bian yang kemudian
cepat-cepat pergi.
Masih dengan memegangi kepalanya
yang terasa pening itu, Pinkan teringat saat-saat upacara bendera tadi. Dia ada
di tengah barisan, nggak terlalu kedepan dan juga nggak terlalu dibelakang. Saat
pengibaran bendera telah selesai, kepalanya makin terasa pening, banyak
kunang-kunang yang berterbanyan hanya dalam penglihatannya dan tiba-tiba dia
langsung ambruk di lapangan tapi untuk Bian yang berdiri dibelakangnya sempat
menangkap tubuh Pinkan jadi nggak langsung ambruk ke lantai lapangan yang
keras.
Dengan perasaan yang campur aduk,
Bian yang paling khawatir langsung menggendong sendiri Pinkan ke UKS sekolah
tanpa bantuan petugas PMR yang baru mulai menangani Pinkan. Wajah Bian khawatir
sekali, itu tentu saja membuat Vina yang ada dibarisan depan sebal melihat
perlakuan Bian pada Pinkan yang terlampau baik itu.
Vina nggak rela. Tapi Bian dengan
cepat membawa Pinkan ke UKS tanpa memikirkan apapun. Pokoknya dia harus
cepat-cepat menolong Pinkan yang sudah nggak sadarkan diri.
“Nih dimakan dulu obatnya”, ucap
Bian tiba-tiba.
Langsung membuyarkan lamunan
Pinkan yang sedang mengingat-ngingat apa yang tadi terjadi, tubuhnya sedikit
melonjak karena terkejut. Dilihatnya stip obar sakit kepala berbentuk tablet
yang kelihatannya pahit rasanya, tapi ya jelas pahit namanya saja obat.
Bian memberikan obat itu pada
Pinkan, “Ayo dimakan dulu obatnya”, perintah Bian.
Pinkan melihat strip obat yang
ada ditangannya, “Cuma ada obat kayak gini?”, ucap Pinkan.
Strip obat itu kembali diraih
Bian lalu dibukanya satu dan memberikan satu tablet itu pada Pinkan yang
terlihat nggak mau minum obat itu. Kelihatannya Pinkan itu ragu untuk makan
obat itu. Bian mendesaknya agar cepat meminum obat sakit kepala yang tadi dia
minta pada petugas PMR.
“Ayo cepet makan”, paksa Bian
kali ini.
“Tapi gue nggak bisa makan obat
kayak gini”, keluh Pinkan sedikit malu.
Bian sedikit tercengang, “Lo
nggak bisa minum tablet?”, tanya Bian memastikan maksud dari kalimat Pinkan
tadi.
Pinkan mengangguk lemah karena
merasa malu. Tentu saja itu membuat Bian tertawa geli. Pengakuan Pinkan yang
nggak bisa mengkonsumsi tablet membuat Bian tertawa geli, sungguh lucu
mendengar pengakuan itu.
Pinkan cemberut sejadinya sambil
melemparkan obat itu kelantai, “Gue nggak mau makan obat!”, ucapnya kesal
sambil melipat kedua tangannya.
Melihat Pinkan yang cemberut
karena kesal Bian berubah menjadi manis lagi.
“Gue ambil sendok dulu ya. Jangan
manyun gitu dong, ntar tambah jelek lho”, timpal Bian sedikit bercanda lalu
pergi.
Nggak lama kemudian Bian kembali
lagi dengan dua sendok ditangannya. Dengan cekatan seperti perawat Bian membuka
strip obat sakit kepala itu lalu diletakkan disalah satu sendok, kemudian
dengan sendok yang satunya Bian mencoba menggerus, menghancurkan obat yang
lumayan keras itu. Dan Pinkan hanya bisa memperhatikan apa yang Bian lakukan
Dan nggak butuh waktu yang lama
obat sakit kepala itu sudah hancur halus di sendok. Dengan sendok yang tadi
digunakan untuk menggerus, Bian mengambil sesendok air teh manis untuk
melarutkan obat dan mengaduk-aduknya pelan agar semuanya mencari merata.
“Sekarang sudah bisa makan obatkan?”,
tanya Bian memastikan.
Pinkan tentu saja mengangguk
mantap sambil sedikit tersenyum, kemudian membuka mulutnya. Bian menyuapkan
obat itu dan setelah tertelan Bian memberi Pinkan gelas teh manis hangat yang
tadi ada dimeja yang digunakan untuk melarutkan obat.
“Makasih”, ucap manis Pinkan.
Bian tersenyum dan mengangguk. Keduanya
saling bertemu pandang cukup lama tapi sedetik kemudian terdengar bunyi bel
istirahat yang membuat mereka terkejut. Saling melihat ekspresi lawan membuat
keduanya tertawa geli.
“Kekantin yuk”, ajak Bian ramah.
Pinkan mengangguk lalu bangkit
dari tempat tidurnya. Tentu saja Bian membantu Pinkan untuk berdiri. Keduanya
berjalan ke pintu yang berada nggak cukup jauh dari situ. Saat mereka akan
membuka pintu itu, eh malah ada yang memutar tuas pintu itu dulu. Vina dan Joni
ternyata. Keduanya memberikan senyuman pada Pinkan dan Bian.
Lalu mereka berempat pergi ke
kantin bersama-sama. Saatnya untuk makan siang. Mereka berempat berjalan
bersama-sama. Dengan sigap Vina berjalan menempel pada Bian, Pinkan merasa
nggak nyaman diposisi seperti itu jadi Pinkan lebih memilih menggandeng Joni
agar bisa membantunya berjalan menuju kantin. Bian merasa aneh, hatinya sakit
saat Pinkan melepaskan tangannya.
---
Malam ini Pinkan diundang makan
malam dirumah Bian oleh Bunda dan juga Ayah. Kedua orang tua Bian khawatir
dengan Pinkan yang sendirian di rumah, apalagi setelah Bian cerita tentang
Pinkan yang tadi siang pingsan disekolahan makin membuat Bunda khawatir
sangat-sangat.
“Bunda sama Ayah sudah nungguin
lo tuh”, Bian nyamperin Pinkan di rumah Pinkan.
Pinkan mengikuti tarikan Bian
berjalan kerumah Bian yang tepat berada diseberang rumah Pinkan. Mereka masuk
bersama-sama kerumah Bian dengan pintu yang tadi masih terbuka lebar. Mereka
berdua berjalan langsung menuju tempat makan disana sudah menunggu Bunda dan
Ayah.
Dan makan malam kali inipun
dimulai. Wajah Pinkan berbinar karena merasa senang bisa menikmati kehangatan
sebuah keluarga seperti ini walaupun ini bukan keluarganya yang sebenarnya. Sejenak
dia bisa melupaka beban hidupnya yang terbilang cukup berat, karena dia harus
menghadapi kedua orang tuanya yang lebih sering bertengkar dari pada bersikap
baik satu sama lain.
Bian juga senang melihat Pinkan
makan malam bersama dengan keluarganya, Bian merasa nyaman dan tenang ketika
Pinkan ada didekatnya. Pinkan dan Bian nggak sengaja bertemu pandang, jantung
keduanya berdegup dua kali lebih cepat lalu keduanya berusaha memperlihatkan
seulas senyum lalu kembali menikmati makanan.
Akhirnya selesai dengan makan
malam mereka juga. Dilanjutkan dengan nonton tivi bersama, acara komedi malam
jam 8 yang setia tayang di Trans 7 apalagi kalau bukan OVJ. (aku suka nonton
ini-red). Ayah, Bunda dan Pinkan duduk sejajar disofa panjang didepan televisi,
sedangkan Bian duduk sendirian di karpet sambil rambutnya di elus-elus Bunda.
Malam ini Sule lagi lucu-lucunya,
membuat mereka semua tertawa lepas, termasuk Pinkan yang belum pernah seperti
ini. Pinkan sudah seperti anak sendiri, dia diperlakukan istimewa disitu bak
anak kandungnya Bunda dan Ayah.
Tiba-tiba ada yang memencet bel
rumah, Bian bergegas membukakan pintu.
“Biar Bian aja”, ucap Bian yang
kemudian berjalan pergi.
Bian membuka pintu rumahnya dan
nampaklah Vina yang datang membawa sekotak besar pizza, “Temenin gue makan”,
ucap manja Vina.
Kali ini Vina makin berani untuk
terang-terangan menunjukkan bahwa dia sangat menyukai Bian. Bian bingung untuk
menghadapi cewek yang satu itu, Bian menyuruh Vina masuk dan duduk di ruang
tamu. Dari dalam terdengar suara tertawa Bunda, Ayah dan tentu saja Pinkan.
“Didalem kok rame banget? Ada apa
ya?”, tanya Vina penasaran.
Bian mengibaskan tangannya, “Nggak
ada apa-apa, mereka cuma lagi nonton OVJ”, jawab Bian jujur.
“Owh”, desah Vina, “Yuk kita
makan”, ajak Vina sambil membuka kotak pizza itu dan juga membuka hidangan dan
minuman.
Lalu Bian menggelengkan kepalanya
sambil mengelus-elus perutnya yang kenyang, “Gue baru aja selesai makan”, ucap
Bian menolak.
Tapi Vina terus memaksa dan
akhirnya dia ikut makan juga. Bunda, Ayah, dan Pinkan asyik dengan kegiatan
mereka yaitu menonton televisi.
Satu jam kemudian.
“Hoooaaam”, Pinkan mulai menguap,
lalu dia bangkit dari tempat duduknya, “Pinkan pamit pulang, sudah ngantuk
banget”, pamit Pinkan.
Tapi buru-buru Bunda
menghalanginya, “Kamu tidur disini aja, Bunda khawatir ninggalin kamu sendirian
disana. Kamu tidur disini aja ya, kamu bisa tidur di kamarnya Bian lagi”, pinta
Bunda walaupun kedengarannya sedikit memaksa.
Dengan terpaksa karena nggak enak
dengan Bunda, Pinkan akhirnya setuju untuk tinggal malam ini dirumah Bian.
Bunda mengantarkan Pinkan menuju kamar Bian, meninggalkan Ayah nonton tivi
sendirian.
Setelah mengantarkan Pinkan
tidur, Bunda turun untuk menemui Bian.
“Eh ada Vina. Kok kamu nggak
bilang-bilang sih”, ucap Bunda ramah.
Keduanya bercipika-cipiki.
“Selamat malam tante”, sapa Vina
manis.
Setelah mengobrol sedikit Bunda
akhirnya mengungkapkan keperluannya yang sebenarnya, “Oh ya, Pinkan malam ini
tidur di kamar kamu. Tolong kamu kunciin dulu rumah Pinkan, ini kuncinya”, ucap
Bunda sambil menyerahkan kunci rumah Pinkan pada Bian.
Mendengar perkataan Bunda itu
membuat emosi Vina jadi naik, dia makin benci sama Pinkan.
To Be Continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar