Something Called
Love – Part 18
“Lo nungguin siapa?”, tanya Kevin
saat sudah berhadapan dengan Bian.
Bian mengangkat dagunya menunjuk
kearah Pinkan. “Gue nungguin dia”, ucap Bian singkat.
Pinkan lagi-lagi mendengus payah,
hari yang nggak menyenangkan baginya. Bian memberikan helm pink pada Pinkan
yang sudah memakai jaket faforitnya. Kedua mata mereka nggak lantas bertemu
pandang, ada perasaan acuh diantara mereka saat ini.
“Rumah kalian searah?”, tanya
Kevin yang notabene anak baru jadi belum tahu apa-apa.
Bian dan Pinkan nggak menjawab
apa-apa. Melihat salah satu diantara Bian dan Pinkan nggak ada yang menjawab
akhirnya Joni yang bersuara.
“Rumah mereka satu kompleks,
lebih tepatnya rumah mereka bersebrangan”, jawab Joni sambil menepuk pundak
Kevin.
“Owh”, gumam Kevin mengerti, “Kalau
gitu sekarang juga gue main kerumah lo ya”, ucap Kevin sambil merangkul Bian.
Bian-pun mengangguk saja sambil
memasang jaketnya, “Boleh aja”, jawab Bian ringan.
“Nah, sekalian gue main juga
kerumah Pinkan”, lanjut Kevin mengutarakan niat lainnya.
Wajah Bian berubah agak aneh tapi
dia nggak berkomentar apa-apa, sedangkan Pinkan bersikap biasa aja dia malas
untuk terlalu menanggapi situasi seperti ini. Dia mendengus lagi. Joni akhirnya
pamit pulang duluan dan setelah Joni pergi Pinkan merasakan hp yang ada dalam
genggamannya itu bergetar hebat, ternyata ada telfon dari Papah.
“Hallo sayang. Kamu masih
disekolah atau sudah dirumah?”, tanya Papah bersemangat.
“Masih disekolah Pah, ini masih
di parkiran”, jawab Pinkan sambil menenteng helm-nya.
“Kebetulan, Papah tadi beli
makanan untuk lembur dan lewat sekolahan kamu. Papah berhenti aja berharap kamu
belum pulang”, ucap Papah lebih bersemangat, “Papah anterin kamu pulang ya,
Papah juga sudah beliin buat makan siang kamu”, lanjut Papah sambil melirik ke
jok tengah mobil tempat dia menyimpan pizza ukuran besar untuk Pinkan.
Pinkan mengangguk senang, “Ok
Pah. Pinkan mau kesitu, Papah di depan sekolahan kan?.... Tungguin sebentar ya
Pah.... Ya, nggak lama kok”, Pinkan menutup hp-nya.
“Papah lo njemput?”, tanya Bian
yang akhirnya bersuara juga pada Pinkan.
Tentu Pinkan mengangguk, “Iya. Gue
pulang sama Papah ya. Gue nitip ini, besok kita berangkat bareng lagi kan?”,
ucap Pinkan penuh harap dalam setiap kata-katanya itu.
Bian meraih helm pink si Pinky
lalu mengangguk ringan sebagai ganti jawaban iya dari Bian.
Baru saja Bian memegang helm pink
Pinkan, Kevin lalu mencoba merebutnya sebelum Pinkan berjalan pergi.
“Besok gantian gue yang jemput lo
ya? Kita berangkat bareng”, ucap Kevin percaya diri.
Lagi-lagi Bian hanya bisa diam,
melihat Bian tanpa ekspresi Pinkan hanya tersenyum dan mengangguk ringan,
padahal dalam hatinya dia berharap agar Bian menepis kalimat Kevin tapi itu
semua hanya harapan Pinkan. Helm pinknya sudah dalam dekapan Kevin. Lalu Pinkan
berlalu untuk pergi ke Papahnya yang sudah menunggu.
Bian yang hendak memakai helm
dihentikan oleh Kevin yang merangkulnya sambil tersenyum dengan terus melihat
Pinkan yang makin berjalan menjauh.
“Lo nggak suka sama Pinkan kan?”,
tanya Kevin tanpa basa basi.
“Kenapa lo tanya gitu?”, Bian
balik bertanya dengan sorot mata tajam.
“Kayaknya gue jatuh cinta sama
Pinkan”, ucap Kevin tulus, lalu menoleh kearah Bian, “Lo jangan sampai suka
sama dia juga ya”, ucap Kevin tegas sambil menepuk-nepuk punggung Bian.
Kedua mata Bian berubah besar
seperti akan keluar karena terkejut mendengar pernyataan dari Kevin. Hatinya
benar-benar sesak, melihat Kevin sahabatnya ini sedang menatap Pinkan yang
mulai tak nampak. Kenapa dia merasa nggak rela saat Kevin menyuruhnya untuk
nggak menyukai Pinkan? Bian merasa posisinya sulit kali ini, sahabatnya
mencintai cewek yang mungkin sekarang sudah merasuk dalam hatinya.
Kevin menepuk pungguk Bian untuk
kesekian kalinya lalu melepaskannya dan pamit masuk kedalam mobilnya yang
terparkir disamping motor Bian. Dengan pikiran dan hati yang kacau ini Bian
lalu memakai helm-nya san menstarter motor sport warna hitam legamnya itu dan
berjalan mengendarai motor itu pulang kerumah, dibelakangnya Kevin mengikuti
bak penguntit agar tahu dimana rumah Bian dan juga rumah Pinkan agar besok dia
bisa menjemput Pinkan.
“Papah beli apa aja?”, tanya
Pinkan sambil melongok ke belakang tempat duduknya.
Papah tersenyum sedikit melirik
pada Pinkan, “Pizza ukuran besar dengan toping faforit kamu, milkshake juga
ada, sama pasta, cukup kan? Atau kurang?”, ledek Papah.
Pinkan tertawa ringan, “Ini malah
berlebih Pah, mana kuat Pinkan makan semua itu sendirian”, timpal Pinkan.
“Tapi kan ada cowok depan rumah
yang bisa bantu kamu makan kan”, ledek Papah lagi.
“Ah cowok siapa Pah?”, tanya
Pinkan pura-pura nggak tahu apa maksud Papah.
Papah tersenyum lebar, “Halah,
nggak usah belaga nggak tahu. Bian pasti mau kok nemenin kamu makan semua itu”,
lanjut Papah terang-terangan.
“Apasih Papah. Sok tahu!”, tukas
Pinkan sambil melipat kedua tangannya.
Suasanya yang menyenangkan,
Pinkan bisa tertawa dengan Papahnya karena membahas tentang Bian. Tapi sedetik
kemudian dia teringat Bian yang sepertinya acuh terhadapanya, Pinkan mengira
sepertinya Bian nggak mempunyai rasa yang sama dengan apa yang dia rasakan pada
Bian. degup jantung dua kali lebih cepat, merasa nyaman didekatnya, merasa
terlindungi, dan masih banyak rasa-rasa lain yang sering Pinkan rasakan saat
bersama dengan Bian.
“Apa dia nggak ngerasain itu
semua?”, celetuk Pinkan lirih.
Tapi samar-samar Papah
mendengarnya, “Apa? Kamu tadi bilang apa?”, tanya Papah.
Cepat-cepat Pinkan menggelengkan
kepalanya lalu mengibas-ngibaskan tangannya, “Nggak kok, Pinkan nggak ngomong
apa-apa”, sangkal Pinkan berbohong.
---
Nonton tivi sendirian sambil
ngemil, malam yang nggak bersemangat bagi Pinkan. Dari tadi dia sudah
menghabiskan beberapa bungkus kripik singkong kesukaannya, dan dia belum merasa
kenyang. Lalu dipegangnya perut sambil mendengus mengeluh lapar. Dia malas
memasak, bosan dengan makanan yang ada dirumahnya.
Lalu dimatikan saja tivi yang
sudah beberapa jam menemaninya menghabiskan malam. Dia berjalan menuju pintu
rumahny lalu memutar gagang pintu dan membukanya, Pinkan keluar dari rumah
tanpa menutup kembali pintu rumahnya. Dia berjalan ke pintu pagar rumahnya dan
berdiri sambil melihat kesekeliling yang sudah mulai sepi.
Tapi ada suara yang membuatnya
tersenyum senang. Suara dentingan sendok yang dipukulkan pada sebuah mangkok,
menghasilkan suara yang khas.
“Kalau bukan bakso pasti mie ayam
nih”, ucap Pinkan mencoba menerka.
Dia melongok kearah kanan
rumahnya dan benar saja, sebuah gerobak mie ayam sedang berjalan kearahnya. Perutnya
yang sudah kelaparan makin menjadi mendengar bunyi-bunyian itu yang makin
mendekat dan makin mendekat lagi. Dan nggak butuh waktu lama gerobak mie ayam
itu akhirnya sampai juga dihadapannya.
“Mie ayamnya satu mangkok ya mang”,
ucap Pinkan memesan.
Penjual mie ayam tentu mengangguk
dan tersenyum senang, “Tunggu sebentar ya non. Ini silahkan duduk dulu”, ucap
penjual mie ayam sambil menawarkan kursi plastik yang diambilnya dari atas
gerobak.
Pinkan menggelengkan kepalanya, “Duduk
di aspal aja mang”, jawab Pinkan lalu duduk ditengah jalan.
“Gue juga satu mangkok mang”,
suara yang muncul tiba-tiba dari samping Pinkan.
Mamang penjual mie ayam
mengiyakan, Pinkan menoleh dan melihat Bian yang hendak duduk disampingnya. Dan
akhirnya mereka berdua duduk berdua setelah beberapa lama nggak seperti itu. Bian
mendengus mencoba menyembunyikan rasa gugupnya dekat dengan Pinkan. Pinkan juga
mendesah sambil melihat bintang agar merilekskan jantunya yang mulai berdebar
nggak beraturan.
Mie ayam yang mereka pesanpun
datang, saatnya untuk menikmati malam ini ditemani mie ayam yang menghangatkan.
“Mang sambelnya kurang!”, gerutu
Pinkan saat melihat sedikit sambal di mie ayamnya.
Bian sepertinya akan berkomentar
tapi dengan cepat Pinkan bisa menebaknya.
“Nggak usah komentar!”, tukas
Pinkan cepat.
Bian tersenyum geli dan
memberikan sedikit sambelnya pada Pinkan, tapi belum cukup bagi Pinkan jadi dia
menambah satu sendok makan sambel dari mangkok sambal yang mamang antarkan
padanya.
“Biar Mamang tinggal keliling
dulu ya, kalian nikmati aja makanannya”, pamit penjual mie ayam.
Masih mengunyah mie ayamnya, “Bayarnya
gimana? Ini mangkoknya?”, tanya Pinkan.
“Berangkat dan pulangnya si
mamang selalu lewat sini, nggak perlu khawatir”, timpal Bian sambil menyikut
Pinkan yang ada disebelahnya.
“Tenang aja non. Nanti mamang
bakalan balik lagi”, pamit lagi.
Dan Pinkan sekarang berduaan saja
dengan Bian makan mie ayam sama-sama di bawah langit yang gelap. Pinkan sama
sekali nggak terlihat kepedasan dengan makanan yang dia santap, begitu juga
dengan Bian yang memang hanya menggunakan sedikit sambal.
“Besok lo dijemput Kevin ya. Gue
berangkat sendiri”, ucap Bian disela-sela makannya. “Dia itu cowok yang baik”,
lanjut Bian.
Kali ini Pinkan menoleh kearah
Bian, “Gue lagi nggak mood mbahas soal itu”, gerutu Pinkan.
“Lo marah ya sama gue?”, tanya
Bian.
Pinkan diam saja, dia ogah
menjawab pertanyaan Bian itu. Paling ujung-ujungnya dia minta maaf, lagian
Pinkan juga nggak tahu kalau sebenarnya Bian itu bersalah atau tidak. Pinkan
juga nggak mau menyalahkan siapa-siapa atas bad mood-nya hari ini. Kenapa semua
yang dia harapkan nggak berjalan dengan baik. Pinkan dibuat pusing dengan
keadaan ini.
To Be Continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar