•☺• Selamat Datang di Rumah Cerita 'Blognya mahasiswa TI yang lebih suka menulis cerita' <<<<<•☺•ECHY FACTS•☺•>>>>> Gue suka FC Barcelona •☺• Golongan darah gue A •☺• Lebih suka film genre Thriler daripada Horror •☺• Jangan lupa follow twitter Echy @cieEchy •☺• Echy itu Mandiri dalam arti sebenarnya dan juga dalam arti mandi sendiri •☺• Pengin punya Apartemen, moga kesampean #AMIN •☺• Penampilan Kampungan Wawasan Internasional •☺• Lebih suka ngelamun daripada ngelantur •☺•

Minggu, 18 Desember 2011

Something Called Love - Part 18


Something Called Love – Part 18
“Lo nungguin siapa?”, tanya Kevin saat sudah berhadapan dengan Bian.
Bian mengangkat dagunya menunjuk kearah Pinkan. “Gue nungguin dia”, ucap Bian singkat.
Pinkan lagi-lagi mendengus payah, hari yang nggak menyenangkan baginya. Bian memberikan helm pink pada Pinkan yang sudah memakai jaket faforitnya. Kedua mata mereka nggak lantas bertemu pandang, ada perasaan acuh diantara mereka saat ini.
“Rumah kalian searah?”, tanya Kevin yang notabene anak baru jadi belum tahu apa-apa.
Bian dan Pinkan nggak menjawab apa-apa. Melihat salah satu diantara Bian dan Pinkan nggak ada yang menjawab akhirnya Joni yang bersuara.

“Rumah mereka satu kompleks, lebih tepatnya rumah mereka bersebrangan”, jawab Joni sambil menepuk pundak Kevin.
“Owh”, gumam Kevin mengerti, “Kalau gitu sekarang juga gue main kerumah lo ya”, ucap Kevin sambil merangkul Bian.
Bian-pun mengangguk saja sambil memasang jaketnya, “Boleh aja”, jawab Bian ringan.
“Nah, sekalian gue main juga kerumah Pinkan”, lanjut Kevin mengutarakan niat lainnya.
Wajah Bian berubah agak aneh tapi dia nggak berkomentar apa-apa, sedangkan Pinkan bersikap biasa aja dia malas untuk terlalu menanggapi situasi seperti ini. Dia mendengus lagi. Joni akhirnya pamit pulang duluan dan setelah Joni pergi Pinkan merasakan hp yang ada dalam genggamannya itu bergetar hebat, ternyata ada telfon dari Papah.
“Hallo sayang. Kamu masih disekolah atau sudah dirumah?”, tanya Papah bersemangat.
“Masih disekolah Pah, ini masih di parkiran”, jawab Pinkan sambil menenteng helm-nya.
“Kebetulan, Papah tadi beli makanan untuk lembur dan lewat sekolahan kamu. Papah berhenti aja berharap kamu belum pulang”, ucap Papah lebih bersemangat, “Papah anterin kamu pulang ya, Papah juga sudah beliin buat makan siang kamu”, lanjut Papah sambil melirik ke jok tengah mobil tempat dia menyimpan pizza ukuran besar untuk Pinkan.
Pinkan mengangguk senang, “Ok Pah. Pinkan mau kesitu, Papah di depan sekolahan kan?.... Tungguin sebentar ya Pah.... Ya, nggak lama kok”, Pinkan menutup hp-nya.
“Papah lo njemput?”, tanya Bian yang akhirnya bersuara juga pada Pinkan.
Tentu Pinkan mengangguk, “Iya. Gue pulang sama Papah ya. Gue nitip ini, besok kita berangkat bareng lagi kan?”, ucap Pinkan penuh harap dalam setiap kata-katanya itu.
Bian meraih helm pink si Pinky lalu mengangguk ringan sebagai ganti jawaban iya dari Bian.
Baru saja Bian memegang helm pink Pinkan, Kevin lalu mencoba merebutnya sebelum Pinkan berjalan pergi.
“Besok gantian gue yang jemput lo ya? Kita berangkat bareng”, ucap Kevin percaya diri.
Lagi-lagi Bian hanya bisa diam, melihat Bian tanpa ekspresi Pinkan hanya tersenyum dan mengangguk ringan, padahal dalam hatinya dia berharap agar Bian menepis kalimat Kevin tapi itu semua hanya harapan Pinkan. Helm pinknya sudah dalam dekapan Kevin. Lalu Pinkan berlalu untuk pergi ke Papahnya yang sudah menunggu.
Bian yang hendak memakai helm dihentikan oleh Kevin yang merangkulnya sambil tersenyum dengan terus melihat Pinkan yang makin berjalan menjauh.
“Lo nggak suka sama Pinkan kan?”, tanya Kevin tanpa basa basi.
“Kenapa lo tanya gitu?”, Bian balik bertanya dengan sorot mata tajam.
“Kayaknya gue jatuh cinta sama Pinkan”, ucap Kevin tulus, lalu menoleh kearah Bian, “Lo jangan sampai suka sama dia juga ya”, ucap Kevin tegas sambil menepuk-nepuk punggung Bian.
Kedua mata Bian berubah besar seperti akan keluar karena terkejut mendengar pernyataan dari Kevin. Hatinya benar-benar sesak, melihat Kevin sahabatnya ini sedang menatap Pinkan yang mulai tak nampak. Kenapa dia merasa nggak rela saat Kevin menyuruhnya untuk nggak menyukai Pinkan? Bian merasa posisinya sulit kali ini, sahabatnya mencintai cewek yang mungkin sekarang sudah merasuk dalam hatinya.
Kevin menepuk pungguk Bian untuk kesekian kalinya lalu melepaskannya dan pamit masuk kedalam mobilnya yang terparkir disamping motor Bian. Dengan pikiran dan hati yang kacau ini Bian lalu memakai helm-nya san menstarter motor sport warna hitam legamnya itu dan berjalan mengendarai motor itu pulang kerumah, dibelakangnya Kevin mengikuti bak penguntit agar tahu dimana rumah Bian dan juga rumah Pinkan agar besok dia bisa menjemput Pinkan.
“Papah beli apa aja?”, tanya Pinkan sambil melongok ke belakang tempat duduknya.
Papah tersenyum sedikit melirik pada Pinkan, “Pizza ukuran besar dengan toping faforit kamu, milkshake juga ada, sama pasta, cukup kan? Atau kurang?”, ledek Papah.
Pinkan tertawa ringan, “Ini malah berlebih Pah, mana kuat Pinkan makan semua itu sendirian”, timpal Pinkan.
“Tapi kan ada cowok depan rumah yang bisa bantu kamu makan kan”, ledek Papah lagi.
“Ah cowok siapa Pah?”, tanya Pinkan pura-pura nggak tahu apa maksud Papah.
Papah tersenyum lebar, “Halah, nggak usah belaga nggak tahu. Bian pasti mau kok nemenin kamu makan semua itu”, lanjut Papah terang-terangan.
“Apasih Papah. Sok tahu!”, tukas Pinkan sambil melipat kedua tangannya.
Suasanya yang menyenangkan, Pinkan bisa tertawa dengan Papahnya karena membahas tentang Bian. Tapi sedetik kemudian dia teringat Bian yang sepertinya acuh terhadapanya, Pinkan mengira sepertinya Bian nggak mempunyai rasa yang sama dengan apa yang dia rasakan pada Bian. degup jantung dua kali lebih cepat, merasa nyaman didekatnya, merasa terlindungi, dan masih banyak rasa-rasa lain yang sering Pinkan rasakan saat bersama dengan Bian.
“Apa dia nggak ngerasain itu semua?”, celetuk Pinkan lirih.
Tapi samar-samar Papah mendengarnya, “Apa? Kamu tadi bilang apa?”, tanya Papah.
Cepat-cepat Pinkan menggelengkan kepalanya lalu mengibas-ngibaskan tangannya, “Nggak kok, Pinkan nggak ngomong apa-apa”, sangkal Pinkan berbohong.
---
Nonton tivi sendirian sambil ngemil, malam yang nggak bersemangat bagi Pinkan. Dari tadi dia sudah menghabiskan beberapa bungkus kripik singkong kesukaannya, dan dia belum merasa kenyang. Lalu dipegangnya perut sambil mendengus mengeluh lapar. Dia malas memasak, bosan dengan makanan yang ada dirumahnya.
Lalu dimatikan saja tivi yang sudah beberapa jam menemaninya menghabiskan malam. Dia berjalan menuju pintu rumahny lalu memutar gagang pintu dan membukanya, Pinkan keluar dari rumah tanpa menutup kembali pintu rumahnya. Dia berjalan ke pintu pagar rumahnya dan berdiri sambil melihat kesekeliling yang sudah mulai sepi.
Tapi ada suara yang membuatnya tersenyum senang. Suara dentingan sendok yang dipukulkan pada sebuah mangkok, menghasilkan suara yang khas.
“Kalau bukan bakso pasti mie ayam nih”, ucap Pinkan mencoba menerka.
Dia melongok kearah kanan rumahnya dan benar saja, sebuah gerobak mie ayam sedang berjalan kearahnya. Perutnya yang sudah kelaparan makin menjadi mendengar bunyi-bunyian itu yang makin mendekat dan makin mendekat lagi. Dan nggak butuh waktu lama gerobak mie ayam itu akhirnya sampai juga dihadapannya.
“Mie ayamnya satu mangkok ya mang”, ucap Pinkan memesan.
Penjual mie ayam tentu mengangguk dan tersenyum senang, “Tunggu sebentar ya non. Ini silahkan duduk dulu”, ucap penjual mie ayam sambil menawarkan kursi plastik yang diambilnya dari atas gerobak.
Pinkan menggelengkan kepalanya, “Duduk di aspal aja mang”, jawab Pinkan lalu duduk ditengah jalan.
“Gue juga satu mangkok mang”, suara yang muncul tiba-tiba dari samping Pinkan.
Mamang penjual mie ayam mengiyakan, Pinkan menoleh dan melihat Bian yang hendak duduk disampingnya. Dan akhirnya mereka berdua duduk berdua setelah beberapa lama nggak seperti itu. Bian mendengus mencoba menyembunyikan rasa gugupnya dekat dengan Pinkan. Pinkan juga mendesah sambil melihat bintang agar merilekskan jantunya yang mulai berdebar nggak beraturan.
Mie ayam yang mereka pesanpun datang, saatnya untuk menikmati malam ini ditemani mie ayam yang menghangatkan.
“Mang sambelnya kurang!”, gerutu Pinkan saat melihat sedikit sambal di mie ayamnya.
Bian sepertinya akan berkomentar tapi dengan cepat Pinkan bisa menebaknya.
“Nggak usah komentar!”, tukas Pinkan cepat.
Bian tersenyum geli dan memberikan sedikit sambelnya pada Pinkan, tapi belum cukup bagi Pinkan jadi dia menambah satu sendok makan sambel dari mangkok sambal yang mamang antarkan padanya.
“Biar Mamang tinggal keliling dulu ya, kalian nikmati aja makanannya”, pamit penjual mie ayam.
Masih mengunyah mie ayamnya, “Bayarnya gimana? Ini mangkoknya?”, tanya Pinkan.
“Berangkat dan pulangnya si mamang selalu lewat sini, nggak perlu khawatir”, timpal Bian sambil menyikut Pinkan yang ada disebelahnya.
“Tenang aja non. Nanti mamang bakalan balik lagi”, pamit lagi.
Dan Pinkan sekarang berduaan saja dengan Bian makan mie ayam sama-sama di bawah langit yang gelap. Pinkan sama sekali nggak terlihat kepedasan dengan makanan yang dia santap, begitu juga dengan Bian yang memang hanya menggunakan sedikit sambal.
“Besok lo dijemput Kevin ya. Gue berangkat sendiri”, ucap Bian disela-sela makannya. “Dia itu cowok yang baik”, lanjut Bian.
Kali ini Pinkan menoleh kearah Bian, “Gue lagi nggak mood mbahas soal itu”, gerutu Pinkan.
“Lo marah ya sama gue?”, tanya Bian.
Pinkan diam saja, dia ogah menjawab pertanyaan Bian itu. Paling ujung-ujungnya dia minta maaf, lagian Pinkan juga nggak tahu kalau sebenarnya Bian itu bersalah atau tidak. Pinkan juga nggak mau menyalahkan siapa-siapa atas bad mood-nya hari ini. Kenapa semua yang dia harapkan nggak berjalan dengan baik. Pinkan dibuat pusing dengan keadaan ini.
To Be Continued....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...