Something Called
Love – Part 14
Vina terlihat terburu-buru keluar
dari kamar hotelnya, sepertinya ada hal genting. Bian dan Joni baru lima menit
yang lalu masuk ke kamar mereka tapi langsung di ganggu lagi oleh ketukan pintu
dan bunyi bel dari Vina yang terlihat khawatir.
Bian yang membukakan pintu untuk
Vina.
“Pinkan nggak ada. Pinkan nggak
ada di kamar, Pinkan hilang”, ucap Vina cepat-cepat.
Setidaknya untuk kali ini Vina
peduli sama Pinkan, soalnya dia nggak melihat Pinkan ada dikamar dengan hp
Pinkan yang tergeletak begitu saja dimeja.
“Gue sudah cari kemana-mana,
kamar mandi, balkon, sampai ke koridor-koridor tapi gue nggak nemuin dimana
Pinkan”, ucap Vina khawatir.
Tentu saja membuat Bian khawatir
juga, langsung dia bergegas keluar, berlari menyusuri lorong-lorong hotel untuk
mencari Pinkan. Lalu dia turun ke lantai satu untuk bertanya pada resepsionis
tentang Pinkan, apa mereka melihat Pinkan atau tidak.
“Permisi mba, apa salah satu
temen cewek saya keluar dari hotel ini”, ucap Bian terburu-buru.
Mba-mba resepsionis itu menjawab
dengan teratur setelah memperhatikan wajah Bian, “Memang benar, tadi dia minta
dipesankan taksi untuk mengantarnya jalan-jalan”, jawab mba itu ramah.
Tiba-tiba ada yang menepuk pundak
Bian dengan cukup keras, “Ngapain lo disini?”, terdengar suara seorang cewek.
Bian-pun langsung berbalik badan
dan terkejut melihat siapa yang ada didepannya sekarang, kedua matanya melolo
karena terkejut, bukan hantu bukan hal-hal aneh lainnya yang dia lihat tapi
Pinkan dengan satu tangannya penuh menjinjing barang-barang belanjaan hasil
petualangannya malam ini.
“Lo kemana aja? Lo sengaja pengin
bikin kita semua khawatir? Hah! Lo tuh nggak pernah mikir ya”, ucap Bian ketus
pada Pinkan.
Nyali Pinkan menciut, dia diam,
matanya sedikit berkaca-kaca.
“Kita ini liburan sama-sama, bukan
cuman lo doang yang liburan dan yang lain sibuk nyari-nyari lo. Lo tuh bisanya
cuma ngrepotin aja!”, ucap Bian keras lalu pergi meninggalkan Pinkan yang masih
di lobby.
Mata para petugas dan beberapa
pengunjung hotel tertuju pada Pinkan seorang yang tadi dimarahi oleh Bian. Tapi
Pinkan mencoba bersikap biasa saja, dia berjalan menuju reseptionis dengan
langkah kecil. Dia berdiri tepat didepan petugas hotel yang tadi ditanyai oleh
Bian tentang menghilangnya dirinya.
“Disa tolong pesankan taksi lagi
untuk saya”, ucap Pinkan sopan.
Petugasnyapun mengangguk, “Tunggu
sebentar”, ucapnya singkat mulai mengangkat gagang telfon untuk memesan taksi.
Dan benar, nggak lama kemudian
taksi sudah datang, petugas itu memberi tahu Pinkan yang duduk sendirian di
lobby. Bian, Jony, dan Vina ada dikamar mereka masing-masing, Bian menyuruh
nggak mempedulikan Pinkan yang egois dan kekanak-kanakan itu.
Pinkan masuk kedalam taksi duduk
dengan barang-barang belanjaannya yang kebanyakan oleh-oleh khas sini, “Ke
stasiun pak”, ucap Pinkan ringan.
“Baik mba”, ucap pak supir yang
belum terlalu tua tersebut.
Malam ini juga Pinkan ingin
pulang lagi ke Jakarta, ternyata ide liburan ini nggak sebaik yang dia kira. Dia
juga menitip pesan pada petugas hotel agar besok semua barang-barangnya yang
masih ada dikamar segera di beresin lalu di paketin ke alamat rumah yang telah
dia kasih tadi.
Kedua mata Pinkan masih sedikit
berkaca-kaca, dia nggak mau menangis karena menurut dia itu nggak ada baiknya
buat dia. Dia masih terngiang-ngiang kata-kata Bian yang membuat hatinya sakit,
kenapa Bian jadi aneh seperti itu? Apa sebenarnya kesalahan yang ada pada diri
Pinkan, Pinkan-pun nggak tahu.
Dikamar hotel, Bian nggak bisa
tidur karena hatinya yang nggak bisa tenang, dia heran kenapa dari tadi seperti
ini. Dia juga merasa bersalah karena telah memarahi Pinkan yang sebenarnya
nggak salah, itu semua karena Bian yang terlalu mengkhawatirkan Pinkan, takut
Pinkan kenapa-kenapa. Tapi entah kenapa semuanya jadi runyam seperti ini, niat
Bian bukan memarahi Pinkan.
“Gue terlalu bodoh dalam hal ini!”,
ucapnya lirih.
Joni yang sudah tertidur nggak
akan mungkin mendengarnya. Bian merubah posisi tidurnya menjadi terlentang dan
menindihi kepalanya dengan tangan kanannya yang ditekuk, dia masih memikirkan
Pinkan dia merasa bersalah tapi terlalu sulit untuknya meminta maaf, karena
sikapnya yang terlanjur kasar tadi.
“Ahhh!!”, gerutu Bian kesal
sambil mengacak-acak rambutnya.
Pinkan antri membeli tiket kereta
tujuan Jakarta, untung saja ada kelas eksekutif pula. Dan nggak perlu waktu
lama untuk menunggu, kereta yang akan membawanya pulang akhirnya datang juga,
saatnya Pinkan untuk naik bersama penumpang lainnya. Sempat dia menoleh
kebelakang berharap ada Bian tapi stasiun malam itu sepi jarang ada orang.
Penumpang kereta malam itu nggak
terlalu banyak, Pinkan duduk sendirian tanpa ada orang disamping tempat
duduknya, tapi itu bukan suatu masalah baginya. Setelah menata semua
barang-barang belanjaannya dia mulai memasangkan ear phone dalam telinganya
lalu mendengarkan musik sambil menutup matanya mencoba untuk tidur. Dia capek
sekali hari ini, perjalanan yang cukup melelahkan untuknya.
Pagi ini mentari bersinar cukup
cerah, Vina yang masih tertidur sedikit terganggu dengan suara ketukan pintu. Ternyata
setelah ia membukanya ada petugas yang akan mengambil barang-barang Pinkan,
karena pagi ini juga akan di kemas dan dikirim ke Jakarta.
Dengan masih memakai baju
tidurnya, dengan rambut yang masih acak-acakan pula Vina terbengong melihat
para petugas yang bekerja sangat cepat dan nggak lama kemudian para petugas
pamit keluar dengan membawa barang-barang Pinkan.
“Jangan-jangan Pinkan sudah
pulang duluan tadi malam, makanya gue tunggu-tunggu dikamar sampai ketiduran
dia tetep nggak datang”, gumam Vina baru menyadari.
Cepat-cepat dia keluar dari kamar
untuk pergi ke kamar Bian dan Joni, tapi kemudian dia berfikir lagi nggak
mungkin dia terlihat berantakan setelah tidur dihadapan Bian, jadi dia
memutuskan untuk mandi dulu baru pergi untuk memberitahu Bian dan Joni tentang
Pinkan yang sudah pulang duluan.
“Bian, Joni ayo cepet buka
pintunya”, ucap Vina keras.
Dan nggak lama kemudian pintu
terbuka Vina melihat Bian dan Joni yang acak-acakan karena baru bangun tidur.
“Ada apa?”, tanya Joni sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali nggak gatal.
“Pinkan. Pinkan sudah pulang ke
Jakarta”, ucap Vina cepat.
“Apa?!”, tanya Bian dan Joni
bersamaan.
Tapi Vina langsung mencoba
menjelaskan semuanya, dia juga sudah tanya sama reseptionis kalau memang Pinkan
tadi malam pesan taksi untuk mengantarkannya ke stasiun karena dia ingin pulang
ke Jakarta. Vina juga menunjukkan hp Pinkan yang tertinggal di kamar dari
kemarin, semua barang-barang Pinkan juga sudah dipaketkan kilat menuju Jakarta
dan akan sampai nanti sore.
Tapi kemudian Bian bersikap biasa
kembali, “Biarin aja dia pulang duluan, kita pulang nanti sore saja, kita harus
tetap menikmati liburan”, ucap Bian sambil berlalu masuk kekamarnya lagi.
Joni dan Vina langsung bertemu
pandang keheranan mendengar ucapan Bian tadi.
“Sudah, lo balik ke kamar lo dulu
sana”, usip halus Joni pada Vina.
Tanpa membalas apa-apa, Vina
langsung berjalan kembali kekamarnya. Sedangkan Bian sekarang meraih handuk
lalu masuk ke kamar mandi. Setelah dia berada sendirian didalam sana dia
merogoh sakunya mengambil hand phone lalu dia memencet beberapa nomor kemudian
meletakkan hp-nya di daun telinga sebelah kanan.
“”Hallo Bunda, apa Bunda lihat
Pinkan dirumahnya?.... oh gitu ya?... Ya sudah, Bian cuma tanya aja.... Nggak
kok, kita nggak ada masalah.... Ya tapi emang kemarin sedikit ada kesalah
pahaman, Bian terlalu keras sama dia.... Iya Bunda, kalau Bian sudah pulang
pasti Bian langsung minta maaf.... Iya, iya, sudah dulu ya Bian mau mandi dulu.
Asslamuallaikum”, ucap Bian yang sudah menutup telfonnya.
Saatnya untuk Bian mandi.
(sensor-red)
Vina sudah dari lima menit yang
lalu menunggu Joni dan Bian datang ke restoran untuk sarapan. Kegiatan hari ini
yang rencananya akan berpetualang ke Baturraden nggak jadi, pagi ini mereka
hunting oleh-oleh dan siangnya mereka harus sudah pulang ke Jakarta, walaupun
liburan mereka masih beberapa minggu lagi, tapi ya sudahlah.
Dan sepuluh menit kemudian Bian
dan Joni datang juga. Mereka sudah tertata rapi dan segar nggak kayak waktu
Vina melihat mereka tadi pagi, mereka berdua masih acak-acakan.
“Gue tadi sudah telfon kerumahnya
Pinkan. Dia sudah ada dirumah, dia baik-baik aja”, ucap Vina setelah menikmati
teh manis hangatnya.
“Syukur deh”, ucap syukur Joni
tulus.
Dalam hati Bian juga ikut
bersyukur walau dia sudah tahu dari Bundanya tadi, tapi ini juga membuatnya
lebih lega dan nggak terlalu khawatir lagi sama Pinkan yang sudah aman dirumah.
To Be Continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar