Part 3
Bukannya mempelajari
berkas-berkas yang Bhara tadi kasih, Erika malah asyik telfon-telfonan sama
Cella. Terang aja Bhara kesal dan langsung merebut hp Erika lalu memutuskan
sambungan telefon itu. Membuat Cella yang ada diseberang tersana sedikit
tersentak.
Erika yang kesal merebut hp-nya
kembali dan berjalan menuju pintu, “Gue pulang aja!”, ucapnya dengan nada ketus
sambil menarik gagang pintu.
Bhara membiarkannya keluar,
karena Bhara akan menelfon Cella.
“Mana Erika?”, tanya Cella pada
Bhara.
Bhara mendesah, “Dia sudah pulang”,
jawabnya singkat, “Oh ya, nanti malam ikut dinner ya. Ada manager baru nih”,
lanjut Bhara bersemangat.
Cella mengangguk-anggukan
kepalanya, “Ok. Jadi manager dari kantor pusat yang tempo hari loe omongin itu
sudah datang?”, lanjut Cella.
“Iya. Sudah dua hari yang lalu
dia sampai disini, dan baru kerja hari ini”, jawab Bhara menjelaskan.
Erika berjalan sendirian menuju
halte bus transjakarta yang terdekat dari kantor kakaknya itu. Dia mencoba
menghubungi Cella lagi tapi nggak bisa, telfon Cella sibuk.
“Pasti sekarang dia
telfon-telfonan sama abang gue!”, gerutunya kesal lalu memasukkan hp-nya
kedalam tas.
Dia menaiki sebuah tangga
jembatan penyebrangan. Kembali teringat dengan kata-kata Hera.
“....kalian bertiga wajib bawa
cowok kalian ke acara kawinannya gue!”, ucapan Hera yang masih terngiang-ngiang
di telinga Erika, seperti baru tadi saja diucapkan oleh Hera.
Erika berhenti sejenak dan
menarik nafas panjang lalu menghembuskannya pelan, “Kenapa hidup gue gini
banget?”, keluhnya.
“Aduuh”, ada yang menabrak
dirinya.
Dua orang berbadan nggak terlalu
kurus dan nggak terlalu gempal juga menabrak Erika yang sedang melamun.
“Maaf kak, maaf”, ucap keduanya
bersamaan lalu berjalan pergi.
Ada seorang lagi yang yang
menabraknya, kali ini orang itu bertubuh tinggi, berbadan atletis dan
berpakaian rapi. Cowok itu berlari mengejar kedua orang yang menabrak Erika
tadi. Dengan cepat cowok itu menyergap tubuh kedua orang itu dan memuntir
tangan mereka kebelakang.
“Kembalikan dompet dan
handphone-nya!”, teriak cowok itu pada kedua orang yang ditekuk olehnya.
“Ampun mas. Ampun!”, ucap
keduanya memelas.
Erika melihat dompet dan hp-nya
ada ditangan kedua orang yang tadi menabraknya. Lalu dia mencoba mengecek
didalam tasnya. Benar saja, dompet dan hp-nya nggak ada didalam tas. Dengan
cepat dia berlari menghampiri cowok yang memukul kedua copet yang sudah lari
terbirit-birit setelah menyerahkan dompet dan hp itu pada cowok yang
memukulnya.
“Ini punya loe?”, tanya cowok itu
sambil menunjukkan dompet dan hp yang tadi didapatnya.
Erika mengangguk dengan cepat
lalu meraih apa yang menjadi miliknya, “Terima kasih banyak”, ucapnya sambil
menundukkan kepala dengan rasa hormat.
“Sama-sama”, ucap cowok itu
manis. “Lebih hati-hati lagi ya”, lanjut cowok itu yang kemudian beranjak
pergi.
Erika tersenyum senang dompet dan
hp-nya nggak jadi hilang karena cowok itu. Tapi sekarang cowok itu dimana? Erika
melongok kesana kesini untuk mencari sosok cowok yang tadi menolongnya, dan dia
melihat cowok itu berjalan menuruni tangga jembatan penyebrangan menuju halte
bus. Dengan cepat Erika mencoba mengejarnya.
Dia melihat cowok itu yang lagi
antre tiket, Erika juga langsung mengambil posisi. Jarak mereka hanya diantara
lima orang yang juga lagi antre.
Bus-nya datang, semua bergegas
masuk tak terkecuali Erika yang juga dengan cepat sudah ada didalam bus. Tapi
nggak disangka-sangka, nggak ada tempat duduk lain lagi. Dia harus berdiri
sampai ada yang turun dari bus itu, tapi yang membuat dia malas untuk berdiri
karena hanya dia yang nggak mendapatkan tempat duduk.
“Malu gila!”, gerutunya lirih
sambil menutup wajahnya dan memilih menghadap keluar bus.
Orang yang duduk dikursi dekat
pintu bangkit, “Silakan loe aja yang duduk”, ucap cowok itu ramah.
Masih dengan sedikit menutupi
wajahnya, “Terima kasih”, ucap Erika ringan yang kemudian duduk ditempat duduk
yang cowok itu tadi kasih untuknya.
Erika penasaran siapa orang yang
menolongnya itu, lalu dia mencoba mendongakkan kepalanya untuk melihat orang itu.
“Cowok yang tadi”, gumamnya lirih
sedikit terkejut karena melihat cowok yang tadi menolongnya di jembatan
penyebrangan.
Erika memberanikan diri untuk
bangkit dari tempat duduknya dan berdiri disamping cowok itu. Cowok itupun
menoleh, parasnya benar-benar tampan, wajahnya bersih walau nggak terlalu
putih.
“Kenapa berdiri? Halte berikutnya
masih agak jauh”, ucap cowok itu.
Dengan cepat Erika
mengibas-ngibaskan kedua tangannya, “Bukan. Bukan seperti itu”, ucapnya
terburu-buru.
Belum sempat Erika memegang pegangan
di bus, tiba-tiba bus mengerem mendadak karena ada mobil yang menyerobot
jalurnya. Membuat Erika hilang keseimbangan dan hampir jatuh tersungkur kesamping,
tapi dengan cepat kedua tangan cowok itu meraih tubuh Erika dan menariknya
kepelukannya, agar Erika nggak terjatuh.
Semua mata tertuju pada mereka
berdua. Erika yang masih syok belum bisa menutup mulutnya yang menganga, dia
masih dalam posisi dipeluk cowok itu. Tapi setelah beberapa detik mereka
melepaskan pelukan itu dan merapikan pakaian mereka yang sedikit awut-awutan.
Keduanya bertemu pandang, awalnya
keduanya membuang muka, tapi setelah bertemu pandang yang kedua mereka
tersenyum menutupi rasa malu, dan yang ketiga mereka tertawa geli atas kejadian
tadi. Membuat orang-orang disekitar mereka menonton mereka.
Sekarang Erika dan cowok itu
berdiri bersama membiarkan satu tempat duduk yang kosong.
“Ini kan bukan jam-nya orang
pulang kantor? Kenapa lo diluar?”, tanya cowok itu yang mengira Erika sudah
bekerja.
Erika kembali mengibaskan
tangannya, kini hanya satu tangannya saja, “Bukan”, tepisnya. “Lagian gue juga
belum kerja, gue baru selesai kuliah. Wisuda aja baru bulan depan”, jawab Erika
panjang walaupun pertanyaannya nggak begitu panjang.
Cowok itu mengangguk, “Jadi lo
lagi nyari kerjaan?”, tanya cowok itu lagi.
Sekarang Erika menggelengkan
kepalanya pelan, “Nggak juga. tadi gue cuman main ke kantor kakak gue”, jawab
Erika ringan.
“Owh”, gumam cowok itu.
“Siapa nama lo?”, benak Erika. Dia
benar-benar ingin menanyakan itu tapi rasanya malu banget. “Andai aja dia jadi
cowok gue. Bakalan gue bawa ke acara kawinannya Hana. Cella sama Rena pasti
ngiri banget!”, batinnya. Nggak sadar Erika memandang kosong kearah cowok itu,
membuat cowok itu mengibas-ngibaskan tangannya didepan wajah Erika agar membuat
Erika tersadar dari lamunannya.
“Lo kenapa?”, tanya cowok itu.
Dengan cepat Erika yang sudah
sadar menggelengkan kepalanya, “Nggak kok. Nggak kenapa-napa”, jawabnya
tergesa-gesa.
Lalu cowok itu mengulurkan tangan
kanannya, “Nama gue Dika”, cowok yang bernama Dika itu mengajak berkenalan.
Lantas Erika menyambut uluran
tangan Dika, dan keduanya bersalaman, “Nama gue Erika”, ucap Erika mencoba
semanis mungkin agar menimbulkan kesan yang baik.
---
Erika sudah rapi dengan baju
tidur berbahan satin berwarna biru muda faforitnya. Dia kecapekan karena
seharian tadia dia membantu Bhara di kantor. Badannya terasa pegal dan nggak
nyaman.
Tapi kemudian dia tersenyum
lebar, “Namanya Dika”, gumamnya sambil tersenyum.
Erika kembali teringat peristiwa
siang tadi, saat dia kecopetan ada seseorang pahlawan yang menolongnya. Kemudian
saat dia nggak mendapatkan tempat duduk dibus. Disaat dia hampir terjatuh, ada
pahlawan yang menariknya masuk kedalam pelukannya. Sungguh sesuatu yang nggak
pernah Erika bayangkan.
Dia merasa malu bukan kepalang,
dengan cepat dia memindahkan bantalnya untuk menutupi wajahnya yang mulai
merona merah karena memikirkan itu semua. Rasanya Erika terpesona pada
pandangan pertama pada cowok yang bernama Dika itu.
Tapi, sedetik kemudian Erika
duduk dengan rambut yang berantakan.
“Tapi gue nggak punya nomer
hp-nya!”, teriaknya keras kemudian mengacak-acak rambutnya sendiri.
Dia lupa memintanya tadi saat
bertemu. Dia terus mengeram karena kesal. Membuat kakaknya yang sudah tidur
dikamarnya menjadi terbangun dan bergegas pergi ke kamar Erika, karena takut
terjadi apa-apa dengan Erika yang harus dia lindungi itu.
“Loe kenapa?”, tanya Bhara
setelah membuka pintu kamar Erika.
Erika terdiam lalu mengalihkan
pandangannya pada Bhara yang diambang pintu. Dia terseringai penuh arti, lalu
tertawa salting.
“Lo kenapa?”, tanya Bhara lagi
sambil berjalan mendekati ranjang Erika.
Erika masih tersenyum, “Nggak
kenapa-napa bang”, ucapnya masih tersenyum.
Dengan cepat Bhara menjitak jidat
Erika yang nggak tertutup poni karena poninya ditarik keatas.
“Aduh!”, gumamnya kesakitan, “Sakit
tahu bang!”, lanjut Erika yang langsung cemberut.
Telunjuk tangan kanan Bhara
mengetuk-ngetuk dahi Erika, “Kalau malem itu tidur. Bukannya malah bikin ribut!
Gue capek!”, gerutu Bhara kesal.
Erika mencoba menghindar tapi
nggak bisa lalu dengan cepat dia meraih tangan kanan kakaknya itu, “Iya, iya,
gue sekarang tidur! Tapi abang keluar dulu dong!”, tukasnya cepat.
Bhara bangkit dan berlalu
kekamarnya.
Erika masih belum bisa tidur, dia
masih teringat dengan cowok yang bernama Dika itu.
“Gue harus ketemu sama dia lagi! Pokoknya
dia harus jadi cowok gue. Gimanapun caranya dia harus menenin gue ke acara
nikahannyaHera!”, ucapnya bersemangat, sangat bersemangat.
Tapi sedetik kemudian dia
terdiam, dia melemas, “Tapi gimana caranya gue bisa ketemu sama Dika lagi?”,
gumamnya lirih.
Nggak butuh waktu lama Erika
sudah bersemangat lagi, ada sesuatu yang melintas dipikirannya, “Ya! Gampang
aja, besok gue naik bus lagi. Di jam yang sama dari halte yang sama. Pasti
ketemu!”, ucapnya optimis.
Lalu membaringkan tubuhnya di
kasur dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Dia harus tidur karena
besok harus berjalan dengan baik dan lancar.
To Be Continued.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar