Keadaan riuh menggambarkan
suasana bandara siang ini. Banyak orang berlalu lalang kesana-kemari dengan
tujuan masing-masing. Semua orang, semua ras, nggak ada bedanya disini,
semuanya berbaur menjadi satu.
Arjuna kecil mengeluarkan sebuah
kalung berbandul bintang perak dan mengalungkannya pada Cilla, dengan senyuman
yang menyungging dari sudut bibirnya yang kecil.
“Jagain kalung ini ya princess
Cilla. Suatu saat nanti pasti Juna pulang buat princess”, Juna kecil tersenyum
sangat manis setelah memasangkan kalung itu di leher Cilla yang sering
dipanggil princess Cilla oleh dirinya.
Cilla mengangguk senang tapi ada
kesedihan yang terpancar dari kedua mata indahnya. Dia nggak mau melepas Arjuna
pergi ke Amerika. Terlihat Cilla kecil mencoba untuk tidak menangis dan tanpa
disangka-sangka sebuah kecupan manis mendarat di pipi kanan Juna.
Keduanya tersenyum sumringah,
anak kecil yang masih polos. Calvin Arjuna Nugraha atau yang biasa dipanggil
Arjuna atau Juna itu sekarang baru berumur 9 tahun. Dan Prisilla Rania Jasmine
atau Cilla atau princess Cilla oleh Juna, dia berumur 7 tahun.
Karena perceraian kedua orang
tuanya, Juna pindah ke Amerika untuk tinggal bersama Mamahnya. Dan adiknya yang
berumur sama dengan Cilla tetap tinggal di Jakarta bersama dengan Om Nugraha,
ayah mereka.
Juna yang berjalan bersama dengan
Mamahnya mulai menjauh dari pandangan Cilla, orang-orang yang berlalu-lalang
dihadapannya juga menghalanginya untuk melihat lambaian tangan dari Arjuna yang
dari tadi masih mengembangkan senyuman perpisahan.
Cilla menarik-narik baju Ayahnya
dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih memegangi bandul kalung
yang Juna pakaikan lehernya tadi.
“Ayah. Bang Juna pulangnya kapan,
Yah?”, Cilla masih mencari-cari sosok Juna yang sekarang sudah nggak terlihat
lagi.
Ayah berlutut dihadapan Cilla
agar tinggi mereka sejajar, “Bang Juna akan pulang secepatnya”, jawab Ayah
sambil memegang kedua pundak anak semata wayangnya itu.
Tapi Cilla nggak puas dengan
jawaban Ayah, dia terus menanyakan kapan Juna akan pulang. Dia berfikir akan
nggak ketemu Juna lagi dalam waktu dekat ini. Dia akan kesepian, nggak punya
teman bermain, nggak memiliki seseorang yang melindunginya dan menyayanginya
seperti Juna padanya.
---
Sepuluh tahun kemudian.
Ayah, Sisil, dan dua anggota
keluarga baru mereka. Tante Santy yang sekarang sudah jadi Mamah baru untuknya
dan Emily saudara perempuan tirinya yang lebih muda satu tahun darinya.
Mereka berempat pindah kerumah
baru yang lebih besar dan tentu saja lebih dekat dengan sekolahan Sisil dan
Emily. Keluarga baru mereka terlihat kompak dan harmonis, walaupun Sisil belum
bisa memanggil istri barunya Ayah dengan sebutan Mamah, tapi Emily sudah
terbiasa memanggil Ayah pada Ayah Sisil.
“Ayah, tante, Sisil beresih kamar
dulu ya”, pamit Sisil ramah.
Setelah Ayah dan istri barunya
mengangguk Sisil bergegas kekamarnya untuk menata perabotan barunya, Emily juga
melakukan hal yang sama. Mereka berdua naik ke lantai dua rumah megah itu lalu
masuk kekamar masing-masing yang saling berhadapan.
Mereka sibuk mendekorasi kamar
yang sesuai dengan keinginan mereka. Kamar Sisil, didominasi dengan warna ungu,
hampir semua perabotan ada unsur-unsur warna ungunya. Koleksi jam tangannya
juga didominasi oleh warna ungu.
Sedangkan Emily lebih menyukai
warna hijau yang sejuk. Sama dengan Sisil, kamar Emily dan perabotannya
bernuansa hijau yang begitu segar.
“Loe kapan pulang Bang?”, tanya
Ardi melalui sambungan telepon internasional.
“Bulan depan gue pulang, dan loe
wajib buat jemput gue di bandara!”, timpal Juna dengan nada sedikit memaksa. “Oh,
ya... Ada kabar nggak tentang Cilla?”, lanjutnya.
Ardi menggelengkan kepala tapi
sesaat kemudian dia tersadar, Juna nggak bakal merespon bahasa tubuhnya itu
karena ini sambungan telepon, “Nggak, gue nggak tahu sekarang dia dimana”,
jawab Ardi dengan nada meyakinkan.
“Lagi masak apa Mah? Baunya
menggoda banget”, Emily yang dari tadi mengikuti bau harum makanan yang dia
cium sekarang dia sudah sampai ke sumbernya.
Mamah Emily tersenyum sambil
terus mengaduk-aduk masakannya, “Masak makanan kesukaan Emily-ku sayang, semur
daging spesial”, jawab Mamah.
Emily terlihat senang sekali,
dengan cepat dia menghampiri Mamahnya dan mulai meminta untuk mencicipi masakan
Mamahnya tersebut.
Dari sisi lain rumah itu Sisil
dapat melihat Emily dan tante Santy yang lagi ada didapur.
“Tapi gue nggak suka semur
daging, gue sukanya ayam goreng”, keluhnya lirih dengan nada begitu memelas.
Dia mencoba menenangkan diri
dengan menggenggam erat bandul kalung yang dia pakai.
Tiba-tiba ada seseorang yang
datang dan membuatnya terkejut, orang itu memegang kuat kedua pundak Sisil dari
belakang. Kontan Sisil membalikkan badannya ternyata Ayah yang ada
dibelakangnya tadi.
“Kita pesen ayam goreng kesukaan
Sisil ya”, ucap Ayah diiringi senyuman yang menenangkan.
Dengan cepat Sisil mengangguk.
Cukup melihat mata Sisil, Ayah
langsung bisa tahu apa yang sedang Sisil rasakan. Ayah juga merasakan ada
sedikit keraguan Sisil dengan keputusan yang dia ambil, yaitu menikahi Santy. Tapi
karena Sisil memberikannya restu, jadi dia berani untuk mengambil keputusan
tersebut.
---
Setelah selesai sarapan, tante
Santy mengantarkan suaminya, Emily, dan Sisil masuk kedalam mobil. Ketiganya
akan berangkat, sedangkan dirinya hanya menjaga rumah.
“Daaah”, mereka bertiga
melanbaikan tangan serempak.
Ayah dan Sisil duduk di depan,
sedangkan Emily dudukdi kursi belakang. Ayah akan mengantarkan mereka berdua ke
SMA Nusantara yang nggak terlalu jauh jaraknya dari rumah mereka.
Nggak sampai setengah jam mereka
sampai di pintu gerbang sekolah yang terbuka lebar. Setelah berpamitan dengan
Ayah, mereka berdua masuk bersama-sama.
“Kak, anterin gue dulu ke kelas
ya”, rengek Emily manja.
Sisil yang baik itu mengangguk
diiringi dengan senyuman. Mereka berdua berjalan bersama menyusuri
lorong-lorong ruang kelas dan berakhir didepan kelas Emily, yaitu kelas X.6
yang berada di lantai tiga gedung sekolahan itu.
“Makasih kak”, ucap Emily manis. “Ntar
kalau istirahat kita kekantin berdua ya”, ajak Emily.
Kembali, Sisil mengangguk, “Ok”,
sambil menyimpulkan jarinya menandakan ok, “Kalau gitu gue ke kelas dulu ya”,
pamit Sisil.
Giliran Emily yang mengangguk, “Hati-hati
kak”.
Sisil melambaikan tangannya dan
berlalu.
Dia kembali turun ke lantai
dasar. Dan sampai di lantai dasar dia lalu lupa dia akan ditempatkan dikelas
yang mana. Sisil mencoba mencari ruang guru untuk bertanya, tapi dari tadi dia
belum menemukannya juga.
Sampai akhirnya, “Braak”. Sisil
nggak sengaja bertabrakan dengan seseorang, menyebabkan buku-buku yang dibawa
oleh orang yang bertabrakan dengannya berserakan di lantai.
“Maaf, maaf, maaf nggak sengaja”,
ucap Sisil menyesal lalu berlutut dilantai dan memunguti buku-buku yang
berserakan di lantai.
Anak cowok yang tadi bertabrakan
dengannya mengamati sosok cewek yang ada didepannya itu, kemudian dia juga
berlutut untuk mengambil buku-buku yang tadi dia bawa. Dia kembali mengamati
cewek itu, dia nggak pernah lihat wajah cewek itu tapi entah kenapa dia merasa
nggak asing dengan cewek itu.
“Maaf, maaf”, ucap Sisil lagi
sambil menyerahkan buku-buku yang sudah dia susun rapi itu kepada cowok yang
bengong dihadapannya
Kemudian mereka berdua bangkit,
Sisil kembali meminta maaf.
“Nggak perlu minta maaf, lagia
gue juga jalannya nggak hati-hati tadi”, jawab cowok itu. “Loe anak baru ya?”,
lanjut cowok itu mencoba mencairkan suasana.
Tapi Sisil yang nggak suka
basa-basi langsung berpamitan dan segera enyah dari hadapan cowok itu.
Ardi berbalik menghadap kearah
punggung Sisil yang mulai menjauh, “Di koridor depan belok kiri, ruang guru itu
ada disebelah kanan pintu kedua”, ucap Ardi keras.
Sisil berhenti sejenak dan
sedikit menolehkan wajahnya untuk melirik kearah orang yang tadi bertabrakan
dengannya, tapi kemudian dia melanjutkan langkah kakinya lagi menuju tempat
yang tadi Ardi katakan.
---
Bu Puji masuk kedalam kelas XI.4
bersama dengan anak baru disekolahan itu. Bu Puji meletakkan buku yang dia bawa
di atas meja guru, dan mempersilahkan seseorang masuk kedalam kelas yang sudah
banyak penghuninya tersebut.
“Selamat pagi anak-anak”, sapa Bu
Puji yang langsung di jawab oleh murid-muridnya.
“Ada anak baru Jo, cantik lagi
tapi sayang kelihatannya dia itu judes orangnya”, timpal Hadi pada teman yang
duduk didepannya yaitu Jordan.
“Nama saya Prisilla Rania
Jasmine, kalian bisa memanggil saya Sisil”. Sisil memperkenalkan dirinya dimuka
kelas.
Ardi yang ternyata warga kelas
itu memusatkan perhatiannya pada Sisil, “Prisilla Rania Jasmine? Sisil?”,
kemudian dia terlihat berfikir sambil mendongakkan kepalanya, “Kok gue ngrasa
nggak asing dengan nama cewek itu ya?”, lanjutnya dengan nada penasaran.
Hanya tinggal satu tempat duduk
yang tersisa, tempat duduk yang ada di paling belakang barisan nomer dua dari
kiri, tepat di sebelah kanan Ardi yang duduk menepi dekat dengan jendela.
Sisil berjalan tenang, rambut
lurus panjangnya menutupi sisi kanan dan kiri wajahnya, membuatnya terlihat
misterius dan menjadi pusat perhatian, tapi kemudian dengan cepat Bu Puji
membuyarkan perhatian mereka.
“Kumpulkan PR kalian didepan”,
ucap Bu Puji tegas.
Dengan cepat semua murid-murid
kecuali Sisil, membuka tas mereka, mencari-cari buku tugas mereka dan bergegas
menyerahkannya pada bu Puji yang lagi duduk manis di balik meja yang cukup
besar yang ada didepan mereka semua.
“Hey, kita ketemu lagi”, Ardi
mengawali pembicaraan lalu mencoba mengulurkan tangannya untuk mengajak
berkenalan, “Gue Ardi”, Ardi memperkenalkan dirinya.
Tapi sayangnya Sisil terlihat
acuh dan nggak meraih tangan Ardi yang mengajaknya untuk bersalaman. Mengetahui
itu Ardi cepat-cepat menarik tangannya lagi dan sedikit kikuk dibuatnya. Tapi
dia nggak mau berhenti disitu.
“Jadi nama loe Sisil. Nama yang
bagus”, ucap Ardi bersemangat. “Oh ya.. Loe itu yang cewek yang tadi nggak
sengaja tabrakan sama gue kan?”, lanjut Ardi lagi, tapi tetap nggak ada jawaban
dari Sisil.
Sisi kanan dan kiri wajah Sisil
tertutup oleh rambut panjangnya yang tergerai. Sisil dia nggak bersuara.
TO BE CONTINUED....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar