•☺• Selamat Datang di Rumah Cerita 'Blognya mahasiswa TI yang lebih suka menulis cerita' <<<<<•☺•ECHY FACTS•☺•>>>>> Gue suka FC Barcelona •☺• Golongan darah gue A •☺• Lebih suka film genre Thriler daripada Horror •☺• Jangan lupa follow twitter Echy @cieEchy •☺• Echy itu Mandiri dalam arti sebenarnya dan juga dalam arti mandi sendiri •☺• Pengin punya Apartemen, moga kesampean #AMIN •☺• Penampilan Kampungan Wawasan Internasional •☺• Lebih suka ngelamun daripada ngelantur •☺•

Rabu, 16 November 2011

25 Days Get A Boyfriend [Part 4]


Part 4

Erika sudah selesai dengan tugasnya di kantor. Sudah seminggu ini dia menghabiskan waktu di kantor untuk membantu kakaknya mengurus perusahaan. Membuatnya nggak bisa bertemu dengan teman-temannya yang lain. Tapi Cella, Rena, dan Hera memahami itu.
“Bang, kerjaan gue sudah selesai. Gue pulang duluan ya”, pamit Erika sambil meraih tasnya yang ada dimeja kakaknya itu.
Bhara menatap Erika, “Lo nggak ikut gue makan siang dulu?”, tanya Bhara ramah.
“Ogah!”, tolak Erika cepat sambil menatap tajam kakaknya itu, “Ogah gue makan sama om-om”, celetuknya .

Dengan cepat Bhara menghadiahkan jitakan di jidat Erika, membuat Erika meringis kesakitan, “Jangan nyesel! Makan siang kali ini beda, pasti lo nyesel kalau nggak ikut”, ucap Bhara optimis.
Tapi Erika membiarkannya saja, dia mengibaskan tangannya sebelum keluar dari kantor Bhara. Dia ingin bertemu dengan Dika lagi. Dia menyusuri jalan yang sama seperti kemarin berharap bertemu dengan Dika seperti kemarin. Pokoknya dia benar tertarik pada Dika, hanya Dika yang ada dipikirannya.
Sekarang dia berjalan sendirian melewati jembatan penyebrangan yang sama seperti kemarin. Dia sedikit takut karena teringat sama para pencopet yang kemarin, dia takut kalau mereka berdua datang ke tempat itu lagi.
Dan benar saja, dua orang yang kemarin mencopetnya sekarang ada dihadapannya saat Erika akan menuruni tangga jembatan penyebrangan itu.
“Eh, kita ketemu lagi”, ucap salah satu pencopet yang badannya sedikit kurus.
Erika mencoba untuk tenang, dan terus berharap agar Dika datang menolongnya. Dia menoleh kebelakangnya, berharap ada Dika tapi dibelakang tubuh Erika nggak ada siapa-siapa.
“Kenapa nolek kebelakang? Nyariin orang yang kemarin nolong lo?”, tanya cowok yang berbadan sedikit tambun.
Erika sedikit berjalan mundur lalu bergegas berlari menghindar dari kedua orang jahat itu. Tapi kedua pencopet itu nggak kalah gesit dalam mengejar Erika yang nggak bisa berlari cepat karena menggunakan high hells.
Tapi Erika terus berusaha berlari menghindar dari kedua orang itu. Sampai dia ada di trotoar lagi. Dia menoleh sesaat kebelakang untuk melihat sejauh mana jaraknya dengan kedua orang itu. Ternyata nggak jauh, jadi Erika melanjutkan larinya. Tapi, “Aduuuh”, teriak Erika yang merasakan kakinya terkilir.
Dia jatuh terduduk nggak bisa bangkit. Erika sudah nggak bisa kemana-mana lagi sesaat setelah kedua pencopet itu mengepungnya. Erika hanya meronta-ronta meminta pertolongan, tapi percuma, nggak banyak orang yang lewat daerah itu dijam segini.
Tiba-tiba ada yang memukul kedua pencopet itu. Erika yang ketakutan terus menutupi badannya karena takut para pencopet itu melakukan hal yang tidak sewajarnya. Dia menutup mata saat ada orang yang menolongnya. Suara pukulan itu berhenti, Erika mencoba membuka kedua matanya.
“Lo nggak kenapa-napa kan?”, tanya cowok yang menumbangkan kedua pencopet itu.
Erika terkejut melihat cowok itu tepat didepan wajahnya sambil memegang kedua lengannya. Erika mengangguk pelan, “Gue baik-baik aja” ucap Erika dengan nada bergetar.
Cowok itu mengangkat tubuh Erika tapi nggak bisa, karena kaki Erika yang terkilir. Erika memegangi pergelangan kaki kanannya sambil sedikit meringis menahan sakit.
“Kaki lo sakit?”, tanya cowok itu lagi.
Erika mengangguk pelan.
Dengan perlahan cowok itu mulai melepaskan sepatu Erika.
“Dika, pelan-pelan”, ucap Erika sambil menahan sakit.
Dan orang itu adalah Dika. Dika penolong Erika.
Dika mengangguk dan mulai memberikan pijatan di pergelangan kaki Erika. Tapi Erika malah mendapati luka ditangan punggung tangan Dika. Mungkin karena pukulan keras Dika terhadap kedua pencopet tadi yang membuat punggung tangan Dika mengeluarkan darah.
“Tangan lo berdarah”, ucap Erika sambil meraih tangan Dika itu.
Walaupun tangannya berdarah Dika nggak merasakan sakit. “Ini luka kecil”, ucap Dika menggampangkan.
Tapi Erika langsung mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Dia mengeluarkan sebuah saputangan yang dulu dia dapatkan dari seseorang yang nggak dia kenal. Erika menggulungkan saputangan itu di tangan kanan Dika yang terluka.
Rasanya Dika nggak asing dengan saputangan yang melingkar di tangannya untuk menutupi luka, “Kok saputangan ini kayak punya gue ya?”, tukas Dika ringan.
“Masa?”, tanya Erika nggak percaya.
Lalu Dika melihat salah satu ujung saputangan itu dan tertulis inisial ‘M.Z.’. “Ini saputangan gue”, ucap Dika ringan, “Jadi cewek yang waktu itu nangis di bus itu lo ya?”, lanjut Dika yang masih ingat peristiwa yang sudah cukup lama itu.
“M.Z. itu lo?”, tanya Erika belum percaya.
Dika mengangguk semangat, “Mahadika Zafalani, itu nama panjang gue. Dan gue biasa dipanggil Dika”. Ucap Dika sambil tersenyum.
Entah apa ini namanya. Erika benar-benar merasakan sesuatu yang berbeda. Kenapa sangat kebetulan seperti ini. Apa maksud dari semua ini? Mulai dari saputangan, copet-copet itu, tempat duduk di bus, hampir jatuh di bus, dan sekarang diselamatkan dari copet-copet itu lagi. Apa maksud semua ini?
“Awww!!”, ucap keras Erika saat Dika mencoba memijat pergelangan kaki kanannya lagi.
“Masih sakit ya?”, tanya Dika perhatian.
Erika mengangguk manja.
Tiba-tiba tubuhnya di angkat oleh Dika lalu di dudukkan di kursi penumpang disamping kemudi mobil Dika yang terparkir nggak jauh dari situ.
“Tunggu sebentar, gue ambil obat buat lo”, ucap Dika yang kemudian berlalu ke bagasi mobilnya.
Erika melihat kesekelilingnya, melihat keseluruh interior mobil Dika yang wangi, bersih, rapi dan tentunya nyaman.
Nggak lama kemudian Dika sudah ada didepannya lagi. Dika menyemprotkan spray penggilang sakit seperti yang digunakan para pemain sepak bola bila mengalami cedera. Dengan teliti Dika menyemprotkan spray itu di pergelangan Erika yang sakit.
“Dingin”, ucap Erika sedikit tersenyum.
Dika tersenyum lebar membuat Erika terasa terhipnotis, lalu Dika memberikan Erika sepasang flat shoes berwarna ungu, “Dengan kaki yang sakit ini, lo nggak mungkin jalan pakai high hells, jadi mendingan lo pakai sepatu ini ya”, ucap Dika sambil memasangkan sepatu itu dikaki Erika.
Timbul pertanyaan dibenak Erika. Sepatu siapa ini? Kenapa Dika punya sepatu cewek.
“Pas banget”, ucap Dika setelah selesai memasangkan sepatu itu. “Ternyata bukan sepatunya yang kebesaran, tapi emang kaki adik gue yang kekecilan”, ucap Dika ringan.
Tanpa bertanya Erika sudah tahu jawabannya. Tapi dia belum puas, “Lo punya adik?”, tanya Erika.
Dika menganggukkan kepalanya, “Iya. Namanya Jessy, dia mahasiswa semester 5 di universitas di Bandung”, jawab Dika.
“Lo orang Bandung”, tanya Erika lagi.
Dika menganggukkan kepalanya lalu menutup pintu mobilnya dan berjalan menuju pintu yang satunya, dia duduk di balik kemudi. “Kita makan siang dulu ya”, ajak Dika tapi bukan merupakan pertanyaan jadi Erika nggak bisa menolaknya.
Tiba-tiba terdengar suara ponsel yang berdering nyaring, sebuah instrumen musik yang bagus. Erika terlihat merogoh tasnya mencari sesuatu. Dika juga sama dia merogoh saku celananya mencari sesuatu.
“Hallo”, sapa Erika pada seseorang yang menelfonnya.
Dika meraih hp-nya yang ternyata nggak ada telfon yang masuk. Lalu dia mengalihkan pandangannya pada Erika yang sedang telfon dengan seseorang. Dika menyadari kalau ringtone panggilan masuk hp-nya sama dengan Erika. Dia tersenyum ringan lalu melanjutkan serius menyetir.
“Gue lagi dijalan mau makan siang sama temen. Lo lagi sama abang gue?”, tanya Erika pada Cella.
“Ya sudah sana nikmatin makan siang kalian. Gue tutup telfonnya ya”, ucap Erika lagi yang kemudian menutup telfon itu dan menyimpannya di dalam tasnya lagi.
“Telfon dari siapa?”, tanya Dika ingin tahu.
Erika menoleh kearah Dika, “Sahabat gue”, jawab Erika. “Dan juga calon kakak ipar gue”, lanjut Erika yang kemudian melihat kearah depan lagi.
Sekarang giliran Dika yang menoleh kearah Erika, “Jadi lo punya kakak? Cowok atau cewek?”, tanya Dika lagi.
Erika mengangguk, “Kakak gue cowok”, jawab Erika singkat.
Kemudian terdengar suara hp berdering lagi. Erika merogoh tasnya lagi, Dika juga merogoh saku celananya lagi.
“Hallo”, sapa Dika.
Membuat Erika terkejut. Erika sadar ringtone ponsel mereka berdua sama. Sungguh kebetulan yang membingungkan. Erika terseringai lalu membiarkan itu semua.
“Iya. Bentar lagi gue sampai. Gue tutup telfonnya ya”, ucap Dika menutup telfonnya.
“Lo lagi sibuk?”, tanya Erika.
Dika menggelengkan kepalanya, “Itu tadi bos gue di kantor. Gue di suruh cepetan sampai di cafe untuk makan siang sama-sama”, lanjut Dika.
“Jadi gue ganggu lo dong”, ucap Erika.
Dika menggelengkan kepalanya dengan cepat, “Enggak sama sekali. Gue malah seneng bisa makan siang sama cewek cantik dan manis kayak lo”, jawab Dika sedikit gombal tapi itu membuat Erika tersenyum riang.
Sampai juga mereka berdua didepan cafe yang Dika dan teman-teman kantornya pilih tadi. Dika membukakan pintu mobil untuk Erika dan menggandengnya keluar dari mobil. Dika juga terus menggandeng tangan Erika dengan menggunakan tangan kanannya yang tadi terluka, tapi itu nggak masalah buat dia. Dika merasa sangat nyaman saat menggenggam erat tangan kiri Erika. Mereka berdua masuk ke cafe itu bersama-sama. Erika merasa terhipnotis dengan perlakuan Dika tersebut.
Erika melihat ada Cella disalah satu tempat duduk di cafe itu, dengan itu Erika bisa mengambil kesimpulan kalau pasti Bhara ada disana. Gawat! Erika mencoba menutupi wajahnya dengan pundak Dika.
“Kalian berdua pacaran?”, tanya seseorang dengan suara yang nggak asing ditelinga Erika.
To Be Continued....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...