Part 4
Erika sudah selesai dengan
tugasnya di kantor. Sudah seminggu ini dia menghabiskan waktu di kantor untuk
membantu kakaknya mengurus perusahaan. Membuatnya nggak bisa bertemu dengan
teman-temannya yang lain. Tapi Cella, Rena, dan Hera memahami itu.
“Bang, kerjaan gue sudah selesai.
Gue pulang duluan ya”, pamit Erika sambil meraih tasnya yang ada dimeja
kakaknya itu.
Bhara menatap Erika, “Lo nggak
ikut gue makan siang dulu?”, tanya Bhara ramah.
“Ogah!”, tolak Erika cepat sambil
menatap tajam kakaknya itu, “Ogah gue makan sama om-om”, celetuknya .
Dengan cepat Bhara menghadiahkan
jitakan di jidat Erika, membuat Erika meringis kesakitan, “Jangan nyesel! Makan
siang kali ini beda, pasti lo nyesel kalau nggak ikut”, ucap Bhara optimis.
Tapi Erika membiarkannya saja,
dia mengibaskan tangannya sebelum keluar dari kantor Bhara. Dia ingin bertemu
dengan Dika lagi. Dia menyusuri jalan yang sama seperti kemarin berharap
bertemu dengan Dika seperti kemarin. Pokoknya dia benar tertarik pada Dika,
hanya Dika yang ada dipikirannya.
Sekarang dia berjalan sendirian
melewati jembatan penyebrangan yang sama seperti kemarin. Dia sedikit takut
karena teringat sama para pencopet yang kemarin, dia takut kalau mereka berdua
datang ke tempat itu lagi.
Dan benar saja, dua orang yang
kemarin mencopetnya sekarang ada dihadapannya saat Erika akan menuruni tangga
jembatan penyebrangan itu.
“Eh, kita ketemu lagi”, ucap
salah satu pencopet yang badannya sedikit kurus.
Erika mencoba untuk tenang, dan
terus berharap agar Dika datang menolongnya. Dia menoleh kebelakangnya,
berharap ada Dika tapi dibelakang tubuh Erika nggak ada siapa-siapa.
“Kenapa nolek kebelakang? Nyariin
orang yang kemarin nolong lo?”, tanya cowok yang berbadan sedikit tambun.
Erika sedikit berjalan mundur
lalu bergegas berlari menghindar dari kedua orang jahat itu. Tapi kedua
pencopet itu nggak kalah gesit dalam mengejar Erika yang nggak bisa berlari
cepat karena menggunakan high hells.
Tapi Erika terus berusaha berlari
menghindar dari kedua orang itu. Sampai dia ada di trotoar lagi. Dia menoleh
sesaat kebelakang untuk melihat sejauh mana jaraknya dengan kedua orang itu. Ternyata
nggak jauh, jadi Erika melanjutkan larinya. Tapi, “Aduuuh”, teriak Erika yang
merasakan kakinya terkilir.
Dia jatuh terduduk nggak bisa
bangkit. Erika sudah nggak bisa kemana-mana lagi sesaat setelah kedua pencopet
itu mengepungnya. Erika hanya meronta-ronta meminta pertolongan, tapi percuma,
nggak banyak orang yang lewat daerah itu dijam segini.
Tiba-tiba ada yang memukul kedua
pencopet itu. Erika yang ketakutan terus menutupi badannya karena takut para
pencopet itu melakukan hal yang tidak sewajarnya. Dia menutup mata saat ada
orang yang menolongnya. Suara pukulan itu berhenti, Erika mencoba membuka kedua
matanya.
“Lo nggak kenapa-napa kan?”,
tanya cowok yang menumbangkan kedua pencopet itu.
Erika terkejut melihat cowok itu
tepat didepan wajahnya sambil memegang kedua lengannya. Erika mengangguk pelan,
“Gue baik-baik aja” ucap Erika dengan nada bergetar.
Cowok itu mengangkat tubuh Erika
tapi nggak bisa, karena kaki Erika yang terkilir. Erika memegangi pergelangan
kaki kanannya sambil sedikit meringis menahan sakit.
“Kaki lo sakit?”, tanya cowok itu
lagi.
Erika mengangguk pelan.
Dengan perlahan cowok itu mulai
melepaskan sepatu Erika.
“Dika, pelan-pelan”, ucap Erika
sambil menahan sakit.
Dan orang itu adalah Dika. Dika
penolong Erika.
Dika mengangguk dan mulai
memberikan pijatan di pergelangan kaki Erika. Tapi Erika malah mendapati luka
ditangan punggung tangan Dika. Mungkin karena pukulan keras Dika terhadap kedua
pencopet tadi yang membuat punggung tangan Dika mengeluarkan darah.
“Tangan lo berdarah”, ucap Erika
sambil meraih tangan Dika itu.
Walaupun tangannya berdarah Dika
nggak merasakan sakit. “Ini luka kecil”, ucap Dika menggampangkan.
Tapi Erika langsung mengeluarkan
sesuatu dari tasnya. Dia mengeluarkan sebuah saputangan yang dulu dia dapatkan
dari seseorang yang nggak dia kenal. Erika menggulungkan saputangan itu di
tangan kanan Dika yang terluka.
Rasanya Dika nggak asing dengan
saputangan yang melingkar di tangannya untuk menutupi luka, “Kok saputangan ini
kayak punya gue ya?”, tukas Dika ringan.
“Masa?”, tanya Erika nggak
percaya.
Lalu Dika melihat salah satu
ujung saputangan itu dan tertulis inisial ‘M.Z.’. “Ini saputangan gue”, ucap
Dika ringan, “Jadi cewek yang waktu itu nangis di bus itu lo ya?”, lanjut Dika
yang masih ingat peristiwa yang sudah cukup lama itu.
“M.Z. itu lo?”, tanya Erika belum
percaya.
Dika mengangguk semangat, “Mahadika
Zafalani, itu nama panjang gue. Dan gue biasa dipanggil Dika”. Ucap Dika sambil
tersenyum.
Entah apa ini namanya. Erika
benar-benar merasakan sesuatu yang berbeda. Kenapa sangat kebetulan seperti
ini. Apa maksud dari semua ini? Mulai dari saputangan, copet-copet itu, tempat
duduk di bus, hampir jatuh di bus, dan sekarang diselamatkan dari copet-copet
itu lagi. Apa maksud semua ini?
“Awww!!”, ucap keras Erika saat
Dika mencoba memijat pergelangan kaki kanannya lagi.
“Masih sakit ya?”, tanya Dika perhatian.
Erika mengangguk manja.
Tiba-tiba tubuhnya di angkat oleh
Dika lalu di dudukkan di kursi penumpang disamping kemudi mobil Dika yang
terparkir nggak jauh dari situ.
“Tunggu sebentar, gue ambil obat
buat lo”, ucap Dika yang kemudian berlalu ke bagasi mobilnya.
Erika melihat kesekelilingnya,
melihat keseluruh interior mobil Dika yang wangi, bersih, rapi dan tentunya
nyaman.
Nggak lama kemudian Dika sudah
ada didepannya lagi. Dika menyemprotkan spray penggilang sakit seperti yang
digunakan para pemain sepak bola bila mengalami cedera. Dengan teliti Dika
menyemprotkan spray itu di pergelangan Erika yang sakit.
“Dingin”, ucap Erika sedikit
tersenyum.
Dika tersenyum lebar membuat
Erika terasa terhipnotis, lalu Dika memberikan Erika sepasang flat shoes berwarna
ungu, “Dengan kaki yang sakit ini, lo nggak mungkin jalan pakai high hells,
jadi mendingan lo pakai sepatu ini ya”, ucap Dika sambil memasangkan sepatu itu
dikaki Erika.
Timbul pertanyaan dibenak Erika. Sepatu
siapa ini? Kenapa Dika punya sepatu cewek.
“Pas banget”, ucap Dika setelah
selesai memasangkan sepatu itu. “Ternyata bukan sepatunya yang kebesaran, tapi
emang kaki adik gue yang kekecilan”, ucap Dika ringan.
Tanpa bertanya Erika sudah tahu
jawabannya. Tapi dia belum puas, “Lo punya adik?”, tanya Erika.
Dika menganggukkan kepalanya, “Iya.
Namanya Jessy, dia mahasiswa semester 5 di universitas di Bandung”, jawab Dika.
“Lo orang Bandung”, tanya Erika
lagi.
Dika menganggukkan kepalanya lalu
menutup pintu mobilnya dan berjalan menuju pintu yang satunya, dia duduk di
balik kemudi. “Kita makan siang dulu ya”, ajak Dika tapi bukan merupakan
pertanyaan jadi Erika nggak bisa menolaknya.
Tiba-tiba terdengar suara ponsel
yang berdering nyaring, sebuah instrumen musik yang bagus. Erika terlihat
merogoh tasnya mencari sesuatu. Dika juga sama dia merogoh saku celananya
mencari sesuatu.
“Hallo”, sapa Erika pada
seseorang yang menelfonnya.
Dika meraih hp-nya yang ternyata
nggak ada telfon yang masuk. Lalu dia mengalihkan pandangannya pada Erika yang
sedang telfon dengan seseorang. Dika menyadari kalau ringtone panggilan masuk
hp-nya sama dengan Erika. Dia tersenyum ringan lalu melanjutkan serius
menyetir.
“Gue lagi dijalan mau makan siang
sama temen. Lo lagi sama abang gue?”, tanya Erika pada Cella.
“Ya sudah sana nikmatin makan
siang kalian. Gue tutup telfonnya ya”, ucap Erika lagi yang kemudian menutup
telfon itu dan menyimpannya di dalam tasnya lagi.
“Telfon dari siapa?”, tanya Dika
ingin tahu.
Erika menoleh kearah Dika, “Sahabat
gue”, jawab Erika. “Dan juga calon kakak ipar gue”, lanjut Erika yang kemudian
melihat kearah depan lagi.
Sekarang giliran Dika yang
menoleh kearah Erika, “Jadi lo punya kakak? Cowok atau cewek?”, tanya Dika
lagi.
Erika mengangguk, “Kakak gue
cowok”, jawab Erika singkat.
Kemudian terdengar suara hp
berdering lagi. Erika merogoh tasnya lagi, Dika juga merogoh saku celananya
lagi.
“Hallo”, sapa Dika.
Membuat Erika terkejut. Erika
sadar ringtone ponsel mereka berdua sama. Sungguh kebetulan yang membingungkan.
Erika terseringai lalu membiarkan itu semua.
“Iya. Bentar lagi gue sampai. Gue
tutup telfonnya ya”, ucap Dika menutup telfonnya.
“Lo lagi sibuk?”, tanya Erika.
Dika menggelengkan kepalanya, “Itu
tadi bos gue di kantor. Gue di suruh cepetan sampai di cafe untuk makan siang sama-sama”,
lanjut Dika.
“Jadi gue ganggu lo dong”, ucap
Erika.
Dika menggelengkan kepalanya
dengan cepat, “Enggak sama sekali. Gue malah seneng bisa makan siang sama cewek
cantik dan manis kayak lo”, jawab Dika sedikit gombal tapi itu membuat Erika
tersenyum riang.
Sampai juga mereka berdua didepan
cafe yang Dika dan teman-teman kantornya pilih tadi. Dika membukakan pintu
mobil untuk Erika dan menggandengnya keluar dari mobil. Dika juga terus
menggandeng tangan Erika dengan menggunakan tangan kanannya yang tadi terluka,
tapi itu nggak masalah buat dia. Dika merasa sangat nyaman saat menggenggam
erat tangan kiri Erika. Mereka berdua masuk ke cafe itu bersama-sama. Erika
merasa terhipnotis dengan perlakuan Dika tersebut.
Erika melihat ada Cella disalah
satu tempat duduk di cafe itu, dengan itu Erika bisa mengambil kesimpulan kalau
pasti Bhara ada disana. Gawat! Erika mencoba menutupi wajahnya dengan pundak
Dika.
“Kalian berdua pacaran?”, tanya
seseorang dengan suara yang nggak asing ditelinga Erika.
To Be Continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar