Found You, Princess Cilla - Part
3
Sisil berjalan menyusuri jalanan
yang basah akibat hujan sore tadi. Dia berjalan sambil menarik kopernya di
jalanan yang sepi, dia nggak tahu harus kemana.
Dia berjalan dan terus berjalan,
dan terlihat sedikit keramaian. Dia masuk kesebuah lapak angkringan yang ada
dipinggir jalan. Angkringan itu belum begitu ramai karena mungkin pengaruh dari
hujan tadi.
“Mau pesan apa mba?”, tanya
seorang ibu pemilih kedai itu.
“Minumannya ada apa aja Bu?”,
tanyanya ringan sambil melihat-lihat kearah dagangan yang tersaji didepannya.
“Ada wedang ronde, bajigur, teh
manis anget, kopi, mba maunya apa?”, lanjut ibu itu ramah.
“Wedang ronde aja Bu”, ucap Sisil
pasti.
Nggak lama kemudian wedang ronde
hangat sudah tersaji dihadapannya, dia menikmati semua itu selagi masih panas
agar dapat menghangatkan tubuhnya yang kedinginan.
Ibu pemilik kedai melirik kearah
barang bawaan Sisil, “Kok bawa koper mba?”, tanya Ibu itu penasaran.
Sisil sedikit tersenyum, “Saya
diusir dari rumah saya sendiri”, jawab Sisil tanpa panjang lebar.
Ibu itu masih penasaran tapi dia
menahan untuk bertanya lagi, dia merasa nggak sopan menanyakan itu semua. Sisil
membayar apa yang dia pesan tadi dan berpamitan dengan ibu pemilik kedai.
“Mba, tunggu sebentar”, ibu itu
mencoba menghentikan Sisil yang sudah akan keluar.
Sisil berbalik arah.
“Kalau mba butuh tempat tinggal,
di depan sana ada kompleks kontrakan kecil yang tadi saya lihat masih ada satu
yang belum ditempati”.
Sisil tersenyum dan keluar dari
tempat itu. Dia berjalan menyusuri jalan yang sudah mulai sepi lagi dan
berhenti dia sebuah kompleks kontrakan yang berjejeran satu sama lain. Ada
tulisan yang menerangkan masih ada satu kamar yang kosong, dia berjalan
memasuki halaman.
Disaat yang sama ardi dan Juna
melewati jalan itu tapi keduanya nggak melihat sosok Sisil. Mereka masih asyik
melepas rindu karena baru tadi siang Juna sampai di Indonesia. Dan sekarang
keduanya menuju kerumah.
“Gimana sama kuliah loe?”, tanya
Ardi dengan tetap serius mengendarai mobil.
“Papah sudah ngurus semuanya. Lusa
gue sudah bisa masuk kuliah”, jawab Juna enteng.
Ardi melirik kearah kalung yang
dipakai Juna, “Loe masih aja pakai kalung itu?”, tanya Ardi.
Juna mengangguk dengan semangat. Lalu
dipegangnya bandul kalung yang dia pakai. Sebuah bandul berbentuk lingkarana
yang ditengahnya berlubang membentuk binta yang salah satu kaki bintang itu
memberi celah di sisi lingkaran itu.
Sisil sudah berada di tempat
tinggalnya yang baru. Dia membuka dompetnya yang nggak pernah setipis ini. Dia
menghitung jumlah uang yang ada di dalam dompet ungunya itu.
“Seratus empat puluh tiga ribu”,
ucapnya lirih.
Kemudian dia mendesar karena dia
menyimpulkan hidupnya kedepan pasti akan lebih sulit dari ini. Dia harus bisa
mencari uang agar bisa bertahan hidup. Dia harus bekerja dan tentu saja dia juga
harus tetap sekolah.
---
Sinar mentari yang cerah
menyinari bumi, memberi kehangatan dan menghapus dingin yang menyelimuti. Sisil
sudah siap berangkat kesekolah. Dia juga sudah sarapan bubur ayam tadi pagi.
Dia keluar dari tempat tinggalnya
yang baru, mengunci pintu dan duduk di kursi dekat pintu untuk memakai sepatu
sekolahnya yang nggak berwarna ungu, karena memang hanya sepatu hitam yang
boleh dipakai di SMA Nusantara.
“Eh ternyata ada penghuni baru. Mau
berangkat kesekolah ?”, tanya seorang cowok yang keluar dari kontrakan
disebelah kontrakan Sisil.
Sisil mengangguk sambil
memberikan seulas senyuman, dia nggak berkata apa-apa.
“Sekolah di SMA Nusantara ya?”,
tanya cowok itu lagi.
“Iya”, jawab Sisil singkat.
Lalu cowok berdiri di samping
motor sport-nya, “Mau sekalian berangkat sama gue?”, ajak cowok itu.
Sisil terlihat ragu, wajahnya
menyiratkan keraguan. Dan bisa terbaca oleh cowok itu.
“Tenang aja, gue bukan tipe cowok
yang kurang ajar. Gue juga punya adik cewek seumuran sama loe, jadi gue nggak
bakaln macem-macem sama loe. Loe bisa anggep gue kakak loe”, ucap coeok itu
panjang lebar untuk meyakinkan Sisil yang sudah selesai mengikat tali sepatu.
Sisil berdiri dan mengangguk, “Gue
mau dianterin loe”, ucapnya sambil berjalan mendekat pada cowok itu.
Cowok itu mengulurkan tangannya
mengajak berkenalan, “Gue Zaki”.
Nggak seperti biasanya, Sisil
menjabat tangan Zaki dan memperkenalkan dirinya, “Gue Sisil”, ucapnya ringan.
Benar-benar nggak terbiasa. Sisil
nggak terbiasa buat naik motor seperti pagi ini.
“Loe kerja atau kuliah?”, tanya
Sisil dalam perjalanan menuju sekolahnya.
“Gue kerja, gue juga kuliah. Siang
gue kuliah malem gue kerja”, jawab Zaki.
Beberapa detik berlalu hanya
diisi suara-suara bising dari kendaraan yang berlalu-lalang disisi kanan dan kiri
mereka berdua.
“Loe ada kerjaan nggak buat gue?”.
Akhirnya Sisil memberanikan diri untuk bertanya soal itu, karena memang dia
benar-benar membutuhkan pekerjaan.
Sampai di depan pintu gerbang SMA
Nusantara. Ardi turun dari mobilnya Juna, hari ini dia nggak bawa mobil karena
lagi di service rutin.
“Loe nggak perlu jemput gue”,
ucap Ardi pada Juna.
Juna mengangguk lalu melihat
kearah depannya, dia melihat seseorang yang dia kenal.
“Zaki? Sama siapa tuh?”, tanya
Juna lirih.
“Gue masuk duluan ya”, pamit Ardi.
Juna nggak mempedulikan adiknya
itu, dia masih memperhatikan cewek yang tadi diboncengin sama Zaki, sepertinya
dia mengenal cewek itu tapi dia nggak tahu siapa dia. Dia merasa nggak asing
dengan cewek itu.
---
Bel istirahat berbunyi dan ruang
kelas XI.4 dengan cepat sepi karena penghuninya keluar untuk pergi kekantin. Tinggal
ada Ardi dan Sisil. Sisil masih sibuk dengan beberapa buku pelajaran dan Ardi
sibuk memperhatikan Sisil yang terlihat lelah dan penuh kesedihan.
Tiba-tiba kelas itu menjadi
sedikit berisik karena kedatangan Emily. Emily datang dengan membawa sebuah
kotak makan, dia berencana makan siang bersama dengan Sisil.
“Kak, gue bawain nasi goreng nih.
Kakak pasti belum makan kan?”, tanya Emily riang.
Ardi hanya memperhatikan mereka
berdua.
“Nggak!”, jawab Sisil ketus.
“Ayolah kaka. Kita makan
sama-sama”, ajak Emily lagi.
Tapi Sisil yang marah karena
perlakuan tante Santy dan Emily nggak bisa melupakan kejadian malam itu begitu
saja, dia bangkit dari tempat duduknya dan menatap tajam kearah Emily. Dengan
keras dia memukul meja membuat Emily dan Ardi terkejut, “Gue bilang, gue nggak
mau!”, teriak Sisil keras.
Kemudian dia berlalu meninggalkan
Emily yang masih berada dikelasnya Sisil.
Ardi berdiri dari duduknya hendak
pergi mengejar Sisil tapi dengan cepat langkahnya terhenti karena Emily
cepat-cepat memeluknya begitu erat. Emily menangis di pelukan Ardi. Benar-benar
nggak merasa nyaman Ardi saat itu tapi dia berusaha menepuk pundak Emily
pelan-pelan untuk menenangkannya.
---
Bel pulang sekolah berbunyi
nyaring. Dengan cepat Sisil merapikan buku-bukunya, lalu dia menghilang dengan
cepat dari ruang kelasnya itu. Dia bergegas untuk pulang ke rumahnya yang
sekarang. Tempat tinggalnya yang kecil dan pengap.
Sisil berdiam diri di dalam
kamarnya, dia hanya mengamati album foto dirinya bersama dengan Ayah dan
Mamahnya sewaktu dia masih kecil. Dia rindu kedua orang tuanya. Tadi malam juga
dia bermimpi bertemu dengan Ayah dan Mamahnya.
“Bener-bener aneh!”, keluh Ardi
yang langsung duduk disofa ruang keluarganya.
Juna dan Papah mereka lagi asyik
main PS dan duduk diatas karpet. Jena mendongak ke arah Ardi yang tempat
duduknya lebih tinggi daripada dirinya, “Loe kanapa?”, tanyanya singkat lalu
kembali serius bermain.
“Cewek itu bener-bener aneh!”,
ucap Ardi lagi. “Gue mencoba baik sama dia tapi dia malah marah-marah sama gue,
dia bilang gue nggak usah jadi teman dia. Terus sama adiknya sendiri juga dia
kasar banget, adiknya bawain bekal untuknya tapi malah dibentak dan ditinggal
begitu aja! Uh menyebalkan!”. Ardi mengacak-acak rambutnya.
“Dan loe suka sama cewek itu?”,
tanya Papah.
Papah memang seperti itu, bisa
berkamuflase. Disaat-saat tertentu dia berubah menjadi ayah di saat yang lain
dia juga bisa berubah menjadi teman anak-anaknya. Sekarang Papah sedang menjadi
teman mereka, Ardi dan Juna bebas menggunakan elo dan gue.
Ardi terdiam sejenak lalu kembali
berkata, “Dia misterius, gue suka sama dia”, ucapnya dengan nada datar.
“Kalau loe suka tembak aja”,
saran dari Juna.
Lalu Ardi dengan cepat memukul
kelapa kakaknya itu, “Nggak segampang itu bang!”, timpalnya.
---
Zaki dan Sisil duduk bersam
didepan kontrakan Sisil. Mereka berdua membicarakan mengenai pekerjaan. Di
tempat Zaki bekerja ada lowongan untuk pelayan toko baru. Zaki bekerja di
sebuah toko khusus sepatu olah raga, dan Sisil mau bekerja disana.
Mulai besok Sisil sudah bisa
mulai bekerja setelah pulang sekolah, sesuatu pekerjaan yang diharapkan Sisil
dan sepertinya nggak akan mengganggu kegiatan di sekolahnya.
Tiba-tiba hp Zaki berdering
nyaring, “Gue terima telfon dulu ya, sampai jumpa besok”, pamit Zaki ramah.
Sisil mengangguk dan bangkit dari
tempat duduknya.
“Halo Juna, ada apa loe telfon
gue?”, sapa Zaki dengan seseorang disana yang bernama Juna.
Sisil mendengarnya dan
menghentikan langkahnya yang sudah ada diambang pintu. Dia mengingat sepuluh
tahun yang lalu, dia mengingat seseorang yang dekat dengannya, seseorang yang
mempunyai nama yang sama dengan nama orang yang menelfon Zaki malam ini.
Dengan cepat Sisil menggenggam
erat bandul kalungnya, kalung yang dulu seseorang berikan untuknya, seseorang
berharga untuknya, seseorang yang sudah dia tunggu selama sepuluh tahu ini,
seseorang yang selalu bisa membuatnya tersenyum dan setia untuk menunggu
kedatangannya.
TO BE CONTINUED....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar