Seminggu kemudian...
Emily dan Sisil lagi menikmati
makan siang mereka di kantin. Mereka hanya duduk berdua saja, tadinya Emily
akan bergabung dengan teman-temannya tapi dia merasa nggak enak dengan Sisil
yang kelihatannya nggak punya teman di kelas.
Sisil memang seperti itu, dia
cenderung pendiam, nggak banyak bicara, susah bergaul, acuh terhadap orang
lain, dan tentu saja dia misterius karena membuat banyak orang disekelilingnya
penasaran atas dirinya yang begitu penyendiri itu.
Ardi dan teman-temannya duduk
nggak jauh dari mereka berdua. Tiba-tiba ada angin yang cukup kencang menerpa
Sisil, membuat rambutnya terkibas ke punggungnya. Saat itu Ardi dapat melihat
indahnya senyuman Sisil saat menikmati segarnya ngin itu.
“Cantik banget”, ucapnya lirih
tapi masih bisa terdengar oleh teman-temannya.
“Siapa? Siapa yang loe bilang
cantik?”, tanya Jovan yang duduk disampingnya.
Jovan melihat kearah mata Ardi
melihta, “Wah, iya. Anak baru yang duduk bareng Sisil memang cantik. Ardi, mata
loe bener-bener awas sama gituan!”, lanjut Jovan.
Tapi kemudian Ardi bangkit dari
tempat duduknya dan berjalan kearah Sisil dan seseorang yang duduk disamping
Sisil.
“Gue boleh duduk disini?”, tanya
Ardi manis.
Teman-teman Ardi bersorak-sorai
dari belakang untuk menyemangati Ardi.
“Boleh! Duduk aja”, sahut cewek
yang duduk bersama Sisil.
Ardi langsung duduk, “Makasih”,
ucapnya tulus.
Rambut Sisil kembali menutupi
sebagian wajahnya tapi Ardi membiarkan begitu saja, dia sudah merasa puas
dengan melihat senyuman Sisil yang begitu cantik tadi.
Tiba-tiba cewek yang duduk
bersama Sisil mengajak berkenalan, “Gue Emily kelas X.8”, sambil menyodorkan
tangannya mengajak Ardi bersalaman.
Tentu saja Ardi meraih tangan
Emily, “Gue Ardi, kelas XI.4”, Ardi meraih tangan Emily.
Sesaat setelah itu Sisil yang
merasa nggak nyaman bangkit dari tempat duduknya dan berlalu. Ardi mencoba
mengejar tapi Emily menghalanginya, dia menyuruh Ardi untuk menemaninya makan
siang bersama dan membiarkan Sisil pergi.
Sisil berjalan cepat menuju
kelasnya sambil terus memegangi bandul kalungnya dan membelah perlahan
kerumunan murid-murid yang lain yang tenagh menikmati waktu istirahat mereka.
---
Pagi ini Ayah akan sampai di
Jakarta setelah menyelesaikan perjalanan bisnisnya ke Korea. Tentunya hal itu
membuat Sisil dan Emily sangat merasa senang.
Sisil, Emily, dan Mamah Emily
sudah sampai di bandara. Mereka bertiga menunggu kepulangan orang yang mereka
cintai.
Tapi tiba-tiba terdengar suara
hantaman dan ledakan yang sangat keras. Membuat semua orang panis tanpa
kecuali, banyak yang mengira bunyi tersebut adalah ledakan bom tapi ternyata
bukan. Suara itu berasal dan pesawat yang gagal mendarat, tergelincir dan
menghantam jalan lalu meledak.
Ada pengumuman yang mengharuskan
mereka semua tenang, tapi Sisil benar-benar merasa nggak tenang. Dia
terus-terusan ingat sama Ayah yang hari ini naik pesawat agar bisa sampai di
Jakarta. Petugas mengumumkan kalau pesawat yang gagal landing itu adalah
pesawat dari Korea tujuan Jakarta.
“Ayaah!”, teriak Sisil histeris.
Lalu dia berlari mencoba masuk ke
bandara untuk melihat pesawat yang ditumpangi Ayahnya itu. Dia mencoba melewati
kerumunan orang-orang yang juga panik dan khawatir dengan apa yang terjadi.
---
Sore ini suasana berkabung masih
sangat terasa, beberapa buket bunga bela sungkawa masih berjejer didepan rumah
megah Sisil. Emily dan Mamahnya masih bertemu dengan para pelayat yang datang
kerumah mereka.
Setelah pulang dari makam, dia
mengurung siri di kamar. Dia nggak mau diganggu, dia ingin sendiri, dia hanya
bertemankan kalung yang dipakainya dan beberapa album foto dirinya bersama Ayah
dan Mamahnya.
Air mata Sisil belum kering, dia
mencoba untuk tetap bertahan hidup tanpa kedua orang tuanya. Dia harus kuat,
dia nggak boleh lemah, tapi dia ragu akan hal itu. Dia ragu akan bisa bertahan,
tapi hati kecilnya mengatakan Sisil bisa menghadapi dan melewati ini semua.
“Kenapa secepat ini, bahkan Ayah
nggak ngasih kesempatan buat Sisil minta maaf sama Ayah”, ucap Sisil
tersedu-sedu.
---
Ardi memasang earphone-nya,
karena ada telfon masuk sedangkan dia sedang mengemudi.
“Hallo”, sapa Ardi, “Ada apa
bang?”, tanya Ardi tanpa basa basi karena dia sudah tahu Juna yang menelfon. “Disitu
kan tengah malem, ngapain loe telfon gue?”, lanjut Ardi.
Terdengar suara Juna yang
menguap, “Lusa gue pulang. Jemput gue di bandara jam 2 siang”.
“Ya, gue tahu!”, timpal Ardi yang
sudah sering diingatkan oleh Juna yang kayaknya benar-benar ingin cepat
menginjakkan kakinya di Indonesia. “Loe tuh sudah sering bilang soal itu sama
gue, gue pasti nggak lupa jemput loe”, lanjutnya meyakinkan.
Juna tertawa senang, “Ya sudah,
gue lanjut tidur, bye”, Juna menutup telfon.
Ardi melepaskan earphone-nya dan
kembali serius mengemudikan mobilnya menuju sekolahan.
Sisil berjalan sendirian memasuki
sekolahan setelah turun dari taksi, dia nggak berangkat bersama dengan Emily,
dia memilih berangkat sendirian.
Dia berjalan sendiri menyusuri
lorong-lorong sekolah menembus riusnya para murid-murid yang lain yang baru
sampai ke sekolahan. Dia berjalan dengan pandangan kosong, dia terlihat nggak
baik.
“Dia berangkat tapi apa yang
terjadi sama dia?”. Gumam Ardi lirih, dia melihat sosok Sisil yang berbeda dari
biasanya.
Sisil memang bukan tipe cewek
yang mudah bergaul, centil, bersemangat, dan murah senyum, Ardi menyadari itu. Tapi
sekarang dia nggak melihat Sisil yang lemah dan rapuh dengan sangat jelas, yang
biasanya hanya terlihat dari kedua mata indahnya sekarang bisa terbaca dari
seluruh bahasa tubuhnya.
Sisil masuk kekelas dan langsung
duduk di tempat duduknya, mengacuhkan teman-teman sekelasnya yang sudah
berdatangan. Ardi bergegas duduk di kursi yang biasa Hadi duduki, dia mencoba
mengawali percakapan dengan Sisil yang tengah membaca buku.
“Loe sakit?”, tanya Ardi pelan.
Sisil sama sekali nggak memandang
Ardi dan memberikan jawaban, Sisil acuh nggak menghiraukan Ardi yang ada
didepannya.
“Loe lagi sakit ya? Gue anterin
loe ke UKS yuk, wajah loe pucat banget”, lanjut Ardi yang kemudian memegang
tangan kanan Sisil yang sedang memedang ujung buku.
Ardi mendapat tatapan tajam dari
Sisil, dengan mata besarnya dia melihat kearah Ardi, “Nggak usah sok jadi temen
gue! Gue nggak perlu dikasihani sama loe!”, Sisil benar-benar ketus lalu
membebaskan tangannya dari cengkraman Ardi.
“Gue nggak sok jadi temen loe,
gue selalu nganggep loe temen gue. Dan gue tulus ngelakuin ini semua”, lanjut
Ardi dengan nada serius.
Tapi Sisil nggak bergeming, dia
masih dengan sikapnya yang ketus, “Loe nggak perlu jadi temen gue!”, ucap Sisil
makin ketus.
“Gue cuman mau bisa lebih kenal
loe lagi, gue ingin deket sama loe, gue ingin buat loe tersenyum”. Ardi bangkit
dari tempat duduk Hadi dan berjalan ke tempat duduknya dan duduk manis disana.
Ardi memandang penuh harap pada
Sisil yang masih serius dengan bacaannya, Sisil sama sekali nggak peduli sama
Ardi yang masih masih saja memandang kearahnya dengan tatapn hangat.
---
Sisil, Emily dan Mamah Emily
sudah duduk rapi di ruang keluarga, mereka kedatangan seseorang. Seseorang
pengacara Ayah yang akan membacakan surat wasiat yang pernah Ayah tulis semasa
dia masih hidup.
“Langsung saja bacakan sekarang,
kami sudah siap”, ucap tante Santy sedikit memaksakan.
“Baiklah...”, pengacara itu mulai
membacakan isi dari surat wasiat yang Ayah tulis.
“Untuk Sisil, putri ayah tercinta.
Ayah akan menyerahkan semuanya, menyerahkan semua aset perusahaan, saham-saham
Ayah, rumah, villa, mobil, dan semuanya kepada kamu, tapi kamu belum bisa
mempergunakan semuanya jika kamu belum berumur 20 tahun”, ucap pengacara Ayah.
Mendengar penjelasan itu tante
Santy sedikit terperanjat, dia terkejut.
Tapi kemudian pengacara
melanjutkan membaca wasiat Ayah, “Sebelum kamu berusia 20 tahun, Ayah hanya
memberikan jatah uang seratus juta rupiah setiap bulannya. Dan untuk istriku
dan Emily yang aku cintai, masing-masing dari kalian akan mendapatkan sebuah
mobil dan akan mendapatkan jatah bulanan sebesar dua puluh juta rupiah”, lanjut
pengacara itu.
Benar-benar membuat terkejut.
Tante Santy bangkit dari tempat duduknya, dia nggak percaya dengan apa yang di bacakan pengacara itu, dia
meragukan keaslian dari surat wasiat itu. Dia menginginkan semuanya tapi kenapa
sebagai istri dia hanya mendapatkan sesuatu yang kecil, mobil dan hanya jatah
bulanan.
“Nggak! Nggak mungkin. Surat itu
pasti palsu!”, protes keras tante Santy.
Sisil terkejut, Emily juga
terkejut dan memusatkan pandangan pada Santy yang benar-benar nggak terima
dengan semua ini.
Pengacara sudah pergi dari tadi. Emily dan Sisil ada dikamar
masing-masing.
Tiba-tiba tante Santy membuka
kasar pintu Sisil dan menarik rambut Sisil dengan kencang, membuatnya terjatuh
ke lantai.
“Loe harus enyah dari rumah ini! Gue
nggak mau lihat loe lagi disini!”, teriak tante Santy masih dengan mencengkram
erat rambut Sisil.
Suara Santy terdengar sampai
kamar Emily. Kontan dia dengan cepat keluar dan pergi kekamar Sisil dengan
pintu yang sudah terbuka lebar.
Sisil sedang memasukkan
baju-bajunya kedalam koper yang nggak terlalu besar.
“Cepat!”, teriak tante Santy
lagi.
Sisil mulai memasukkan buku-buku
pelajarannya, nggak lupa album foto Ayah dan Mamahnya, lalu memasukkan kotak
perhiasan koleksi Mamah ke dalam koper tapi dengan cepat direbut oleh Santy.
“Tapi itu milik Mamah”, Sisil
nggak rela melepas itu.
Tapi dengan kekuasaannya Santy,
Sisil dibuat nggak bisa berbuat apa-apa.
Sisil sudah siap dengan kopernya
yang sudah terkunci rapat, dia menyelempangkan tas sekolahnya dan memasukkan
dompet warna ungunya. Dengan cepat Santy merebut dompet itu dan membukanya. Dia mengambil dua buah
kartu kredit dan tiga kartu ATM yang berjejer rapi di dalam dompet Sisil.
“Loe boleh pergi sekarang!”,
Santy melemparkan dompet itu ke tubuh Sisil.
Sisil memungutnya dan beranjak
keluar dari rumah yang merupakan haknya.
TO BE CONTINUED....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar