Waktu
shubuh kali ini Vanes sudah selesai mandi dan siap dengan tas ranselnya yang
memuat apa-apa saja yang dia butuhkan untuk touring kali ini.
“Katanya
Kevin sama Hana, terus anak papah yang cantik ini sama siapa?”, tanya papah.
Sibuk
dengan motornya, “Kayaknya sama Evan. Anaknya om Lukman temennya Papah”, jawab
Vanes masih dengan mengecek kesiapan motornya.
Vanes
kembali mengecek barang-barang bawaannya, dia nggak mau ada yang tertinggal
satupun karena prinsip dia itu nggak mau merepotkan orang lain, jadi dia harus
berusaha sendiri. Vanes jadi keranjingan ikut touring motor karena dulunya
Papah sering mengajaknya ikut serta dalam kelompok motor gedhe Papahnya itu,
tapi karena kesibukan yang makin menyita waktu jadi Papah jadi nggak bisa
touring lagi.
Jam
6 tepat, Vanes berangkat menuju tempat yang sudah ditentukan sebagai lokasi
start perjalanan kali ini.
Sampai
disana sudah banyak para member yang berkumpul. Vanes celingak-celinguk untuk
mencari sosok Kevin dan tiba-tiba ada yang menepuk punggungnya, dia dibuat
kaget karenanya. Ternyata itu Kevin yang baru saja sampai ditempat itu, Kevin
bersama dengan Hana yang sama sekali nggak menyapa Vanes yang merupakan teman
sekelasnya di universitas, tapi itu nggak masalah bagi Vanes, Hana, dan juga
Kevin.
“Mana
Evan?”, tanya Kevin pada Vanes.
Padahal
pertanyaan itu yang tadi ada dibenak Vanes dan ingin dia ungkapkan pada Kevin,
tapi Kevin malah menanyakan itu padanya, jelas saja dia nggak tahu harus
menjawab apa karena memang dia nggak tahu.
“Mana
gue tahu!”, jawab Vanes singkat dengan nada ketus.
Sesaat
setelah itu Vanes turun dari motornya untuk sedikit meregangkan badan. Dan
nggak lama setelah itu Evan datang juga dan langsung menghampiri ketiganya.
“Kak
Evan ikut juga?”, tanya Hana dengan nada manja.
Kevin
dan Vanes diabuat geli dengan kalimat pertanyaan dari Hana tersebut. Hanya mengangguk,
Evan mengangguk untuk menjawab pertanyaan dari Hana.
Vanes
menyerahkan kunci motornya pada Evan, “Nih kuncinya”, ucap Vanes singkat.
Tentu
saja Evan meraihnya karena kalau dia mau ikut dia harus menaiki motor Vanes
yang masih kosong ini. Hana terlihat sangat nggak suka.
“Kak,
kenapa nggak loe aja yang bawa motornya Vanes?”, tanya Hana ketus.
Kevin
menggeleng pasti, “Ogah! Gue nggak mau motor gue ini dipegang orang lain. Kalau
loe nggak mau bareng gue ya tinggal loe nggak usah ikut aja”, jawab Kevin nggak
kalah ketusnya.
Langsung
saja Hana mengalihkan pandangannya pada Vanes, bermaksud sama yaitu intinya dia
pengin Evan satu motor dengannya dan bukan dengan cewek lain apalagi sama Vanes
yang nggak dia suaki tersebut. Tapi Vanes langsung tanggap dan mengerti maksud
dari Hana sebelum Hana mengungkapkan itu pada ditinya, “Gue juga ogah ninggalin
motor gue!”, jawab Vanes nggak kalah ketus dibanding Kevin dan Hana tadi.
Akhirnya
perdebatan itu terhenti karena sudah saatnya untuk breafing sebelum keberangkatan
mereka menuju Bandung untuk menghabiskan week end kali ini. Nggak lupa untuk
berdoa demi keselamatan semuanya, mereka serius dengan hal itu karena hal
seperti itu nggak bisa diprediksi dan mereka hanya bisa berdoa demi keselamatan
bersama.
Saatnya
untuk berangkat, Hana tetap bersama Kevin menaiki motor Kevin, Vanes juga tetap
menaiki motornya dan yang mengemudikan yaitu Evan.
Dari
tadi Vanes nggak berpegangan pada Evan, dia hanya melipat tangannya dan
menikmati perjalanan ini. Dia ogah buat berpegangan di pinggang Evan, dalam
ingatan Vanes masih teringat jelas perkataan Evan yang menyakiti hatinya waktu
Vanes melabrak Bimo karena selingkuh, sampai saat ini dia belum bisa melupakan
itu semua.
Vanes
emang sensitif hal-hal yang menyangkut seorang ibu, karena dia nggak pernah
merasakan kasih sayang seorang ibu, dia hanya mempunyai Papah yang juga
berperan sebagai Mamah di kehidupan sehari-harinya.
Nggak
sampai 2 jam rombongan itu sampai di Bandung, lalu melanjutkan perjalanan ke
sebuah rumah makan untuk sarapan bersama. Mereka semua mulai memesan makanan
yang akan mereka santap pagi ini.
Vanes,
Kevin, Evan, dan Hana berada di meja yang sama, Kevin bertugas memesan makanan
untuk mereka berempat. Apa yang akan Hana, Evan, dan dirinya sudah tercatat di
otak dan Kevin pergi untuk memesan makanan itu.
Kenapa
Vanes nggak ditanyain mau sarapan apa? Itu karena Vanes sudah membawa makanan
sendiri dari rumah. Dikeluarkannya dua buah roti gandum dari dalam tas dan juga
sekotak susu cair faforitnya. Evan terlihat keheranan dengan menu sarapan Vanes
yang cuman roti dan susu aja. Daripada terlihat menganga, Evan buru-buru
menikmati kopi hangatnya itu. Seperti halnya Vanes yang gila akan susu cair,
Evan juga sama pokoknya nggak ada hari tanpa kopi. Paling tidak setiap sarapan
ada kopi yang menemaninya.
Sarapan
selesai sarapan mereka kembali ke formasi seperti yang tadi, kali ini mereka
menuju kawah putih.
_+++_
Hana
benar-benar menempel pada Evan, sedangkan Kevin dan Vanes lagi asyik berburu
moment untuk diabadikan di kamera masing-masing. Hari ini Evan kembali melihat
sosok Vanes yang berbeda, Vanes kali ini lebih tenang dan nggak banyak ngomong,
Vanes juga terlihat serius dengan apa yang dia lakukan nggak seperti yang
sering dilihatnya dikampus, Vanes yang acuh dengan semua hal.
Hari
makin malam. Saatnya untuk makan malam.
Mereka
berhenti disebuah rumah makan lagi, hampir sama seperti tempat mereka sarapan
tadi pagi. Kevin, Evan, dan Hana duduk bersama, sedangkan Vanes lagi ke toilet
untuk cuci muka.
Pelayan
datang menghampiri ketiganya dan mulai mencatat pesanan mereka, nggak begitu
lama kemudian Vanes juga datang dan langsung duduk di kursi yang ada diantara
Kevin dan Hana.
“Ada
mie ayam? atau pasta? Atau ada mie rebus?”, tanya Vanes dengan nada penuh
harap.
Pelayan
itu mulai berfikir, “Kalau mie rebus bisa kita siapkan”, jawab pelayan itu
meyakinkan.
Vanes
terlihat senang, “Kalau gitu mie rebus terus di kasih telur ayam tapi putihnya
aja, sama dikasih sawi, jangan pakai pedes!”, ucap Vanes menjelaskan apa yang
dia mau.
Hana,
Kevin, dan Evan di buat tercengang, permintaan Vanes yang aneh. Tadi siang dia
memilih untuk makan mie ayam dan untuk makan malam kali ini dia memilih untuk
makan mie rebus campur telur dan sawi.
“Loe
nggak apa-apa makan mie melulu?”, tanya Kevin agak khawatir.
Lalu
dikibaskan tangannya, “Tenang aja, ini sudah biasa”, jawab Vanes enteng tanpa
beban.
Makanan
datang dan mereka mulai menikmati itu semua.
Saatnya
untuk pulang, mereka semua harus kembali ke Jakarta malam ini juga.
“Loe
pasti capek, sini biar gantian gue yang didepan”, kata Vanes mencoba
bernegosiasi dengan Evan untuk bertukar posisi.
Tapi
Evan menolaknya, karena sudah minum kopi tadi dia merasa segar dan pasti
sanggup sampai ke Jakarta tanpa rasa kantuk.
Mereka
semua harus lebih berhati-hati karena jalan yang mereka leati malam ini licin
akibat gerimis yang mengguyur Bandung sore tadi. Tentu saja mereka semua
mengutamakan keselamatan, jadi nggak perlu terburu-buru untuk sampai di
Jakarta.
Dan
tiba-tiba, ‘SLAAARRRK! BRAAK!!’.
“Awas!”
teriak Vanes keras.
‘BRAAK!’.
Motor
yang ada didepan Evan dan Vanes gagal menghindari lubang jalan, motor yang ada
didepannya itu jatuh dan terseret cukup jauh lalu menghantam pembatas jalan.
Sedangkan Evan dan Vanes yang tepat ada dibelakang motor yang tadi nggak bisa
mengendalikan motor dengan baik, walaupun sudah mengerem tapi karena jalan yang
licin membuat Evan dan Vanes jatuh juga.
Evan
jatuh hingga terguling-guling beberapa meter di trotoar, sedangkan Vanes jatuh
di aspal, dengan tumpuan pertamanya yaitu siku kirinya setelah itu kepalanya
terbentur ke aspal hingga helmnya terlepas. Nggak disangka-sangka motornya
jatuh dan menimpa kaki kiri Vanes. Tapi saat itu Vanes nggak langsung hilang
kesadaran, dia masih terjaga dan sadar dengan peristiwa tersebut.
Teman-temannya
yang lain segera berhenti dan menolong korban. Pengendara motor yang ada
didepan Evan dan Vanes sudah mendapatkan pertolongan dari temn-temannya. Evan
juga langsung ditolong Hana dan beberapa teman lainnya.
“Loe
jangan banyak bergerak, kita mau angkat motor loe dulu!”, ucap Kevin pada Vanes
yang meringis kesakitan.
Evan
yang merasa dirinya nggak apa-apa ingin sekali menolong Vanes tapi buru-buru di
halangi oleh ketua touring karena Evan mendapat luka lecet cukup banyak dan
harus diobati. Rekan-rekan yang lain mencoba menelfon ambulans agar datang
secepatnya.
Pelipis
kiri Vanes mengeluarkan dara cukup banyak, karena siku kirinya terbentur aspal,
Vanes nggak bisa menggerakkan tangan kirinya, dan kaki kirinya juga nggak bisa
digerakkan, tapi dalam kondisi itu Vanes masih sadar dan nggak pingsan.
“Kapan
ambulansnya datang?”, teriak Kevin karena khawatir dengan teman-temannya yang
terluka.
Karena
belum juga ada tanda-tanda dari ambulans yang datang, beberapa anggota touring
yang lain mencoba menghentikan mobil yang berlalu lalang untuk meminta bantuan.
Akhirnya
ada sebuah mobil pick up yang baru saja
selesai mengantarkan sayur berhenti dan mau menolong mereka. Teguh dan Wendra
yang tadi jatuh duluan langsung dinaikkan ke mobil itu dengan keadaan nggak
sadarkan diri. Evan juga dibawa naik mobil itu, dan Vanes juga harus segera
mendapatkan perawatan jadi dia juga harus naik ke mobil itu. Dia digendong
Kevin naik ke bak pick up mobil sayur itu.
Nggak
terasa Vanes meneteskan air mata karena sedih melihat keadaan Teguh dan Wendra
yang terlihat parah dengan luka yang bertebaran dimana-mana. Kevin dan Gagah si
kapten touring ini mencoba menyelimuti Teguh dan Wendra agar tidak kedinginan
dan terus menjaga kedunya serta mengontrol denyut nadi mereka. Vanes meringis
kesakitan, Evan sangat khawatir dibuatnya tapi dia nggak bisa berbuat apa-apa.
Sampai
juga mereka dirumah sakit.
Mobil
ambulans yang harusnya datang untuk mereka ternyata baru siap di pintu utama.
Tapi
kemudian dengan cepat para dokter dan perawat mulai menangani para korban
kecelakaan tersebut. Saat digendong turun dari mobil Vanes pingsan karena sudah
nggak kuat lagi menahan sakit yang menderanya.
Tepat
jam 12 tengah malam.
Vanes
bangun dari pingsannya, dia mulai membuka matanya pelan-pelan lalu dia
menutupnya kembali karena silau dengan lampu di ruangan itu lalu dia mencoba
membuka matanya kembali.
Dia
melihat ada Papah, Evan, Kevin, dan juga Gagah. Semuanya khawatir dengan Vanes
yang menjadi satu-satunya korban cewek, tapi nggak disangka-sangka Vanes malah
menebarkan senyum pada orang-orang yang menungguinya itu, “Nggak usah masang
wajah angker gitu. Gue baik-baik aja”, ucap Vanes lemah.
“Loe
itu yah selalu aja seperti ini. Berhubung loe sudah sadar dan bisa ketawa, gue
lihat kondisi Teguh dan Wendra dulu ya”, pamit Gagah pada Vanes.
Setelah
Vanes mengangguk, Gagah segera keluar dari ruangan itu menuju ruang tempat
Teguh dan Wendra berada. Kevin juga ikut-ikutan pergi menyusul Gagah.
“Loe
baik-baik aja kan?”, tanya Vanes pada Evan yang terlihat syok.
“Harusnya
gue yang tanya itu sama loe. Apa loe baik-baik aja?”, Evan balik tanya.
Vanes
nggak menjawabnya, dia mencoba untuk duduk dan langsung mendapat bantuan dari
Papahnya. “Pulang yuk Pah”, ajak Vanes.
Papah
malah mencubit kedua pipi Vanes, “Kamu itu nggak baik-baik aja. Kaki kamu
itu...”.
Belum
sempat menyelesaikan kalimatnya Vanes langsung memotong pembicaraan,
“Pergelangan kaki kiri retak, tulang kering retak parah, siku kiri retak juga,
pelipis kiri dijahit”, Vanes menjelaskan luka-luka yang dideritanya. “Alhamdulillah
Vanes masih hidup”, lanjut Vanes riang.
Papah
dan Evan benar-benar dibuat tercengang dengan sikap Vanes yang terkesan
biasa-biasa aja menghadapi lukanya itu.
“Ayo
Pah, kita pulang”, rengek Vanes meminta untuk pulang.
“Nggak!”,
jawab Papah tegas, “Setidaknya besok kita baru pulang”, lanjut Papah.
***5***
Bersambung ke Coffee Milk [Part 6]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar