•☺• Selamat Datang di Rumah Cerita 'Blognya mahasiswa TI yang lebih suka menulis cerita' <<<<<•☺•ECHY FACTS•☺•>>>>> Gue suka FC Barcelona •☺• Golongan darah gue A •☺• Lebih suka film genre Thriler daripada Horror •☺• Jangan lupa follow twitter Echy @cieEchy •☺• Echy itu Mandiri dalam arti sebenarnya dan juga dalam arti mandi sendiri •☺• Pengin punya Apartemen, moga kesampean #AMIN •☺• Penampilan Kampungan Wawasan Internasional •☺• Lebih suka ngelamun daripada ngelantur •☺•

Sabtu, 01 Oktober 2011

Coffee Milk [Part 6]


Jam 06.00 wib. Matahari sudah bersinar cerah. Vanes dan Evan berada di ruang perawatan yang sama. Keduanya masih tertidur karena pengaruh obat pengurang rasa sakit yang mereka konsumsi tadi malam.
Makanan untuk keduanya sudah siap di meja masing-masing. Nasi, sayur, daging, lauk pauk, dan segelas susu putih sudah siap dinikmati. Akhirnya Evan terbangun dari tidurnya.
“Kamu sudah bangun? Ayo cepat makan dulu” ucap Papah Vanes perhatian.
Evan menarik meja mendekat kearahnya, sebelum makan dia melihat kearah Vanes yang belum juga bangun dan dia sangat merasa bersalah atas peristiwa yang menimpanya serta Vanes, “Maaf. Maaf om, Evan sudah buat Vanes terluka seperti tiu”, ucap Evan tulus dengan mata yang berkaca-kaca.
Papah berjalan mendekati Evan dan duduk disampingnya, “Nggak perlu minta maaf, ini bukan kesalahan kamu. Nggak ada yang salah di peristiwa ini”, ucap Papah bijak.
Itu membuat Evan sedikit lega setelah mendengar jawaban itu, lalu di melanjutkan kembali menyantap sarapannya. Luka yang Evan derita nggak begitu parah, malah bisa dibilang nggak apa-apa karena Evan cuman mengalami lecet di tangan dan kakinya serta wajahnya, itupun hanya beberapa titik. Nggak sampai harus dijahit ataupun di gips.
“Apa kamu sudah kasih kabar sama orang tua kamu?”, tanya Papah pada Evan yang lagi makan.
Evan menggelengkan kepalanya, “Nggak perlu om. Lagian Evan baik-baik aja, nggak terluka”, jawab Evan sambil melemparkan senyuman ringannya untuk Papahnya Vanes.
Nggak lama kemudian Vanes bangun dari tidurnya lantas dia mencoba untuk duduk.
“Sayang, kamu sudah bangun. Gimana keadaan kamu?”, tanya Papah perhatian.
“Baik-baik aja Pah”, jawab Vanes enteng. “Ada makanan nggak Pah? Laper nih”, ucap Vanes kelaparan.
Papah langsung meraih kantong plastik yang dibawanya dari Jakarta, “Papah sudah bisa baca situasi, jadi Papah nggak perlu repot-repot nyari kesana kemari, menu sarapan wajib kamu sudah Papah siapkan”, ucap Papah sambil mengeluarkan satu pack roti tawar gandum, dan beberapa kotak susu faforit Vanes.
“Papahku hebat!”, ucap Vanes riang yang langsung menghadiahkan kecupan dipipi untuk Papahnya tersayang.
Sementara Papah membukakan kemasan roti Vanes meledek Evan yang terlihat lahap dengan menu sarapan pagi ini, “Gimana rasanya? Enak?”, tanya Vanes.
Tentu saja Evan langsung menggelengkan kepalanya, “Hambar”, jawabnya singkat.
Vanes tertawa tanpa rasa beban, “Kalau mau nambah, makan aja nih jatah gue”, lanjut Vanes.
“Loe nggak makan makanan itu?”, tanya Evan penasaran.
Vanes mengacuhkan pertanyaan dari Evan, dia serius dengan roti gandum yang ada ditangannya, dia melahapnya dengan semangat.
“Vanes nggak makan nasi”, jawab Papah menggantikan Vanes.
“Nggak makan nasi?”, tanya Evan nggak percaya dengan apa yang didengarnya.
Papah merubah posisi duduknya, dia sekarang duduk diantara ranjang Vanes dan Evan lalu kembali menjelaskan pada Evan, “Iya, Vanes nggak makan nasi. Dari kecil sampai sekarang dia nggak pernah bisa makan nasi. Entah karena apa om juga nggak tahu, yang jelas waktu anak-anak seumurannya sudah bisa makan nasi dia malah asyik dengan pisang dan biskuit bayi dan nggak pernah mau untuk menyentuh nasi”, Papah mencoba menjelaskan.
Setelah meminum susu kotaknya Vanes memotong pembicaraan Papah dengan Evan, “Nggak perlu diceritain semuanya kali Pah”, timpal Vanes nggak terima.
“Iya iya. Sudah kok”, ucap Papah menanggapi Vanes.
Nggak lama kemudian dateng seorang dokter dan seorang perawat yang akan mengontrol kondisi Evan dan Vanes. Kata dokter Evan sudah nggak kenapa-napa dan sudah bisa pulang, luka di pelipis Evan juga nggak terlalu parah serta nggak perlu dijahit. Sedangkan Vanes, kata dokter gips di kaki Vanes baru bisa di lepas satu bulan lagi, gips di tangan Vanes bisa di lepas tiga minggu lagi, dan masalah jahitan di pelipisnya itu sudah nggak apa-apa, jahitannya sudah mulau kering dan dua hari lagi jahitannya sudah bisa di lepas.
“Kalau gitu sudah bisa pulang kan dok?”, tanya Vanes bersemangat.
Dokter mengembangkan senyum, “Setidaknya lusa kamu baru bisa pulang”.
Vanes mendesah kecewa, “Bosen dok, lagipula tugas kuliah numpuk tuh di rumah”, lanjut Vanes mencoba bernegosiasi.
Pak dokter kembali tertawa karena mendengar pasiennya itu yang rewel.
Sekarang giliran Papah yang bernegosiasi, “Apa boleh Vanes ini dirawat dirumah? Biar dia di tangani sama dokter keluarga saya”, ucap Papah.
Dokter mengangguk dan akan mengurus semuanya.
Sementara Papah mengurus administrasi, Vanes ditinggal di ruang perawatan bersama dengan Evan. Keduanya terlihat canggung kalau cuman berdua, tahu sendiri mereka di kampus nggak pernah akur apalagi perkataan Evan tempo lalu yang tertuju buat Vanes, masih terasa dalam ingatan. Tapi Evan nggak mau membiarkan ruangan itu sunyi, dia mencoba mengawali pembicaraan tapi dia langsung menutup mulutnya lagi karena hpnya Vanes berdering.
“Vaneess”, teriak dua orang cewek diseberang sana.
Ternyata itu telfon dari Anis dan juga Tasya, mereka berdua lagi ada di kantin karena kuliah belum mulai. Keduanya sangat khawatir waktu denger cerita Hana tentang peristiwa kecelakaan yang dialami rombongan touring Vanes, jadi karena khawatir dengan kondisi Vanes mereka langsung menghubungi Vanes.
“Gue baik-baik aja”, jawab Vanes bersemangat.
Disisi lain Evan mulai ngedumel mengomentari perkataan Vanes, “Gue yang baik-baik aja ngerasa sakit gini apa lagi loe yang pake gips dimana-mana”, ucap Evan lirih.
Samar-samar Vanes mendengarnya walau terdengar nggak jelas jadi dia hanya main mata dengan Evan untuk menanyakan maksud perkataannya tadi, tapi Evan hanya mengangkat kedua bahunya untuk mengelak. Tapi ya sudahlah.
“Loe masih lama buat dirawat di Bandung? Kita ingin lihat kondisi loe”, lanjut Tasya.
“Nggak. Nggak usah kesini, siang ini gue sudah pulang. Jadi jenguknya di rumah aja ya”, jawab Vanes.
Jam 13.00 wib.
Vanes menaiki kursi roda menuju parkiran, dia sudah berpamitan dengan Gagan serta Kevin yang masih disitu buat menjaga Teguh serta Wendra. Siang ini Evan ikut pulang bersama Vanes dan Papahnya. Papah mendorong kursi roda yang dinaiki Vanes, sementara itu Evan sudah ada diparkiran karena tadi dia membawakan tas miliknya dan milik Vanes untuk ditaruh di bagasi mobil.
“Mang Ecep, gimana kabarnya?”, sapa Vanes sesampainya di parkiran.
Mang Ecep itu supirnya Papah sekaligus tukang kebun di rumah. Tentu saja Mang Ecep harus menjawab sapaan dari Vanes. Setelah itu di membukakan pintu mobil Alphard hitam yang kali ini Papah naiki ke Bandung. Pintu terbuka, Vanes mencoba berdiri tapi nggak boleh sama Papah, lalu dia digendong dan didudukkan didalam mobil.
Semuanya sudah siap, saatnya buat kembali ke Jakarta.
“Gue punya supir lagi”, ucap Vanes sambil bersandar dipintu mobil dan melihat keluar.
Mang Ecep tertawa, “Mang Ecep bakalan nganterin kemanapun non mau pergi”, kata mang Ecep nyautin.
Suasana kembali sunyi, Papah terlihat tertidur karena kecapekan menjaga Vanes dari semalem. Mang Ecep serius menyetir. Evan juga diam saja sembari terus memandang keluar jendela mobil. Dan Vanes malah bermain, dia membuat embuh di kaca mobil lalu menuliskan ‘love mom n dad’ dan tersenyum melihat tulisan itu.
Karena terdengar suara berisik Vanes, Evan memalingkan wajahnya melihat kearah Vanes yang masih tersenyum sambil memandangi tulisan yang dibuatnya tadi, “Maaf”, ucap Evan dalam hati.
_+++_
Sampai juga di rumah, ternyata Anis dan Tasya sudah ada disitu untuk menyambut Vanes.
“Vaness”, teruak Anis dan Tasya bersamaan seraya berlari menghampiri Vanes yang kini sudah duduk di kursi roda.
Vanes tersenyum pada kedua sahabatnya itu.
“Wah wah, kaki loe kenapa ini? Terus tangan kiri loe kenapa ini? Haduh, pelipis loe juga kenapa di perban gitu?”, Tasya langsung bertanya sejadi-jadinya setlah melihat kondisi Vanes.
Anis menghampiri Papah Vanes, “Biar Anis aja om yang anterin Vanes kedalam”,.
“Nitip Vanes ya”, ucap Papah singkat.
Papah membantu mang Ecep membawa tas Vanes kedalam rumah, Anis mendorong kursi roda Vanes memasuki rumah, beserta mereka ada Tasya.
Ketiganya selalu akrab. Mereka akrab gini bukan berarti nggak pernah ada masalah. Justru karena sering menghadapi masalah, mereka jadi makin akrab seperti ini. Kalau ada masalah pasti mereka membicarakannya bersama-sama dan selalu mencoba solusi yang baik serta nggak merugikan satu sama lain.
Pernah waktu SMA dulu Tasya pacaran sama cowok dan ternyata cowok itu juga pacaran sama Anis, itu benar-benar membuat mereka pecah, mereka benar-benar menjadi musuh, Vanes nggak bisa memihak salah satu diantara keduanya. Dia benar-benar dilema menghadapi masalah itu, tapi akhirnya dia berhasil mempersatukan kembali sahabat-sahabatnya itu. Sampai sekarang Vanes, Anis, dan Tasya nggak terpisahkan.
***6***






Bersambung ke Coffee Milk [Part 7]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...