Jam
06.00 wib. Matahari sudah bersinar cerah. Vanes dan Evan berada di ruang
perawatan yang sama. Keduanya masih tertidur karena pengaruh obat pengurang
rasa sakit yang mereka konsumsi tadi malam.
Makanan
untuk keduanya sudah siap di meja masing-masing. Nasi, sayur, daging, lauk
pauk, dan segelas susu putih sudah siap dinikmati. Akhirnya Evan terbangun dari
tidurnya.
“Kamu
sudah bangun? Ayo cepat makan dulu” ucap Papah Vanes perhatian.
Evan
menarik meja mendekat kearahnya, sebelum makan dia melihat kearah Vanes yang
belum juga bangun dan dia sangat merasa bersalah atas peristiwa yang menimpanya
serta Vanes, “Maaf. Maaf om, Evan sudah buat Vanes terluka seperti tiu”, ucap
Evan tulus dengan mata yang berkaca-kaca.
Papah
berjalan mendekati Evan dan duduk disampingnya, “Nggak perlu minta maaf, ini
bukan kesalahan kamu. Nggak ada yang salah di peristiwa ini”, ucap Papah bijak.
Itu
membuat Evan sedikit lega setelah mendengar jawaban itu, lalu di melanjutkan
kembali menyantap sarapannya. Luka yang Evan derita nggak begitu parah, malah
bisa dibilang nggak apa-apa karena Evan cuman mengalami lecet di tangan dan
kakinya serta wajahnya, itupun hanya beberapa titik. Nggak sampai harus dijahit
ataupun di gips.
“Apa
kamu sudah kasih kabar sama orang tua kamu?”, tanya Papah pada Evan yang lagi
makan.
Evan
menggelengkan kepalanya, “Nggak perlu om. Lagian Evan baik-baik aja, nggak
terluka”, jawab Evan sambil melemparkan senyuman ringannya untuk Papahnya
Vanes.
Nggak
lama kemudian Vanes bangun dari tidurnya lantas dia mencoba untuk duduk.
“Sayang,
kamu sudah bangun. Gimana keadaan kamu?”, tanya Papah perhatian.
“Baik-baik
aja Pah”, jawab Vanes enteng. “Ada makanan nggak Pah? Laper nih”, ucap Vanes
kelaparan.
Papah
langsung meraih kantong plastik yang dibawanya dari Jakarta, “Papah sudah bisa
baca situasi, jadi Papah nggak perlu repot-repot nyari kesana kemari, menu
sarapan wajib kamu sudah Papah siapkan”, ucap Papah sambil mengeluarkan satu
pack roti tawar gandum, dan beberapa kotak susu faforit Vanes.
“Papahku
hebat!”, ucap Vanes riang yang langsung menghadiahkan kecupan dipipi untuk
Papahnya tersayang.
Sementara
Papah membukakan kemasan roti Vanes meledek Evan yang terlihat lahap dengan
menu sarapan pagi ini, “Gimana rasanya? Enak?”, tanya Vanes.
Tentu
saja Evan langsung menggelengkan kepalanya, “Hambar”, jawabnya singkat.
Vanes
tertawa tanpa rasa beban, “Kalau mau nambah, makan aja nih jatah gue”, lanjut
Vanes.
“Loe
nggak makan makanan itu?”, tanya Evan penasaran.
Vanes
mengacuhkan pertanyaan dari Evan, dia serius dengan roti gandum yang ada
ditangannya, dia melahapnya dengan semangat.
“Vanes
nggak makan nasi”, jawab Papah menggantikan Vanes.
“Nggak
makan nasi?”, tanya Evan nggak percaya dengan apa yang didengarnya.
Papah
merubah posisi duduknya, dia sekarang duduk diantara ranjang Vanes dan Evan
lalu kembali menjelaskan pada Evan, “Iya, Vanes nggak makan nasi. Dari kecil
sampai sekarang dia nggak pernah bisa makan nasi. Entah karena apa om juga
nggak tahu, yang jelas waktu anak-anak seumurannya sudah bisa makan nasi dia
malah asyik dengan pisang dan biskuit bayi dan nggak pernah mau untuk menyentuh
nasi”, Papah mencoba menjelaskan.
Setelah
meminum susu kotaknya Vanes memotong pembicaraan Papah dengan Evan, “Nggak
perlu diceritain semuanya kali Pah”, timpal Vanes nggak terima.
“Iya
iya. Sudah kok”, ucap Papah menanggapi Vanes.
Nggak
lama kemudian dateng seorang dokter dan seorang perawat yang akan mengontrol
kondisi Evan dan Vanes. Kata dokter Evan sudah nggak kenapa-napa dan sudah bisa
pulang, luka di pelipis Evan juga nggak terlalu parah serta nggak perlu
dijahit. Sedangkan Vanes, kata dokter gips di kaki Vanes baru bisa di lepas
satu bulan lagi, gips di tangan Vanes bisa di lepas tiga minggu lagi, dan
masalah jahitan di pelipisnya itu sudah nggak apa-apa, jahitannya sudah mulau
kering dan dua hari lagi jahitannya sudah bisa di lepas.
“Kalau
gitu sudah bisa pulang kan dok?”, tanya Vanes bersemangat.
Dokter
mengembangkan senyum, “Setidaknya lusa kamu baru bisa pulang”.
Vanes
mendesah kecewa, “Bosen dok, lagipula tugas kuliah numpuk tuh di rumah”, lanjut
Vanes mencoba bernegosiasi.
Pak
dokter kembali tertawa karena mendengar pasiennya itu yang rewel.
Sekarang
giliran Papah yang bernegosiasi, “Apa boleh Vanes ini dirawat dirumah? Biar dia
di tangani sama dokter keluarga saya”, ucap Papah.
Dokter
mengangguk dan akan mengurus semuanya.
Sementara
Papah mengurus administrasi, Vanes ditinggal di ruang perawatan bersama dengan
Evan. Keduanya terlihat canggung kalau cuman berdua, tahu sendiri mereka di
kampus nggak pernah akur apalagi perkataan Evan tempo lalu yang tertuju buat
Vanes, masih terasa dalam ingatan. Tapi Evan nggak mau membiarkan ruangan itu
sunyi, dia mencoba mengawali pembicaraan tapi dia langsung menutup mulutnya
lagi karena hpnya Vanes berdering.
“Vaneess”,
teriak dua orang cewek diseberang sana.
Ternyata
itu telfon dari Anis dan juga Tasya, mereka berdua lagi ada di kantin karena
kuliah belum mulai. Keduanya sangat khawatir waktu denger cerita Hana tentang
peristiwa kecelakaan yang dialami rombongan touring Vanes, jadi karena khawatir
dengan kondisi Vanes mereka langsung menghubungi Vanes.
“Gue
baik-baik aja”, jawab Vanes bersemangat.
Disisi
lain Evan mulai ngedumel mengomentari perkataan Vanes, “Gue yang baik-baik aja
ngerasa sakit gini apa lagi loe yang pake gips dimana-mana”, ucap Evan lirih.
Samar-samar
Vanes mendengarnya walau terdengar nggak jelas jadi dia hanya main mata dengan
Evan untuk menanyakan maksud perkataannya tadi, tapi Evan hanya mengangkat
kedua bahunya untuk mengelak. Tapi ya sudahlah.
“Loe
masih lama buat dirawat di Bandung? Kita ingin lihat kondisi loe”, lanjut
Tasya.
“Nggak.
Nggak usah kesini, siang ini gue sudah pulang. Jadi jenguknya di rumah aja ya”,
jawab Vanes.
Jam
13.00 wib.
Vanes
menaiki kursi roda menuju parkiran, dia sudah berpamitan dengan Gagan serta
Kevin yang masih disitu buat menjaga Teguh serta Wendra. Siang ini Evan ikut
pulang bersama Vanes dan Papahnya. Papah mendorong kursi roda yang dinaiki
Vanes, sementara itu Evan sudah ada diparkiran karena tadi dia membawakan tas
miliknya dan milik Vanes untuk ditaruh di bagasi mobil.
“Mang
Ecep, gimana kabarnya?”, sapa Vanes sesampainya di parkiran.
Mang
Ecep itu supirnya Papah sekaligus tukang kebun di rumah. Tentu saja Mang Ecep
harus menjawab sapaan dari Vanes. Setelah itu di membukakan pintu mobil Alphard
hitam yang kali ini Papah naiki ke Bandung. Pintu terbuka, Vanes mencoba
berdiri tapi nggak boleh sama Papah, lalu dia digendong dan didudukkan didalam
mobil.
Semuanya
sudah siap, saatnya buat kembali ke Jakarta.
“Gue
punya supir lagi”, ucap Vanes sambil bersandar dipintu mobil dan melihat
keluar.
Mang
Ecep tertawa, “Mang Ecep bakalan nganterin kemanapun non mau pergi”, kata mang
Ecep nyautin.
Suasana
kembali sunyi, Papah terlihat tertidur karena kecapekan menjaga Vanes dari
semalem. Mang Ecep serius menyetir. Evan juga diam saja sembari terus memandang
keluar jendela mobil. Dan Vanes malah bermain, dia membuat embuh di kaca mobil
lalu menuliskan ‘love mom n dad’ dan tersenyum melihat tulisan itu.
Karena
terdengar suara berisik Vanes, Evan memalingkan wajahnya melihat kearah Vanes
yang masih tersenyum sambil memandangi tulisan yang dibuatnya tadi, “Maaf”,
ucap Evan dalam hati.
_+++_
Sampai
juga di rumah, ternyata Anis dan Tasya sudah ada disitu untuk menyambut Vanes.
“Vaness”,
teruak Anis dan Tasya bersamaan seraya berlari menghampiri Vanes yang kini
sudah duduk di kursi roda.
Vanes
tersenyum pada kedua sahabatnya itu.
“Wah
wah, kaki loe kenapa ini? Terus tangan kiri loe kenapa ini? Haduh, pelipis loe
juga kenapa di perban gitu?”, Tasya langsung bertanya sejadi-jadinya setlah
melihat kondisi Vanes.
Anis
menghampiri Papah Vanes, “Biar Anis aja om yang anterin Vanes kedalam”,.
“Nitip
Vanes ya”, ucap Papah singkat.
Papah
membantu mang Ecep membawa tas Vanes kedalam rumah, Anis mendorong kursi roda
Vanes memasuki rumah, beserta mereka ada Tasya.
Ketiganya
selalu akrab. Mereka akrab gini bukan berarti nggak pernah ada masalah. Justru
karena sering menghadapi masalah, mereka jadi makin akrab seperti ini. Kalau
ada masalah pasti mereka membicarakannya bersama-sama dan selalu mencoba solusi
yang baik serta nggak merugikan satu sama lain.
Pernah
waktu SMA dulu Tasya pacaran sama cowok dan ternyata cowok itu juga pacaran
sama Anis, itu benar-benar membuat mereka pecah, mereka benar-benar menjadi
musuh, Vanes nggak bisa memihak salah satu diantara keduanya. Dia benar-benar
dilema menghadapi masalah itu, tapi akhirnya dia berhasil mempersatukan kembali
sahabat-sahabatnya itu. Sampai sekarang Vanes, Anis, dan Tasya nggak
terpisahkan.
***6***Bersambung ke Coffee Milk [Part 7]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar