Hari
ini Vanes akan memaksakan dirinya untuk berangkat, padahal dia masih sangat
susah untuk berjalan walaupun dengan bantuan kruk, tapi yang namanya Vanes
semakin dilarang maka dia akan makin menentang. Papah membiarkan Vanes
berangkat dengan Mang Ecep dan menyuruh mang Ecep agar terus ada dikampus untuk
menjaga Vanes.
Mang
Ecep menurunkan Vanes di depan kampus, lalu meninggalkannya sebentar karena dia
harus memarkirkan mobil. Benar-benar terlihat payah, Vanes susah menggunakan
kruknya. Karena tangan kirinya masih dibalut gips jadi tangan kananya yang
harus memakai kruk.
Evan
yang baru saja selesai memarkirkan mobilnya melihat Vanes yang kesulitan
menaiki tangga menuju pintu utama kampus, jadi dia berlari dengan cepat untuk
menjangkau Vanes. Dia langsung merangkul Vanes dan mencoba membantu Vanes
berjalan.
“Nggak
perlu, gue bisa sendiri”, Vanes melepaskan tangan Evan yang merangkulnya.
Tanpa
menanggapi apa-apa Evan kembali membantu Vanes berjalan.
Dan
itu membuat Vanes makin nggak nyaman, dia nggak suka dikasihani seperti itu.
“Ini
bukan salah loe, jadi loe nggak perlu ngerasa hutang budi dan terus maksa buat
bantu gue!”, teriak Vanes keras pada Evan.
Membuat
orang-orang yang ada disekitar mereka semakin memperhatikan mereka, pandangan
orang-orang begitu tajam.
“Biar
gue aja”, ucap seseorang yang tiba-tiba menggendong Vanes dengan tangannya.
Sekarang
Vanes dalam gendongan cowok keren dan cool itu. Vanes diam seribu bahasa,
wajahnya mencerminkan kondisi syok akibat melihat cowok yang bertubuh atletis
itu. Sementara itu Evan yang membawa kruk terdiam juga tanpa berbuat apa-apa,
dia merasakan ada sesuatu yang berkecamuk dihatinya setelah melihat Vanes
bersama laki-laki lain yang nggak dikenalnya sama sekali.
Cukup
lama Evan ada disitu, membuat orang terus memperhatikannya. Tapi beberapa saat
kemudian Evan tersadar, lalu mengejar Vanes yang tadi dibawa kabur seorang
cowok tadi. Dia mencari kesana-kemari. Sampai akhirnya dia menemukan Vanes dan
cowok itu yang lagi duduk didepan kelas Vanes yang masih terkunci rapat.
“Gue
balik kesini demi loe, cuman demi loe, Vanesia!”, teriak cowok itu.
Terlihat
Vanes acuh dengan cowok itu sekarang, “Loe nggak perlu repot-repot seperti itu,
gue sudah bisa ngelupain loe. Dan gue harap loe nggak usah muncul lagi
dihadapan gue!”, ucap Vanes nggak kalah ketus tanpa melihat wajah cowok itu.
“Gue sudah ngelupain loe!”, ucap Vanes dengan nada keras.
Melihat
suasana yang lagi nggak memungkinkan, Evan hanya melihat Vanes dan cowok itu,
dia mengurungkan niatnya untuk mengembalikan kruk milik Vanes.
Coeok
itu berlutut dihadapan Vanes lalu dipegangnya erat tangan kanan Vanes, tapi
Vanes langsung menepisnya. Tapi cowok itu nggak mau menyerah, kali ini dia
memegang tangan Vanes begitu erat, “Gue mau minta maaf. Gue nggak bermaksud
ninggalin loe gitu aja dulu. Tapi sekarang gue janji, gue bakalan selalu ada
disisi loe. Gue nggak akan pergi lagi”, kata cowok itu dengan nada memelas
banget.
Tapi
hati Vanes nggak bisa luluh begitu aja, dia mencoba melepaskan tangannya lagi dari
genggaman cowok itu, dia benar-benar mencoba untuk lepas tapi kekuatannya nggak
bisa untuk memaksakan itu.
Evan
datang mencengkran erat tangan cowok itu yang lagi menggenggam tangan kanan
Vanes, “Lepasin dia!”, ucap Evan tegas.
Vanes
dibuat terkejut dengan kedatangan Evan yang membantunya, cowok itu tersenyum
sinis lalu melepaskan genggaman tangannya, begitu juga Evan yang kemudian
melepaskan cengkraman tangannya terhadap cowok itu. Tiba-tiba sebuah tinju
keras mendarat di pipi kanan Evan, itu hadiah dari cowok itu.
“Ghara!
Stop!”, teriak Vanes keras.
Membuat
orang-orang yang tadinya mengacuhkan mereka sekarang menaruh perhatian atas
mereka.
“Gue
harap loe sekarang pergi dari sini dan nggak usah lagi ketemu sama gue”, lanjut
Vanes.
Cowok
itu yang bernama Ghara langsung berlutut lagi didepan Vanes, “Nggak, gue nggak
mau pergi. Gue nggak mau pergi tanpa loe”, ucap Ghara dengan nada begitu
memelas.
Sekarang
giliran Evan yang menghadiahkan pukulan untuk Ghara, dan sesaat kemudian
keduanya terlibat dalam perkelahian yang cukup sengit. Sebagian dianatara
orang-orang yang menonton mulai membantu melerai keduanya agar nggak membuat
keributan dikampus. Dari jauh Hana memperhatikan peristiwa itu, dia benar-benar
geram dengan kedua cowok itu yang berantem cuman demi Vanes yang benar-benar
menjadi musuhnya.
_+++_
Tasya
dan Anis baru sampai di kampus, keduanya berjalan bersama-sama menuju kelas.
Dibelakang mereka ada Evan, Bimo, dan beberapa teman-teman sekelasnya. Karena
belum melihat sosok Vanes datang ke kampus, Anis memutuskan untuk menelfon
Vanes diperlajanannya menuju kelas.
“Jadi
loe nggak masuk hari ini?”, tanya Anis terlihat lesu.
“Iya.
Hari ini gips ditangan gue mau dilepas. Tapi nanti siang kesini ya, bawain juga
steak tenderloin dari restorannya Tasya itu, gue pengin makan itu”, ucap Vanes
yang manja kali ini.
“Steak
tenderloin ukuran besar akan kami antarkan siang nanti. Jaga diri di rumah ya
sayangku Vanes”, ucap Anis menutup percakapan mereka.
Tasya
yang nggak ikut mendengar suara Vanes menanyakan apa maksudnya tentang steak
itu, yang tadi Anis katakan.
“Dia
minta dibawain steak yang waktu itu kita makan di restoran loe”, lanjut Anis
menjelaskan pada Tasya.
“Ok.
Siap!”, jawab Tasya menyanggupi, “Apasih yang nggak buat dia”, lanjut Tasya.
Dari
jauh Evan terus memperhatikan percakapan keduanya, dia menyimpan informasi itu
diotaknya. Kemudian dia dan teman-temannya melanjutkan perjalanan ke kelasnya
lagi, mereka harus belok kekanan, melewati lorong tempat loker.
“Gak
asyik loe Evan. Kopi cuman satu cup. Harusnya ngitung temen-temen loe ini dulu,
baru beli kopi”, ledek Bimo yang ngiler dengan ice Americano yang sekarang
menyegarkan tenggorokannya Evan
Nggak
menjawab apa-apa, Evan melanjutkan menikmati ice Americano nya yang begitu
nikmat. Farian coffee ini juga merupakan coffee faforit Evan selain espresso.
Pada intinya sih, apa aja farian coffee dia suka. Mau itu ice Americano atau
hot Americano, Mocha, Caramel Latte, Espresso, dan yang lainnya, dia menikmati
itu semua. Dia penggemar kopi, penikmat kafein.
_+++_
Siang
hari ini rumah Vanes terlihat sepi. Setelah memparkirkan mobil dengan tepat,
Evan berjalan menuju mang Ecep yang lagi sibuk memotong rumput, dia menanyakan
apakan Vanes ada di rumah. Tentu saja mang Ecep menjawab ada, kerena Vanes
belum bisa berkeliaran sendiri karena kakinya yang masih di gips. Mang Ecep
menyuruh Evan buat langsung masuk aja kerumah karena Vanes juga ada didalam,
Vanes lagi main PS sendirian.
Karena
mendapat ijin lalu di bukakan pintu oleh mang Ecep, Evan yang membawa bungkusan
plastik kali ini masuk ke rumah Vanes. Dia berjalan menuju ruang tengah dimana
Vanes lagi asyik main PS sendirian.
Terdengar
suara langkah kaki orang, Vanes mengira itu Tasya dan Anis yang datang dan
berniat mengagetkannya, tapi Vanes nggak mau kalah jadi dia berniat buat
mengagetkan mereka dulu, “Ya! Kena kalian”, ucap Vanes keras lalu langsung
berhenti karena ternyata bukan Tasya dan Anis yang datang, melainkan Evan.
Sontak
Evan juga terkejut, tapi ya sudahlah. Dia lalu duduk disamping Vanes, dia
bertingkah sok akrab.
“Ngapain
loe kesini?”, tanya Vanes ketus.
Evan
melemparkan senyuman yang menawan untuk Vanes, “Mau kasih ini ke loe”, Evan
menunjukkan apa yang dia bawa, “Steak tenderloin spesial buat loe”, lanjut Evan
sambil memperlihatkan isi bungkusan yang dibawanya.
Tapi
Vanes malah menepis makanan itu dan hampir jatuh karnanya tapi Evan berhasil
menjaga keseimbangannya jadi nggak jatuh, “Nggak perlu. Loe nggak perlu ngasih
kayak ginian buat gue, masalah kecelakaan tempo lalu itu bukan salah loe, jadi
loe nggak perlu ngerasa hutang budi sama gue”, ucap Vanes panjang mengular.
Mendengar
perkataan Vanes, Evan menjadi terdiam. Selama ini dia sangat merasa bersalah
sama apa yang terjadi pada Vanes tapi sampai sekarang dia belum sama sekali
meminta maaf pada Vanes atas kesalahannya itu. Jadi kali ini dia membulatkan
tekadnya untuk meminta maaf pada Vanes dengan tulus.
“Walaupun
itu bukan sepenuhnya salah gue, gue tetep harus minta maaf sama loe”, ucap Evan
serius sambil menatap tajam mata Vanes. “Gue juga mau minta maaf tentang
perkataan gue waktu di kantin, gue nyesel ngomong gitu. Gue nggak tahu kalau
loe itu...”.
Vanes
memotong kaliamat Evan, “Itu sudah nggak penting. Nggak masalah buat gue. Lagi
pula gue sudah sering dapet cemoohan kayak gitu, jadi loe nggak perlu ngerasa
bersalah”, ucap Vanes dengan tulus juga.
Lagi-lagi
Evan terdiam setelah mendengar kalimat dari Vanes tersebut.
“Itu
beneran steak?”, tanya Vanes mengalihkan pembicaraan.
Tentu
Evan mengangguk dengan semangat, “Tentu saja!”, jawabnya pasti.
“Ambil
piring, pisau sama garpu gih di dapur. Kita makan sama-sama disini”, Vanes
memerintah Evan sekaligus mengajaknya untuk makan siang bersama.
Setelah
Vanes menunjukkan arah kedapur, Evan bergegas kesana dan mengambil perlengkapan
untuk mereka berdua. Nggak butuh waktu yang lama Evan sudah kembali dengan
membawa benda-benda yang Vanes sebutkan tadi. Lalu dia juga bertugas
memindahkan steak dari kotak makan ke piring.
“Nih
buat loe”, ucap Evan sambil menyerahkan piring itu pada Vanes.
Kemudian
Vanes meletakkan piring itu dimeja yang ada dihadapannya dan mulai mencoba
untuk mengiris-iris kecil steak itu. Tapi karena tangan kirinya yang belum bisa
kuat memegang sesuatu, dia merasa sulit untuk memotong setak itu. Evan yang
mengetahui hal itu langsung menarik piring Vanes kedepannya, lalu dia mulai
mengiris-ngiris kecil steak untuk Vanes. Setelah selesai Evan mengembalikan
piring itu pada Vanes lagi.
“Terim
kasih”, ucap Vanes singkat.
Lalu
Evan menawarkan carammel mocha pada Vanes, karena dia membeli dua cup reguler coffee
untuk dirinya dan Vanes. Dia memilih ice americano dan carammel mocha. Tapi
Vanes menolaknya, dia nggak suka kopi. Dia juga nggak tahu apa dia pernah minum
kopi atau nggak, yang jelas dia nggak minum kopi, dia nggak suka kopi.
“Nggak.
Gue sudah punya minuman sendiri”, jawab Vanes sambil memamerkan kotak susu cair
yang ada dimeja.
“Loe
nggak suka kopi?”, lanjut Evan.
Vanes
menggeleng sambil terus menikmati steak-nya.
Kembali
Evan menawarkan kopi itu untuk Vanes, dan Vanes masih saja menolak, “Gue nggak
boleh minum kopi, gue alergi kafein”, jawab Vanes sambil menepis cup carammel
mocha itu.
Evan
terdiam. Dalam hatinya, “Apa ada orang yang alergi kopi?”, tanya dia dalam
hati.
“Orang
yang alergi kafein bakal menghasilkan zat kimia yaitu antibodi IgE, yang di
produksi oleh tubuh ketika mengalami reaksi alergi”, Vanes mencoba menjelaskan
tentang alergi yang dimilikinya itu, “Gue bisa sakit kepala, nyeri dihampir
semua bagian wajah, hidung bengkak bahkan bisa membuat gue sulit bernafas. Itu
sebabnya gue lebih memilih susu ketimbang kopi”, penjelasan Vanes yang sudah
seperti dokter saja.
Wawasan
baru untuk Evan yang tadinya nggak ngerti adanya alergi sama kafein.
Nggak
lama kemudian Anis dan Tasya turun dari mobil dan berjalan kearah mang Ecep.
“Mobil
siapa itu mang?”, tanya Anis.
“Oh
mobil itu. Pacarnya non Vanes mungkin, mereka lagi ada didalam. Non berdua
langsung masuk aja, pintunya nggak dikunci”, jawab Mang Ecep yang kemudian
melanjutkan pekerjaannya lagi.
Tasya
dan Anis saling bertatap muka, “Pacar?”, mereka mengatakan kata yang sama.
Diam-diam
mereka masuk ke dalam rumah Vanes.
“Anis,
siapa tuh?”, tanya Tasya lirih.
“Mana
gue tahu”, jawab Anis lirih juga.
Mereka
semakin mendekati Vanes yang masih makan.
Dan
tiba-tiba, “YA! Kena kalian!”, teriak Tasya dan Anis yang membuat Vanes dan
Evan terkejut.
Evan
memandang kearah sumber suara yang mengejutkannya tadi.
“Evan?
Ngapain loe disini?”, teriak Anis dan Tasya lagi. Sekarang giliran Anis dan
Tasya yang terjut melihat Evan ada disitu lagi makan steak bersama dengan
Vanes.
“Gue?
Ya ngejenguk Vanes lah, masa mau ngapain lagi?”, jawab Evan sedikit tergagap.
Niat
Evan emang pengin ngejenguk Vanes. Tapi apa yang dibawanya kali ini untuk Vanes
itu karena dia mendengar percakapan Anis dan Vanes tadi pagi ditelfon sebelum
mereka masuk kekelas.
***7***
Bersambung ke Coffee Milk [Part 8]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar