•☺• Selamat Datang di Rumah Cerita 'Blognya mahasiswa TI yang lebih suka menulis cerita' <<<<<•☺•ECHY FACTS•☺•>>>>> Gue suka FC Barcelona •☺• Golongan darah gue A •☺• Lebih suka film genre Thriler daripada Horror •☺• Jangan lupa follow twitter Echy @cieEchy •☺• Echy itu Mandiri dalam arti sebenarnya dan juga dalam arti mandi sendiri •☺• Pengin punya Apartemen, moga kesampean #AMIN •☺• Penampilan Kampungan Wawasan Internasional •☺• Lebih suka ngelamun daripada ngelantur •☺•

Sabtu, 01 Oktober 2011

Coffee Milk [Part 7]


Hari ini Vanes akan memaksakan dirinya untuk berangkat, padahal dia masih sangat susah untuk berjalan walaupun dengan bantuan kruk, tapi yang namanya Vanes semakin dilarang maka dia akan makin menentang. Papah membiarkan Vanes berangkat dengan Mang Ecep dan menyuruh mang Ecep agar terus ada dikampus untuk menjaga Vanes.
Mang Ecep menurunkan Vanes di depan kampus, lalu meninggalkannya sebentar karena dia harus memarkirkan mobil. Benar-benar terlihat payah, Vanes susah menggunakan kruknya. Karena tangan kirinya masih dibalut gips jadi tangan kananya yang harus memakai kruk.
Evan yang baru saja selesai memarkirkan mobilnya melihat Vanes yang kesulitan menaiki tangga menuju pintu utama kampus, jadi dia berlari dengan cepat untuk menjangkau Vanes. Dia langsung merangkul Vanes dan mencoba membantu Vanes berjalan.
“Nggak perlu, gue bisa sendiri”, Vanes melepaskan tangan Evan yang merangkulnya.
Tanpa menanggapi apa-apa Evan kembali membantu Vanes berjalan.
Dan itu membuat Vanes makin nggak nyaman, dia nggak suka dikasihani seperti itu.
“Ini bukan salah loe, jadi loe nggak perlu ngerasa hutang budi dan terus maksa buat bantu gue!”, teriak Vanes keras pada Evan.
Membuat orang-orang yang ada disekitar mereka semakin memperhatikan mereka, pandangan orang-orang begitu tajam.
“Biar gue aja”, ucap seseorang yang tiba-tiba menggendong Vanes dengan tangannya.
Sekarang Vanes dalam gendongan cowok keren dan cool itu. Vanes diam seribu bahasa, wajahnya mencerminkan kondisi syok akibat melihat cowok yang bertubuh atletis itu. Sementara itu Evan yang membawa kruk terdiam juga tanpa berbuat apa-apa, dia merasakan ada sesuatu yang berkecamuk dihatinya setelah melihat Vanes bersama laki-laki lain yang nggak dikenalnya sama sekali.
Cukup lama Evan ada disitu, membuat orang terus memperhatikannya. Tapi beberapa saat kemudian Evan tersadar, lalu mengejar Vanes yang tadi dibawa kabur seorang cowok tadi. Dia mencari kesana-kemari. Sampai akhirnya dia menemukan Vanes dan cowok itu yang lagi duduk didepan kelas Vanes yang masih terkunci rapat.
“Gue balik kesini demi loe, cuman demi loe, Vanesia!”, teriak cowok itu.
Terlihat Vanes acuh dengan cowok itu sekarang, “Loe nggak perlu repot-repot seperti itu, gue sudah bisa ngelupain loe. Dan gue harap loe nggak usah muncul lagi dihadapan gue!”, ucap Vanes nggak kalah ketus tanpa melihat wajah cowok itu. “Gue sudah ngelupain loe!”, ucap Vanes dengan nada keras.
Melihat suasana yang lagi nggak memungkinkan, Evan hanya melihat Vanes dan cowok itu, dia mengurungkan niatnya untuk mengembalikan kruk milik Vanes.
Coeok itu berlutut dihadapan Vanes lalu dipegangnya erat tangan kanan Vanes, tapi Vanes langsung menepisnya. Tapi cowok itu nggak mau menyerah, kali ini dia memegang tangan Vanes begitu erat, “Gue mau minta maaf. Gue nggak bermaksud ninggalin loe gitu aja dulu. Tapi sekarang gue janji, gue bakalan selalu ada disisi loe. Gue nggak akan pergi lagi”, kata cowok itu dengan nada memelas banget.
Tapi hati Vanes nggak bisa luluh begitu aja, dia mencoba melepaskan tangannya lagi dari genggaman cowok itu, dia benar-benar mencoba untuk lepas tapi kekuatannya nggak bisa untuk memaksakan itu.
Evan datang mencengkran erat tangan cowok itu yang lagi menggenggam tangan kanan Vanes, “Lepasin dia!”, ucap Evan tegas.
Vanes dibuat terkejut dengan kedatangan Evan yang membantunya, cowok itu tersenyum sinis lalu melepaskan genggaman tangannya, begitu juga Evan yang kemudian melepaskan cengkraman tangannya terhadap cowok itu. Tiba-tiba sebuah tinju keras mendarat di pipi kanan Evan, itu hadiah dari cowok itu.
“Ghara! Stop!”, teriak Vanes keras.
Membuat orang-orang yang tadinya mengacuhkan mereka sekarang menaruh perhatian atas mereka.
“Gue harap loe sekarang pergi dari sini dan nggak usah lagi ketemu sama gue”, lanjut Vanes.
Cowok itu yang bernama Ghara langsung berlutut lagi didepan Vanes, “Nggak, gue nggak mau pergi. Gue nggak mau pergi tanpa loe”, ucap Ghara dengan nada begitu memelas.
Sekarang giliran Evan yang menghadiahkan pukulan untuk Ghara, dan sesaat kemudian keduanya terlibat dalam perkelahian yang cukup sengit. Sebagian dianatara orang-orang yang menonton mulai membantu melerai keduanya agar nggak membuat keributan dikampus. Dari jauh Hana memperhatikan peristiwa itu, dia benar-benar geram dengan kedua cowok itu yang berantem cuman demi Vanes yang benar-benar menjadi musuhnya.
_+++_
Tasya dan Anis baru sampai di kampus, keduanya berjalan bersama-sama menuju kelas. Dibelakang mereka ada Evan, Bimo, dan beberapa teman-teman sekelasnya. Karena belum melihat sosok Vanes datang ke kampus, Anis memutuskan untuk menelfon Vanes diperlajanannya menuju kelas.
“Jadi loe nggak masuk hari ini?”, tanya Anis terlihat lesu.
“Iya. Hari ini gips ditangan gue mau dilepas. Tapi nanti siang kesini ya, bawain juga steak tenderloin dari restorannya Tasya itu, gue pengin makan itu”, ucap Vanes yang manja kali ini.
“Steak tenderloin ukuran besar akan kami antarkan siang nanti. Jaga diri di rumah ya sayangku Vanes”, ucap Anis menutup percakapan mereka.
Tasya yang nggak ikut mendengar suara Vanes menanyakan apa maksudnya tentang steak itu, yang tadi Anis katakan.
“Dia minta dibawain steak yang waktu itu kita makan di restoran loe”, lanjut Anis menjelaskan pada Tasya.
“Ok. Siap!”, jawab Tasya menyanggupi, “Apasih yang nggak buat dia”, lanjut Tasya.
Dari jauh Evan terus memperhatikan percakapan keduanya, dia menyimpan informasi itu diotaknya. Kemudian dia dan teman-temannya melanjutkan perjalanan ke kelasnya lagi, mereka harus belok kekanan, melewati lorong tempat loker.
“Gak asyik loe Evan. Kopi cuman satu cup. Harusnya ngitung temen-temen loe ini dulu, baru beli kopi”, ledek Bimo yang ngiler dengan ice Americano yang sekarang menyegarkan tenggorokannya Evan
Nggak menjawab apa-apa, Evan melanjutkan menikmati ice Americano nya yang begitu nikmat. Farian coffee ini juga merupakan coffee faforit Evan selain espresso. Pada intinya sih, apa aja farian coffee dia suka. Mau itu ice Americano atau hot Americano, Mocha, Caramel Latte, Espresso, dan yang lainnya, dia menikmati itu semua. Dia penggemar kopi, penikmat kafein.
_+++_
Siang hari ini rumah Vanes terlihat sepi. Setelah memparkirkan mobil dengan tepat, Evan berjalan menuju mang Ecep yang lagi sibuk memotong rumput, dia menanyakan apakan Vanes ada di rumah. Tentu saja mang Ecep menjawab ada, kerena Vanes belum bisa berkeliaran sendiri karena kakinya yang masih di gips. Mang Ecep menyuruh Evan buat langsung masuk aja kerumah karena Vanes juga ada didalam, Vanes lagi main PS sendirian.
Karena mendapat ijin lalu di bukakan pintu oleh mang Ecep, Evan yang membawa bungkusan plastik kali ini masuk ke rumah Vanes. Dia berjalan menuju ruang tengah dimana Vanes lagi asyik main PS sendirian.
Terdengar suara langkah kaki orang, Vanes mengira itu Tasya dan Anis yang datang dan berniat mengagetkannya, tapi Vanes nggak mau kalah jadi dia berniat buat mengagetkan mereka dulu, “Ya! Kena kalian”, ucap Vanes keras lalu langsung berhenti karena ternyata bukan Tasya dan Anis yang datang, melainkan Evan.
Sontak Evan juga terkejut, tapi ya sudahlah. Dia lalu duduk disamping Vanes, dia bertingkah sok akrab.
“Ngapain loe kesini?”, tanya Vanes ketus.
Evan melemparkan senyuman yang menawan untuk Vanes, “Mau kasih ini ke loe”, Evan menunjukkan apa yang dia bawa, “Steak tenderloin spesial buat loe”, lanjut Evan sambil memperlihatkan isi bungkusan yang dibawanya.
Tapi Vanes malah menepis makanan itu dan hampir jatuh karnanya tapi Evan berhasil menjaga keseimbangannya jadi nggak jatuh, “Nggak perlu. Loe nggak perlu ngasih kayak ginian buat gue, masalah kecelakaan tempo lalu itu bukan salah loe, jadi loe nggak perlu ngerasa hutang budi sama gue”, ucap Vanes panjang mengular.
Mendengar perkataan Vanes, Evan menjadi terdiam. Selama ini dia sangat merasa bersalah sama apa yang terjadi pada Vanes tapi sampai sekarang dia belum sama sekali meminta maaf pada Vanes atas kesalahannya itu. Jadi kali ini dia membulatkan tekadnya untuk meminta maaf pada Vanes dengan tulus.
“Walaupun itu bukan sepenuhnya salah gue, gue tetep harus minta maaf sama loe”, ucap Evan serius sambil menatap tajam mata Vanes. “Gue juga mau minta maaf tentang perkataan gue waktu di kantin, gue nyesel ngomong gitu. Gue nggak tahu kalau loe itu...”.
Vanes memotong kaliamat Evan, “Itu sudah nggak penting. Nggak masalah buat gue. Lagi pula gue sudah sering dapet cemoohan kayak gitu, jadi loe nggak perlu ngerasa bersalah”, ucap Vanes dengan tulus juga.
Lagi-lagi Evan terdiam setelah mendengar kalimat dari Vanes tersebut.
“Itu beneran steak?”, tanya Vanes mengalihkan pembicaraan.
Tentu Evan mengangguk dengan semangat, “Tentu saja!”, jawabnya pasti.
“Ambil piring, pisau sama garpu gih di dapur. Kita makan sama-sama disini”, Vanes memerintah Evan sekaligus mengajaknya untuk makan siang bersama.
Setelah Vanes menunjukkan arah kedapur, Evan bergegas kesana dan mengambil perlengkapan untuk mereka berdua. Nggak butuh waktu yang lama Evan sudah kembali dengan membawa benda-benda yang Vanes sebutkan tadi. Lalu dia juga bertugas memindahkan steak dari kotak makan ke piring.
“Nih buat loe”, ucap Evan sambil menyerahkan piring itu pada Vanes.
Kemudian Vanes meletakkan piring itu dimeja yang ada dihadapannya dan mulai mencoba untuk mengiris-iris kecil steak itu. Tapi karena tangan kirinya yang belum bisa kuat memegang sesuatu, dia merasa sulit untuk memotong setak itu. Evan yang mengetahui hal itu langsung menarik piring Vanes kedepannya, lalu dia mulai mengiris-ngiris kecil steak untuk Vanes. Setelah selesai Evan mengembalikan piring itu pada Vanes lagi.
“Terim kasih”, ucap Vanes singkat.
Lalu Evan menawarkan carammel mocha pada Vanes, karena dia membeli dua cup reguler coffee untuk dirinya dan Vanes. Dia memilih ice americano dan carammel mocha. Tapi Vanes menolaknya, dia nggak suka kopi. Dia juga nggak tahu apa dia pernah minum kopi atau nggak, yang jelas dia nggak minum kopi, dia nggak suka kopi.
“Nggak. Gue sudah punya minuman sendiri”, jawab Vanes sambil memamerkan kotak susu cair yang ada dimeja.
“Loe nggak suka kopi?”, lanjut Evan.
Vanes menggeleng sambil terus menikmati steak-nya.
Kembali Evan menawarkan kopi itu untuk Vanes, dan Vanes masih saja menolak, “Gue nggak boleh minum kopi, gue alergi kafein”, jawab Vanes sambil menepis cup carammel mocha itu.
Evan terdiam. Dalam hatinya, “Apa ada orang yang alergi kopi?”, tanya dia dalam hati.
“Orang yang alergi kafein bakal menghasilkan zat kimia yaitu antibodi IgE, yang di produksi oleh tubuh ketika mengalami reaksi alergi”, Vanes mencoba menjelaskan tentang alergi yang dimilikinya itu, “Gue bisa sakit kepala, nyeri dihampir semua bagian wajah, hidung bengkak bahkan bisa membuat gue sulit bernafas. Itu sebabnya gue lebih memilih susu ketimbang kopi”, penjelasan Vanes yang sudah seperti dokter saja.
Wawasan baru untuk Evan yang tadinya nggak ngerti adanya alergi sama kafein.
Nggak lama kemudian Anis dan Tasya turun dari mobil dan berjalan kearah mang Ecep.
“Mobil siapa itu mang?”, tanya Anis.
“Oh mobil itu. Pacarnya non Vanes mungkin, mereka lagi ada didalam. Non berdua langsung masuk aja, pintunya nggak dikunci”, jawab Mang Ecep yang kemudian melanjutkan pekerjaannya lagi.
Tasya dan Anis saling bertatap muka, “Pacar?”, mereka mengatakan kata yang sama.
Diam-diam mereka masuk ke dalam rumah Vanes.
“Anis, siapa tuh?”, tanya Tasya lirih.
“Mana gue tahu”, jawab Anis lirih juga.
Mereka semakin mendekati Vanes yang masih makan.
Dan tiba-tiba, “YA! Kena kalian!”, teriak Tasya dan Anis yang membuat Vanes dan Evan terkejut.
Evan memandang kearah sumber suara yang mengejutkannya tadi.
“Evan? Ngapain loe disini?”, teriak Anis dan Tasya lagi. Sekarang giliran Anis dan Tasya yang terjut melihat Evan ada disitu lagi makan steak bersama dengan Vanes.
“Gue? Ya ngejenguk Vanes lah, masa mau ngapain lagi?”, jawab Evan sedikit tergagap.
Niat Evan emang pengin ngejenguk Vanes. Tapi apa yang dibawanya kali ini untuk Vanes itu karena dia mendengar percakapan Anis dan Vanes tadi pagi ditelfon sebelum mereka masuk kekelas.
***7***



Bersambung ke Coffee Milk [Part 8]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...