Part8#Remuk
Jantungku#
Ferdinand dan Desty lagi di
parkiran berduaan, mereka menunggu Jo dan Jovan yang belum juga sampai di
kampus. Desty terkejut saat melihat koran gosip pagi ini, ada berita mengenai
Ferdinand, Jo, dan Neffira. Judulnya ‘Gara-gara
Cemburu’.
Hari ini Neffira nggak masuk
kuliah karena ada pemotretan, akhir-akhir ini dia memang sedang sibuk
pemotretan dan juga fashion show di luar kota. Dia sudah jadi model yang
profesional, banyak yang memakai jasanya untuk memperagakan baju.
Sudah 15 menit Ferdinand dan
Desty menunggu.
Akhirnya setelah penantian selama
20 menit, Jo dan Jovan sampai juga di kampus.
Desty langsung membukakan pintu
untuk Jo, “Gimana keadaan loe? Tangan loe gimana? Loe baik-baik aja kan?”,
tanya Desty khawatir.
Jo memperlihatkan tangan kirinya
yang diperban tebal, “Gue baik-baik aja”, ucap Jo ringan menyepelekan lukanya.
Jovan menghampiri ketiganya, “Cuman
6 jahitan, nggak apa-apa buat dia. Yang berpuluh-puluh jahitan aja bisa
dilaluin”, ucap Jovan enteng, yang kemudian dihadiahi tendangan di betis oleh
Jo.
Yang di maksud sama Jovan tentang
berpuluh-puluh jahitan itu ya luka akibat pisau bedah yang membelah dadanya
Jovita saat memasang katup jantung mekanik yang membantu pemompaan darah di
tubuh Jo yang lemah itu.
“Mana Neffira?”, tanya Jovan
dengan nada keras, “Gue harus kasih pelajaran sama dia”, ucap Jovan makin
geram.
“Dia nggak berangkat”, jawab
Desty.
“Masih sakit?”, tanya Ferdinand
perhatian.
Tentu saja Jo menggelengkan
kepalanya, luka kecil bagi Jo, “Sudah nggak sakit”.
“Sini tasnya biar gue bawain
sampai kelas”, ajak Ferdinand yang langsung meraih tas yang Jo bawa dan
langsung diselempangkan di bahunya.
Ferdinand menggandeng tangan
kanan Jo dan berjalan pergi menuju kelas. Desty dan Jovan nggak sadar kalau
tinggal mereka berdua disitu, mereka masih geram dengan Neffira yang masih saja
mencari gara-gara dengan Jovita.
“Lho, Ferdinand dan Jo kemana?”,
tanya Desty keras.
Dari jauh Ferdinand melampaikan
tangan, “Gue sama Jo kekelas duluan ya”, teriak Ferdinand tanpa memandang Jovan
dan Desty.
“Eh tunggu gue!”, teriak Desty
yang kemudian berlari mengejar mereka berdua.
Jovan terlihat sebel, “Kenapa sih
nggak bareng sama gue aja kekelasnya”, gerutu Jovan lirih sesaat setelah Desty
pergi.
Desty mencoba melepas genggaman
tangan Ferdinand pada Jo, “Woi, bukan mughrim!”, tukas Desty.
Tapi Ferdinand nggak melepaskan
genggamannya itu, “Nggak usah ngaggu!”, gumam Ferdinand sambil terus memandang
keadah depan.
Mereka bertiga berjalan berjajar
menuju kelas mereka yang ada di lantai 3.
“Fer, tas gue berat. Bawain
sekalian kek”, keluh Desty.
“Maaf, AFC nggak dapet layanan
spesial seperti ini. Lagi pula fans gue pun nggak dapet layanan seperti ini,
cuman Jo yang bisa dapetin ini semua”, jawab Ferdinand yang malam memperkencang
genggaman tangannya.
Membuat jantung Jo berdebar
begitu kencangnya. Sepertinya Jo suka sama Ferdinand yang memang banyak yang
suka ini, tapi ini buka suka seperti itu, ini suka terhadap lawan jenis. Ada
getaran cinta disini. Sungguh membuat iri puluhan pasang mata yang melihat
mereka bergandengan tangan.
“Sini biar gue bawain?”, sahut Jo
yang kemudian menengadahkan tangan kirinya untuk meraih tasnya Desty.
Desty manyun sejadinya, “Nggak
perlu”, ucapnya singkat sambil menepis lengan Jovita.
---
Dikantin sudah cukup ramai,
mereka lagi pada membahas tentang berita hangat yang ada dikoran mengenai
Ferdinand, Jo, dan Neffira semalam di Jo Jo cafe.
“Jadi Neffira itu suka sama
Ferdinand, tapi Ferdinandnya malah jadiannya sama Jovita?”, ucap seseorang
setelah membaca artikel di koran.
“Ya gitu kayaknya, makanya
hubungan Jo sama Neffira selama ini nggak baik. Semua itu gara-gara Ferdinand”,
sahut teman yang ada disampingnya.
Nggak lama kemudian Jo, Desty,
dan Ferdinand berjalan bersama-sama menuju tempat duduk yang kosong. Jo dan
Desty duduk berhadapan, sedangkan Ferdinand asyik duduk disamping Jo.
“Mau makan apa?”, tanya Ferdinand
pada Jo.
“Gue mie ayam sama es teh manis
ya Fer”, jawab Desty bodo amat.
“Ok. Kalau Jo mau makan apa?”,
tanyanya lagi.
“Bakso sama es teh tawar aja deh”,
jawab Jo akhirnya.
Setelah itu Ferdinand bangkit dan
pergi untuk memesan makanan.
Sambil memain-mainkan sumpit yang
ada di tangannya, “Kayaknya Ferdinand bener-bener suka sama loe Jo”, celetuk
Desty ringan.
Jo tersenyum menahan malu, “Masa
sih? Apa bukannya gue yang kayaknya suka sama dia yah?”, jawab Jo sedikit gemetaran.
“Jadi loe suka sama dia? Tapi
konteksnya bukan fans sama idolanya lho”, lanjut Desty.
Jo mengangguk pasti dengan penuh
semangat.
Desty nggak melanjutkan
kalimatnya lagi karena Ferdinand sudah datang. Ferdinand membawa sebuah nampan
yang berisi dua mangkok bakso, satu mangkok mie ayam, dua gelas es teh manis,
dan satu gelas es teh tawar pesanan Jo.
“Layanan istimewa buat AFC”, ucap
Ferdinand saat memberikan semangkok mie ayam dan segelas es teh manis pada
Desty.
Desty tersenyum puas.
Setelah membagikan makanan,
Ferdinand mengambilkan sendok untuk Jo dan membantu Jo menambahkan saos, kecap,
dan sambal di mangkok baksonya.
“Jo bisa sendiri kali, nggak usah
di bantuin se-alay gitu”, timpal Desty sambil mengaduk-aduk mie ayam
faforitnya.
Tapi ucapan Desty itu nggaki
dipedulikan oleh Ferdinand.
“Aaa”, Ferdinand menyuapkan bakso
untuk Jovita.
Jovita menggelengkan kepalanya
nggak mau, “Tangan kiri gue yang sakit, tangan kanan gue sehat wal afiat. Jadi
kalau buat makan pasti bisa, nggak perlu disuapin”, ucap Jovita panjang lebar
yang kemudian mengambil sendok yang baru yang letaknya nggak jaug dari
hadapannya.
Tapi tangan kiri Ferdinand
langsung mencengkram tangan kanan Jo, membuat Jo nggak bisa bergerak, “Sudah
biar gue suapin aja”, paksa Ferdinand.
Membuat orang-orang disekitar
mereka mulai memusatkan perhatian pada yang mereka berdua lakukan. Diam-diam
ada yang mengabadikan moment itu, tapi Ferdinand cuek bebek, membiarkan
semuanya tahu tentang kemesraannya sama Jo. Tentang perhatiannya sama Jo, dan
tentang rasa sayangnya sama Jo.
---
Sore hari dirumah keluarga Jo.
Papah, Mamah, dan Jo lagi nonton
tv sama-sama. Menonton serial drama Korea faforit Jovita. Mamah sih suka-suka
aja nonton itu, ya sama aja kayak sinetron yang biasa Mamah tonton di tv, tapi
Papah yang nggak suka nonton gituan terlihat bosan. Tapi apa daya, dia ingin
bersama dengan anak tercintanya itu jadi Papah memaksakan diri untuk bertahan
menonton serial drama tersebut.
“Bang Jovan belum pulang juga?”,
tanya Mamah pada Jo yang lagi tiduran dipangkuan orang yang melahirkannya.
Jo menggelengkan kepalanya, “Katanya
ada kuliah tambahan, jadi dia pulang agak malem”, jawab Jo ringan.
“Paling anak itu pacaran”, tukas
Papah yang duduknya nggak jauh dari Mamah dan Jo.
“Bang Jovan belum punya pacar. Dia
masih sibuk ngurusin Jo, sampai-sampai nggak sempet nyari pacar”, gumam Jo yang
tetap serius menonton serial drama Korea.
Tiba-tiba hp-nya Jo berdering,
ada sms masuk.
Kesatria Bergitar, “Ada kuliah
tambahan jam 7 malem ini”, ucap Ferdinand memberikan informasi.
Jo terkejut, bergegas dia pamit
sama Mamah dan Papahnya. Dia berlari cepat ke kamarnya lalu mengambil handuk
dan masuk ke dalam kamar mandi. Dia harus siap-siap, sebentar lagi sudah jam 6.
Dari tadi dia males banget buat mandi gara-gara waktunya tersita oleh serial
drama faforitnya yang tayang setiap hari di tv.
“Bi, pesenin taksi”, teriak Jo
dari dalam kamarnya.
Dia sedang berganti pakaian dan
mulai mengeringkan rambutnya yang basah.
“Berangkat bareng Mamah sama
Papah aja Jo”, sahut Papah yang ternyata sudah siap dengan pakaian yang rapi.
Hari ini Mamah sama Papah
kebagian jadwal jaga malam.
Setelah siap Jo cepat-cepat turun
menghampiri kedua orang tuanya. Mamah sama Papah akan mengantarkan Jo ke
kampusnya.
Nggak butuh waktu lama buat
sampai dikampus. Jo langsung turun dan bergegas menuju kelas karena sudah
hampir jam 7 malam. Papah sama Mamah kembali melanjutkan perjalanan mereka ke
rumah sakit untuk bekerja.
Jo berjalan cepat menyusuri
lorong kampus yang lumayan sepi itu. Dia haru melewati jalan-jalan yang sepi
sendirian malam-malam seperti ini. Kemudian dia melewati lapangan basket indoor
dengan cepat, tapi kemudian dia menghentikan langkahnya karena mendengar suara
pantulan bola basket di lantai.
Dia melongok ke dalam lapangan
itu, ternyata ada Ferdinand yang lagi main basket sendirian. Melihat ada
Ferdinand disitu, diam-diam Jo masuk dengan perlahan tanpa menimbulkan suara. Dia
melihat Ferdinand yang memakai ‘you can see’ dan trening, seragam basket. Ferdinand
dengan lincah memain-mainkan bola itu dan memasukkannya kedalam ring
berkali-kali.
Jo makin mendekat sampai akhirnya
Ferdinand menyadari Jo ada disitu. Ferdinand melempar bola itu pada Jo dan
menyuruh Jo untuk memberikan bola itu padanya lagi. Keduanya saling berhadap-hadapan
tepat di tengan lapangan basket itu. Ferdinand meraih bola yang Jo berikan lalu
membuangnya kearah belakang Ferdinand.
Tiba-tiba Jo dikejutkan dengan
lampu-lampu kecil yang menyala indah di tribun. Benar-benar indah. Jo sangat
terpesona dengan semua itu. Cahaya remang-remang yang ditimbulkan oleh
lampu-lampu kecil itu membuat suasana menjadi romantis.
Lagi-lagi Ferdinand memberikan
kejutan, dia memberikan Jo sebuah buket bunga mawar merah yang lumayan besar. Nggak
tahu dari mana asalnya yang jelas sekarang Ferdinand akan berbicara sesuatu
yang serius sama Jovita.
“Jujur. Gue suka sama loe, bukan
sebagai teman, tapi gue sebagai cowok suka sama cewek. Dan langsung aja, mau
nggak loe jadi cewek gue?”, tanya Ferdinand serius.
Suasana ruangan itu hening. Hanya
ada mereka berdua disana. Jo masih nggak percaya dengan apa yang dia alami
sekarang ini, tapi sesaat kemudian dia memantapkan hatinya untuk berbicara.
“Maaf, gue nggak bisa jadi cewek
loe. Gue nggak pantes jadi cewek loe. Gue harap hubungan kita tetap baik, kita
tetap mejadi sahabat”, ucap Jo gemetaran.
Jo nggak menyentuh bunga itu
sekalipun, dia langsung bergegas keluar dari lapangan itu meninggalkan
Ferdinand sendirian.
Ferdinand benar-benar kecewa,
dijatuhkannya buket bunga mawar itu ke lantai dan kembali teringat saat-saat
dia merancang kejutan ini semua. Gimana susahnya dia meminta ijin buat menyewa
lapangan ini, gimana repotnya dia memasang lampu-lampu kecil itu sendiri, dan
gimana senengnya dia saat Jo benar-benar ada dihadapannya tadi.
Tapi sekarang Ferdinand mendapat
jawaban yang membuat hatinya hancur. Dia nggak mengira akan seperti ini
jadinya. Dia terduduk lemah di lantai lapangan basket, dan kemudian lampu-lampu
kecil itupun ikut padam bersamaan dengan makin merananya Ferdinand.
***
to be continued.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar