Hal yang paling menyebalkan dalam
hidup yaitu menunggu. [setuju kan?-red] Apalagi kalau menunggu sesuatu yang
benar-benar menentukan masa depan kita, sudah nyebelin, di buat nunggu lama,
dan yang pasti bikin penasaran gak karuan.
Menunggu hasil kelulusan UN SMA.
“Ayolah main, jangan dirumah mulu”,
ajak Desty pada sahabatnya melalui sambungan telefon.
Jovita Aliya Akmala, yang
merupakan sahabatnya itu lagi asyik-asyikan nonton serial drama Korea bareng
pembantunya di rumah, “Ogah ah. Capek jalan-jalan mulu, mendingan nonton drama
aja nih kayak gue”, jawab Jovita.
“Loe mah gitu, nggak asyik!”,
lanjut Desty agak sebel dengan sahabatnya itu. “Ya sudah sekarang gue sama yang
lainnya aja ke mall nya”, lanjut Desty yang kemudian langsung menutup telfon.
Karena main di tutup aja
telfonnya, Jovita juga ikutan sebel sama Desty. Tapi ya sudahlah, dia lagi
asyik nonton drama faforitnya, jadi semua itu nggak penting baginya.
Di sebuah Mall besar di Jakarta, sedang berlangsung acara
peluncuran album kedua dari penyanyi solo laki-laki yang masih muda yaitu Ferdinand
Adinegara. Dengan banyak fans yang hadir membuat Mall itu penuh sesak.
Desty keluar dari sebuah butik
bersama dengan beberapa teman-temannya juga, dia menenteng barang-barang
belanjaannya dan terlihat sebel saat ada beberapa fans dari Ferdinand yang
berlari di depannya, hampir membuatnya terjatuh.
Tapi para fans itu nggak
menyadarinya dan malah terus berlari menuju kerumunan fans fanatik dari
Ferdinand.
“Kurang ajar! Main tabrak-tabrak
aja tuh orang, penyanyi cemen gitu aja di idolain!”, umpat Desty kesal pada
orang-orang yang hampir membuatnya jatuh tadi.
“Sabar,” ucap seorang teman
Desty.
Seorang temannya yang lain
menepuk punggu Desty, “Maklumin aja ya”, ucapnya, “Lagian kita pernah ngadepin fans
Ferdinand yang lebih dari itu kan?”, lanjut cewek manis itu.
Desty memutar otaknya, mecari
tahu siapa yang sedang temannya itu maksudkan, “Iya juga sih. Jo lebih parah
daripada mereka. Eh, tapi kok dia nggak dateng kesini padahal tadi sudah gue
ajak”, jawab Desty ceria.
“Lupa kali tuh anak, dia kan
paling pikun diantara kita”.
Terdengar lantunan lagu dari
Ferdinand, sebuah lagu yang berjudul ‘Lagu Kita’ [lagunya Vidi Aldiano-red]. Dengan
suaranya yang merdu dan mendayu-dayu, serta lagu yang dinyanyikan yang memang
enak didengar membuat para fans yang datang juga ikut bernyanyi bersama. Suasana
yang sangat menyenangkan.
Dari sisi luar panggung juga
banyak wartawan yang mengabadikan peristiwa tersebut. Dengan senyum yang
menawan, Ferdinand menatap seluruh mata kamera yang tertuju hanya padanya.
“Terima kasih buat semuanya yang
sudah menyempatkan hadir pada sore hari ini...”, Ferdinand mengucapkan terima
kasih pada para fansnya.
Dirumah Jovita.
“Bang Jovan!!!”, teriaknya keras.
Dia kesal. Karena baru ingat kalau
hari ini adalah hari peluncuran album penyanyi faforitnya yaitu Ferdinand
Adinegara. “Kenapa loe nggak ingetin gue??!!”, lanjutnya masih dengan nada
keras.
Jovita benar-benar kesal, kenapa
dia lupa tentang itu semua. Padahal dia sudah merencanakan apa-apa saja yang
akan dia minta saat bertemu dengan Ferdinand pada acara tersebut. Tapi sekarang
acara itu sudah berakhir. Jovita bener-bener sebel dengan semua itu.
---
Hari ini Desty kembali mengajak
Jovita untuk jalan-jalan, dan kali ini Jovita mau. Tapi Desty harus menjemput
Jo di rumah sakit, karena hari ini Jo mau ngambil obat. Tentu saja Desty
langsung menyanggupi permintaan Jo tersebut.
Di dalam mobil menuju cafe D’Fresh,
cafe milik Jovan Aditya Alfaro si abangnya Jovita.
“Loe sudah dapet surat konfirmasi
dari kampus apa belum?”, tanya Desty sambil terus menghadap ke jalanan.
Jo yang lagi main game di hpnya
menjawab ringan, “Kayaknya belum. Emangnya kenapa? Loe sudah dapet?”, lanjut Jo
balik tanya.
“Sudah dong. Gue sudah diterima
jadi setelah pengumuman kelulusan gue sudah gak perlu repot-repot daftar”,
lanjutnya masih serius mengemudi.
“Syukur deh. Yang jelas kalau loe
di terima, tentu aja gue juga bakalan diterima”, ucap Jo ringan tanpa beban.
Kontan Desty sebel dengan ucapan
yang keluar dari mulut sahabatnya itu, dia melampiaskan dengan memperkencang
laju mobilnya, dan ulahnya itu membuat Jo benar-benar terkejut.
“Woi! Loe mau bunuh gue?!”,
bentak Jo.
Desty hanya tertawa puas.
“Nggak usah loe bunuh Des, bentar
lagi mungkin gue bakal mati”, lanjut Jo sambil mempernyaman posisi duduknya.
Wajah kedua bersahabat itu
berubah menjadi kalem, setelah ucapan Jovita tadi. Jovita dan Desty terdiam
sesaat, wajah mereka benar-benar kalem nggak seperti tadi yang ceria. Apa ada
yang salah?
“Kita semua bakalan mati Jo. Mau
loe atau gue atau siapapun sama aja, kita bakalan mati. Tapi kita nggak tahu
tepatnya kapan. Dan gue yakin loe bakalan kuat dan nggak nyerah buat terus
hidup”, ucap Desty serius.
Jovita malah menanggapinya dengan
senyuman lebar, “Tentu saja! Gue kan bukan cewek yang lemah”, lanjutnya riang.
Kalimat dari Jovita itu membuta
Desty kembali tersadar kalau Jovita memang benar-benar cewek yang kuat, Jo
bukan cewek yang lemah. Jo nggak pernah mengeluh dengan apa yang dialaminya,
dia juga nggak pernah bersikap lemah dihadapan semua orang dalam menjalani
hidupnya. Jo yang selalu menampakkan keceriaan dan memberikan kebahagiaan bagi
orang-orang disekitarnya. Jo yang gak pernah nangis dan selalu berusaha
tersenyum dalam kesakitannya.
Sampai juga mereka di cafe.
Setelah mendapatkan tempat duduk
dengan posisi yang nyaman, mereka mulai memesan makanan. Selagi menunggu
makanan datang, Jo kembali melanjutkan main game di hp-nya, sedangkan Desty
entah lagi mencari apa di tasnya.
Sedetik kemudian Desty
mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan ditunjukkan pada Jo, “Nih buat loe”.
Pandangan mata Jovita berpaling
ke apa yang Desty tunjukkan, “Album keduanya Ferdinand!”, ucap Jo keras membuat
orang-orang yang ada disekitar mereka memusatkan perhatian pada keduanya.
Keduanya lalu senyum-senyum saja
menanggapi orang-orang yang masih melihatnya.
“Buat gue? Makasih”, lanjut Jo
dengan nada suara yang sedikit lebih lirih di bandingkan yang tadi.
“Butuh perjuangan tuh buat
ngedapetinnya! Loe harus bayar mahal sama gue”, ucap Desty serius.
Masih dengan rasa gembiranya
mendapatkan CD original plus tanda tangan dari Ferdinand, “Loe minta berapa? Pasti
gue bayar”, ucap Jo nggak kalah serius.
“Gue nggak butuh duit! Gue maunya
abang loe itu”, jawab Desty terus terang.
Jovita memandang tajam sahabatnya
itu.
Desty memang seperti itu, dia
suka sana Jovan dari dulu. Tapi yang buat heran itu Desty selalu acuh kalau ada
Jovan, entah kenapa dia selalu di buat bete sama Jovan yang cakep itu. Dan ada
satu hal yang nggak Desty ketahui, kalau Jovan juga memiliki rasa yang sama. Dia
suka juga sama Desty, tapi karena pembawaan Desty yang acuh terhadapnya membuat
Jovan selalu bertingkah menyebalkan dan senang membuat Desty bete.
---
Sarapan di rumah Jovita.
Papah dan Mamah sudah siap di meja
makan, nggak lama kemudian Jovan dan Jovita juga siap di meja makan. Mereka
berempat sarapan bersama.
Hari ini sengaja Papah dan Mamah
mengosongkan jadwal operasi mereka agar bisa menghadiri acara pengumuman
kelulusan putri mereka yang cantik itu. Jovan juga ikut kesana, dia rela buat
bolos kuliahnya demi adik tercintanya itu.
“Makan yang banyak, biar loe
makin kuat!”, ucap bang Jovan sambil mengambilkan ayam goreng untuk adik
tercintanya itu.
Di tempat lain di waktu yang
sama.
Desty juga lagi sarapan denga
keluarganya. Hari ini kedua orang tuanya dan tentu saja adik perempuan
satu-satunya juga datang pada acara tersebut.
Beberapa teman-teman Jovita dan
Desty juga tengah bersiap-siap untuk mengetahui hasil ujian nasional yang telah
mereka lalui beberapa bulan yang lalau.
Ferdinand Adinegara juga sama. Setelah
siap dengan pakaian seragam SMA nya, dia turun dan sarapan bersama kedua orang
tuanya. Hari ini merupakan hari yang benar-benar dia tunggu, hari yang
benar-benar membuatnya penasaran dengan apa yang akan dia peroleh nantinya.
Semua pelajar kelas XII SMA juga
sangat antusias dalam menghadapi hari ini. Mereka benar-benar mempersiapkan
mental yang kuat untuk menghadapi hasil yang bisa baik untuk mereka dan mungkin
bisa saja hasil buruk yang akan mereka dapatkan.
Sampai di sekolahan
masing-masing.
Disana sudah banyak orang tua dan
wali murid yang datang untuk mendampingi anak-anaknya. Suasananya sangat
tegang, bener-bener nggak ada yang bisa mencairkan suasana, mereka semua diam
sambil terus menunggu hasil ujian yang sudah lama mereka nanti-nantikan.
“Pah, Mah, Bang, Jo kesana dulu
ya, nyamperin temen-temen”, pamit Jovita.
Papah, Mamah, dan Bang Jovan
membiarkan begitu aja Jovita pergi.
“Abang loe ikut?”, tanya Desty
lirih.
Jo tersenyum dan menunjuk kearah
Jovan, “Tuh orangnya ada disana”.
Buru-buru Desty menepis tangan Jo
karena dia malu kalau sampai Jovan melihatnya tadi. Tapi dari tadi memang Jovan
sudah memperhatikan Desty, dia senang melihat Desty yang manis itu.
Papan pengumuman hasil kelulusan
mulai dikeluarkan dari tempat persembunyian. Para murid-murid mulai mengerumuni
papan-papan yang disebar hampir di setiap sudut sekolahan. Desty, Jo, dan
beberapa teman akrab mereka sudah siap didepan papan pengumuman.
“Auch”, Jo sedikit merasakan
sakit di dadanya.
Akhirnya papan pengumuman itu
terbuka juga, semuanya berebut untuk melihat nama mereka tercantum sebagai
pelajar yang lulus atau yang tidak lulus. Desty mencari namanya, Jovita juga
mencari namanya.
“Gue lulus!”, teriak riang Desty
dan Jovita bersamaan.
Beberapa teman-temannya yang lain
juga bersujud syukur atas kelulusan yang mereka dapatnya. Tapi ada beberapa
juga teman-teman mereka yang menangis histeris karena nggak lulus dalam ujian
nasional tahun ini.
Dengan gembira Jo keluar dari
kerumunan itu dan berlari menghampiri kedua orang tuanya dan juga kakaknya itu.
Cukup sulit dia keluar dari kerumunan yang penuh sesak itu, apa lagi di tambah
teman-temannya yang saling mengucapkan selamat atas keberhasilan mereka semua.
Akhirnya Jo berhasil keluar dari
kerumunan itu dan berlari menuju keluarganya. Tapi dia tiba-tiba berhenti dan
terus memegangi dadanya yang benar-benar terasa amat sangat sakit, sedetik
kemudian dia jatuh nggak sadarkan diri.
Kedua orang tuanya, Jovan, dan
teman-temannya berlari kearah Jovita yang sudah nggak sadarkan diri.
“Telfon ambulans!”, perintah
Papah pada Jovan.
Jovan langsung melaksanakan
perintah Papahnya itu.
Kemudian Papah melepaskan jasnya
dan di taruh di tanah, lalu dipindahkannya Jovita diatas jasnya itu. Karena dia
seorang dokter, Papah mulai mengecek kondisi Jo, dia mengecek denyut nadinya
dan juga nafasnya. Ada sesuatu yang aneh di dada Jo, degup jantungnya terdengar
bising.
Desty menangis karena khawatir
dengan keadaan Jovita. Mamah ikut membantu Papah, karena Mamah juga merupakan
dokter spesialis bedah umum.
Nggak lama kemudian ambulans
datang, Jo langsung diarak naik ke dalam mobil. Papah dan Mamah juga masuk
kedalamnya. Desty yang masih menangis nggak tahi harus gimana, tiba-tiba ada
yang menarik tangannya. Jovan menarik Desty agar bersamanya menuju rumah sakit.
“Bang, Jo nggak kenapa-napa kan?
Jo baik-baik aja kan? Nggak ada yang salah sama Jo kan? Dia bakal...”,
perkataan Desty yang bergetar itu langsung terhenti karena di potong oleh
Jovan.
“Jo. Dia bukan cewek yang lemah”,
jawab Jovan singkat.
---
Dua hari kemudian di ruang
operasi.
“Tarik nafas dalam-dalam”, ucap
salah satu dokter pada Jovita sambil memasangkan alat bantu pernafasa.
Sedetik kemudian Jo tertidur
karena pengaruh obat bius.
Papah masuk kedalam ruang
operasi, lalu mengeringkan tangannya yang sudah steril, kemudian seorang
perawat memasangkan sarung tangan untuk Papah dan memakaikan baju operasi untuk
papah yang merupakan dokter Bedah Toraks itu.
Flash back, sehari sebelum
operasi.
“Terserah Papah sama Mamah aja,
karena pilihan Papah dan Maman itu yang terbaik”, ucap Jovita yang sedang duduk
di sebuah ranjang di sebuah kamar rumah sakit.
“Kita memilih ini demi Jo. Papah
sama Mamah nggak mau kehilangan Jo”, lanjut Papah.
Jo tersenyum lebar, sedangkan
Papah, Mamah, dan Jovan terlihat khawatir. Tapi Jo meyakinkan semuanya, dia
akan melakukan apapun agar tetap hidup. Kalau ini cara satu-satunya kenapa
nggak dicoba saja, walaupun nantinya sulit untuk diperbaiki.
Papah mulai menyeset dada Jovita,
dia membelah dada anaknya itu. Sedikit nggak tega, tapi ini semua demi Jo.
“Saw”, lanjut Papah meminta
gergaji untuk membelah tulang rusuk Jo.
Di balik itu semua, Jo yang nggak
sadarkan diri terlihat tenang dan menyedihkan. Di umurnya yang masih muda itu
dia sudah mengalami operasi seperti itu. Ini kali keduanya setelah sepuluh
tahun yang lalu dia menjalani operasi yang sama. Lagi-lagi dokter mengoyak
dadanya.
***
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar